Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Ruang Keberagaman Itu Bernama Pesantren

6 April 2021   11:53 Diperbarui: 6 April 2021   12:21 1018 5

Pesantren adalah ruang paling berkesan di hidup saya. Di pesantren saya mendapatkan ruang untuk belajar banyak hal. Bukan hanya tentang melatih hidup mandiri namun juga cara memperlakukan perbedaan. Saya menemukan sesuatu yang sebelumnya tidak saya temui, bahkan saya bayangkan. Terbiasa hidup di lingkungan dan keluarga yang homogen membuat saya sangat sensitif dengan perbedaan. Masyarakat di desa saya seluruhnya menganut agama Islam dan mayoritas hanya mengakui satu Ormas Islam (Organisasi Masyarakat). 

Bahkan cenderung beranggapan bahwa Ormas Islam selainnya adalah tidak benar atau tidak baik. Sehingga, saat di pesantren saya dihadapkan oleh banyak perbedaan. Mulai dari hal-hal kecil seperti jam tidur yang berbeda, hobi berbeda, cara belajar yang berbeda, bahasa yang berbeda, logat atau aksen yang berbeda, bahkan Ormas Islam juga berbeda. Bagaimana saya mengatasi perbedaan ini? Padahal saya adalah orang yang terbiasa dengan sesuatu yang tunggal. Maka pesantren adalah ruang bagi saya untuk menumbuhkan pikiran tentang perbedaan. Mulai dari pesantren di Lamongan sampai pesantren di Yogyakarta.

Dari Lamongan ke Yogyakarta: Simpulan-Simpulan Perbedaan

Saya pertama kali merasakan kehidupan di pesantren sejak Tsanawiyah (setingkat SLTP). Pada jenjang Tsanawiyah dan Aliyah saya mondok di salah satu pesantren di Lamongan, Jawa Timur. Kemudian saat kuliah masih ketagihan  mondok di salah satu pesantren di Yogyakarta. Kehidupan di pesantren cukup keras bagi anak seusia saya waktu itu (13 tahun) karena dituntut mandiri. Mulai dari mencuci baju, membersihkan kamar dan mengatur keuangan (uang kiriman orang tua). Jadwal kegiatan di pesantren pun cukup padat mulai dari bangun tidur sampai malam hari. Belum lagi, saya harus menghadapi banyak perbedaan. Saya dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dan mengatur strategi beradaptasi.

Perbedaan itu saya alami dari hal-hal remeh hingga pada hal-hal besar. Hal-hal remeh itu misalnya perbedaan tentang jam tidur, selera musik dan cara belajar. Saya sendiri tipikal santri yang tidak bisa belajar di tempat yang ramai. Padahal saat mondok di Lamongan ada program belajar bersama yang terkadang ada beberapa santri yang membuat keributan dan suasana menjadi berisik. 

Soal musik pun demikian. Setiap hari jumat kami boleh mendengarkan lagu dari tape recorder. Ada beberapa santri yang senang dengan lagu dangdut dan ada juga yang senang dengan lagu-lagu India. Saya sendiri gemar mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia dan lagu Korea. Pada kondisi ini lah saya dituntut belajar untuk menerima perbedaan dan beradaptasi. 

Saya tidak mungkin menyikapinya dengan membenci kawan yang berbeda selera musiknya atau marah pada santri yang membuat keributan atau mengeraskan suaranya dalam belajar. Solusi saya adalah mencari tempat yang sepi dan terang, kemudian mengajak kawan lain yang mempunyai cara belajar yang sama. Kami pun memutar lagu secara bergilir supaya para santri dapat mendengar lagu sebagaimana favorit masing-masing.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun