Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama FEATURED

Sistem "Outsourcing" dan Dilema Karyawan Kelas Dua

11 Januari 2019   10:07 Diperbarui: 13 Juni 2022   07:56 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: kajianpustaka.com

Karyawan kelas dua sepertinya tepat disematkan pada karyawan Outsorcing. Mengapa dikatakan karyawan kelas dua? Karena jelas, ia beda tetapi sama. Mereka berpendapatan dari sumber yang sama hanya sumber pendistribusiannya yang berbeda. Satu, dari langsung tangan pertama sebagai manajemen induk disebut karyawan organik. Dua, dari tangan kedua sebagai manajemen alih daya disebut karyawan kelas dua.

Berbeda bagi saya itu tidak masalah. Dalam hidup, kondisi sosial sudah mendesign secara otomatis karna memang menurut saya kehidupan itu memilih. Seakan takdir yang diciptakan hidup adalah sebagai kelas itu sendiri. Diterima saja, mungkin nasib kita hanyalah menjadi karyawan kelas dua. 

Meskipun status terkadang ambigu namun tetap, karyawan kelas dua juga ikut sama diakuinya sebagai kelas satu ketika diluar berhadapan dengan Customer. Hanya saja nasib kita berbeda walaupun kita bekerja untuk tujuan Customer yang sama. Baju dan manajemen boleh berbeda tetapi kita saling bekerja sama pada dasarnya.

Sepertinya menjadi karyawan kelas dua tidaklah harus hitung-menghitung pendapatan. Tidak usah juga berharap tentang pendapatan yang tinggi seperti atau mendekati karyawan organik. Karyawan kelas dua tidak mungkin bisa karna sudah dipotong dari manajemen yang menjadi tangan kedua dari induknya. 

Inilah dilemanya, karyawan kelas dua hanya berharap pada upah minumum yang ditetapkan pemerintah. Itu saja tidak jaminan akan diikuti menejemen tangan kedua. Mereka selalu beralasan ketika tidak sesuai dengan upah minimun aturan pemerintah, menejemen rugi, anehnya tetep jalan sebagai mitra induknya.

Keganjilan-keganjilan seperti muncul begitu saja. Level sangat jauh berbeda ketika dibadingkan antara manajemen induk dan menejemen mitra yang menyediakan karyawan kelas dua. Tidak jarang karna ikatan kerja yang sama, antara karyawan organik dan karyawan kelas dua mau tidak mau demi kelancaran bekerja berada di kantor yang sama. 

Oleh karna itu karyawan kelas dua justru lebih dekat dengan menejemen induk. Perhatian untuk menyerap aspirasi dari karyawan kelas dua juga lebih baik manajemen induk dari pada manajemen mitra itu sendiri yang seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap aspirasi-aspirasi karyawan kelas dua ini.

Pada kenyataannya justru karyawan kelas dua lah yang selalu salah jika meluapkan aspirasi. Selalu jika aspirasi atas inisiatif sendiri pada manajemen mitra selalu dikacangi. Dengan pertimbangan belum bersifat cepat dan bersangkutan secara pasti dengan menejemen induk. Karna perhatian lebih besar dari menejemen induk dari pada mitra. 

Dan juga pertemuan sering dilakukan oleh petingi manajemen induk dari pada petinggi manajemen mitra sendiri. Keadaan inilah yang sering membuat kerancuan sendiri antara karyawan kelas dua dan manajemen mitra alih daya.

Setiap pertemuan manajemen induk mempertanyakan apa masalah kalian ketika bekerja? Kalian berarti karyawan kelas dua karena kebanyak karyawan kelas dua langsung terjun ke lapangan. Disinilah problem itu hadir, jujur tidak jujur ujung-unjungnya juga akan ditindak lanjuti sebagai evaluasi kepada manajemen mitra. 

Kita diam berarti kita tidak jujur dengan masalah kita, padahal masalah itu banyak terutama kurang profesionalnya menejemen mitra. Antara lain kurangnya perhatian pada peralatan kerja dan sarana penunjang kerja yang kurang juga diperhatikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun