Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sebuah Kisah di Raudhah

6 Januari 2021   17:13 Diperbarui: 6 Januari 2021   17:22 466 15
Kabut masih setia menyelemuti pelataran bangunan megah bercat putih berkolaborasi dengan hijau. Kubah keperakan menjadi ciri khas tempat yang akan dipadati para santriyat* dan santriyin* ketika akhir pekan menyambut. Aula yang mirip yang mirip dengan bangunan masjid ini memang ikon unik di sekolah kami.

Aku adalah siswi pindahan sekaligus santriyat baru di madrasah aliyah terpadu ini. Sebenarnya ini pilihan Kakak yang over protective dalam mengawasi adik perempuan bontotnya. Ya, sejak ketahuan dikunjungi teman-teman sekelas--yang salah satunya--berusaha pedekate sejak masuk di bangku putih-abu.

Cinta monyet mulai melandaku saat itu, dan mungkin hal ini yang menyebabkan Kakak naik pitam. Sejak aku dititipkan untuk sekolah bersama Kakak, memang dunia remajaku bak burung dalam sangkar. Kalian tahu? kakakku itu killer bukan main. Maklum beliau mantan lurah santriyat di pondok pesantrennya dulu.

Berbagai pikiran buruk menghampiri benak. Sejak menginjakkan kaki di sekolah baru dengan penuh kekesalan. Perlahan aku mulai beradaptasi, apalagi saat mendapat teman baru bernama Aini. Gadis manis, murah senyum dan baik hati. Seperti siang itu, dia mengajakku mengikuti perekrutan anggota Osis baru. Walau sedikit malas, tapi karena kasihan, aku mengikuti langkahnya dengan gontai.

***
Pandangan kuedarkan ke setiap penjuru aula, hingga berhenti tepat pada sesosok pengurus Osis yang sibuk memberikan formulir pendaftaran. Siswa bertubuh jangkung dengan kulit putih dan mata sipit. Peci hitam menambah ketampanannya yang seketika menghipnotis bak seorang Arjuna.

"Ni, itu siapa yang ngasih formulir sama kamu tadi?" bisikku sambil mencolek tangan Aini.

"Oh, itu. Namanya Kak Sidqi, kelas 2 Bahasa, dia jago seni, loh!" serunya sambil mengisi formulir.

"Sttt! Jangan kenceng-kenceng. Malu tau, kedengeran yang lain," timpalku sambil mencubit pipi tembamnya.

"Hayooo ... kamu naksir, ya, ama dia?" Lagi-lagi si comel itu berkicau.

"Ish! Kau ini, aku nanya doang, emang gak boleh?"

"Tapi ... baru kali ini kamu nanyain cowo yang ada di sekolah kita, loh. Bukannya selama ini kamu masih nunggu siapa itu, pacar di sekolah lamamu?" Aini mendongak sambil cekikikan.

"Udahlah, jangan bahas si pengkhianat itu. Udah kubuang nama itu ke laut, kemaren Vika kirim surat dan foto, di situ si Amar deket banget ama si kuntilanak Farah," jawabku ketus.

"Ehmmm ... ok, mungkin kisah cintamu akan terukir di sini, Mut." Senyum manisnya terukir. Membuat emosiku sedikit mereda.

***
Berbagai kegiatan osis aku ikuti hanya untuk dapat bersama dengan kakak kelas bernama Sidqi Fauzan Athar. Bahkan puisi-puisi receh mulai kukirim ke meja redaksi mading yang nota bene dikelola Sidqi.

"Keren, puisi ini bagus banget. Pake bahasa Inggris pula!" seru Sidqi di depan mading sekolah siang itu.

"Wah, punya siapa, tuh? Perasaan baru liat, deh." Seorang temannya menimpali.

Aku yang tak sengaja lewat ke lorong itu mendadak panas dingin. Dipuji orang yang dikagumi? Ya Allah, rasanya kaya terbang ke langit ketujuh.

***

Sejak saat itu, kisahku dimulai. Sidqi memanggilku dengan menitip surat kepada Aini. Walaupun kami satu pondok, tapi di pesantren tidak bisa berinteraksi langsung dengan lawan jenis. Semua acara terpisah, kecuali acara akhir pekan yaitu hadorohan--semacam pengajian umum yang diwajibkan setiap santri untuk berdakwah di depan santri dan ustaz-ustaz.

Sidqi memuji karya-karyaku. Dia memang jago puisi, tapi tidak bisa menggunakan bahasa Inggris dalam menulis puisi. Apalagi sejak berita kemenanganku dalam poetry contest salah satu kampus ternama di kota kami mulai tersiar di sekolah. Aku bahagia bisa mendapatkan perhatian dari seseorang yang kupuja diam-diam. Hanya Aini yang tahu rahasia ini. Kalau Kakak tahu, bisa tamat riwayatku.

***
Acara kenaikan kelas berlangsung meriah, tak menyangka jika akhirnya aku bisa masuk juara umum mengalahkan Anna, santriyat yang selama ini menjadi rivalku. Yang lebih menyenangkan adalah bisa berdiri satu panggung dengan Sidqi yang waktu itu meraih juara pertama di kelasnya.

"Selamat, ya. Kamu hebat, Mutie," ucapnya sambil tersenyum dan mengatupkan kedua tangannya. Seketika hati ini berbunga-bunga. Kalaulah bisa aku ingin berteriak kepada semua yang hadir, jika aku bahagia.

***
Masa orientasi adik kelas dimulai, wajah-wajah baru bermunculan menghiasi pesantren. Entah mengapa, Sidqi mulai jarang menyapaku di sekolah. Walaupun kami tak pernah mengikrarkan satu perasaan, tapi bagiku cukup jelas jika kami mempunyai perasaan yang sama.

Dingin yang menusuk kulit tak menghentikan langkahku menelusuri lorong menuju gerbang sekolah. Tepat di dekat bangunan berkubah perak yang dinamai Raudah aku berhenti. Sesosok siswa yang selama ini mengisi ruang hatiku sedang berduaan dengan siswi baru. Aku tahu siswi itu memang rebutan para siswa di sekolah, namanya Raini.

Hatiku bergejolak, ada bara yang kini berkobar makin dahsyat di dalam sana. Tak terasa tetes demi tetes meluncur membasahi hijab putihku. Dengan gontai kutundukkan pandangan dan berlalu menuju sekolah. Suasana hatiku seketika kacau balau. Nafsu makan pun menurun drastis. Bahkan saat pelajaran favoritku berlangsung perhatianku buyar entah kemana.

"Mut, Mutie! Ayo, makan bakpaunya. Keburu dingin, nih!" Aini mengagetkanku.

"Aku lagi males makan, Ni," jawabku lemah. Lalu beringsut menuju satu ruang. Ruang tempatku mendapat inspirasi untuk mencurahkan perasaan. Ya, perpustakaan. Ruang yang sama ketika aku dan Sidqi selalu membahas buku-buku sastra.

Setelah memilih novel teenlit religy, aku bergegas memilih bangku di pojok perpustakaan. Sengaja, agar bisa menyepi. Hampir setengah buku kubaca, walaupun konsentrasi entah kemana. Suara seseorang membuyarkan kegundahan.

"Mutie, boleh numpang baca di sini."

Suara itu seketika menghentikan laju nadiku. Suara yang kini sangat kubenci.

Tanpa menunggu waktu lama, aku beranjak tanpa suara. Meninggalkan makhluk menyebalkan itu dengan cepat. Sementara dia hanya melongo melihat responsku.

***
Waktu bergulir begitu cepat. Luka kupendam dalam-dalam. Walaupun Sidqi berusaha mendekati, tapi hati ini terlampau sakit. Mungkin ini yang Kakak maksud. Aku tak boleh dulu pacaran hingga lulus Aliyah. Kakak tak ingin perhatianku terbagi dengan hal yang tak penting.

Hari graduasi berlangsung khidmat. Sidqi didaulat menjadi pengantin laki-laki pada upacara adat Sunda berdampingan dengan Kak Fakhira--santri senior--di pesantren kami. Aku yang kala itu menjadi anggota panitia graduasi terpaksa harus bertatap muka langsung dengan Sidqi.

"Mut, kenapa melamun?" Suaranya memecah suasana. Ya, Sejak tadi kami memang berdua di pinggir Raudah, menunggu acara dimulai.

"Gak kenapa-napa, Kak. Oh, ya. Selamat, Kakak mendapat nilai ujian nasional tertinggi tahun ini." Aku berpura-pura mengalihkan pembicaraan. Sungguh, hatiku tiba-tiba bergetar tak keruan.

"Makasih, Mut," jawabnya pendek.

"Kenapa, Kak? Kok, kayak gak seneng?"

"Aku bingung, Mut. Orang tuaku bangkrut. Jadi mimpi untuk kuliah, sekarang ... harus kupikirkan ulang," ungkapnya sedikit berat.

"Kakak harus semangat. Kuliah 'kan ada jalur beasiswa atau kuliah sambil kerja. Jadi gak usah sedih lagi, Kak."

"Makasih, Mut. Aku hampir lupa." Sidqi mendongak, semangatnya tampak kembali muncul.

"Kemana pacarmu, Kak. Seharusnya ini hari yang paling indah buat kalian."

Raut wajah Sidqi seketika berubah. Lalu sorot tajam itu beralih dan membuatku tak berkutik.

"Mut, kenapa kamu gak pernah jujur. Bahkan hingga detik perpisahan ini."

Aku terkejut. Entah apa yang harus kuungkapkan dan dari mana dia mengetahui rahasiaku.

"Aku memang salah, aku tertipu penampilan semata. Aku begitu bodoh karena tak menyadari sikapmu yang mulai menjauh waktu itu." Suaranya semakin parau. Sorot matanya pun mulai teduh.

"Gak ada yang harus disesali, Kak. Mungkin ini teguran Allah buat aku. Aku harus tetap menjaga hati dan izzah." Pelan, sambil tertunduk dan mata kian berkabut aku menjawabnya.

"Mut ... maafin, Kakak, ya ...." Sidqi mengulurkan sekuntum bunga mawar putih. "Jika Allah menghendaki, kutunggu kamu di kampus yang sama," ungkapnya lagi. Membuatku seketika terpana.

"I-insyaallah, Kak." Aku mengatupkan kedua telapak tangan ke arahnya.

Angin semilir nan lembut menutup acara perpisahan siang itu dengan satu kisah. Kisah yang hingga saat ini tak pernah menjadi nyata.

THE END


Footnote:
Santriyat: santri wanita
Santriyin: santri pria

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun