Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Modal Nekat [Part 2 - Termakan Omongan]

17 Mei 2019   08:59 Diperbarui: 17 Mei 2019   09:04 10 1
"Pandai-pandailah menyaring dan memilah ucapan orang. Bisa saja perkataan mereka merupakan salah satu cara supaya kau juga terjatuh di jurang yang sama dengannya."

---------------------------------

Peperangan hampir dimulai. Hari menjelang pertempuran yang membuat jantung tak bekerja normal setiap saat. Ya, hari ujian telah tiba.

Kali ini, Mama yang mengantarku karena Papa harus bekerja, menyiapkan uang untuk pendidikanku nanti jikalau aku lulus. Terlebih lagi, Mama hanya ibu rumah tangga yang tak memiliki banyak kesibukan.

Sehari sebelum tes, aku tak banyak belajar. Boro-boro belajar, melihat sampul bukunya saja aku sudah bosan. Rasanya semua soal sudah kucicipi.

Aku memang tak mau menjejalkan materi-materi itu sekaligus. Apalagi dalam waktu kurang dari 24 jam. Bisa-bisa besok otakku langsung nge-blank saat melihat soal-soal yang disajikan. Jadi, aku malah merilekskan otakku menjelang ujian ini.

Jangan berpikir kalau aku menghabiskan waktu untuk jalan-jalan atau bersenang-senang. Aku hanya sharing dengan kakak tingkatku melalui pesan singkat, yang kebetulan dia juga tetanggaku.

Beberapa support kudapatkan murni dari hati untuk menyemangatiku. Setelah kuakhiri berkirim pesan dengannya. Kuberandai-andai membayangkan jika aku berhasil lulus dan sekolah di SMA Unggulan. Kubayangkan diriku yang sedang memasuki gerbang sekolah menggunakan seragam khasnya kemeja putih dibalut dengan jas berwarna biru dongker dan rok panjang berwarna biru dongker yang menjuntai sampai di bawah mata kaki, juga dasi berwarna merah maroon yang bertengger rapi di lehersembari membawa beberapa buku paket yang kudekap di depan dada dengan satu tangan. Ah, membayangkan hal manis seperti itu membuatku senyum-senyum sendiri, sampai-sampai tak dengar ucapan Mama yang menyuruhku tidur.

***

Keesokan harinya, aku sudah berdiri bersama pendaftar lain di lapangan upacara, melakukan upacara pembukaan sebelum tes dimulai. Dipandu kepala sekolah dan beberapa siswa dari sekolah itu.

Sesaat kemudian upacara dibubarkan, siswa-siswi mengarahkan kepada pendaftar supaya memasuki ruang ujian sesuai kelompok masing-masing. Satu kelompoknya didampingi tiga kakak pendamping dari SMA itu.

Kami berbaris kemudian jalan dengan barisan tetap rapi seperti orang sedang antre.

Jantungku berdebar, kusibakkan rambut ikal panjang yang menutupi wajahku sedikit. Mataku mencari-cari keberadaan Mama.

"Hes, hadap sini." Mama memberi kode kemudian fokus pada ponsel yang dibawanya.

Aku tahu maksudnya, Mama ingin mengambil gambarku.

"Gak usah, Ma. Nanti aja."

Karena takut dimarahi kakak pendamping kalau aku berhenti, aku pun melenggang pergi, melanjutkan langkah kakiku menjauhi Mama. Sebab kalau aku berhenti terlalu lama, otomatis orang-orang yang baris di belakangku pun ikut berhenti.

Sesampainya di ruang ujian, kucari letak bangku ujianku. Setelah ketemu, kuhempaskan bokong di kursi, kuletakkan papan ujian beserta alat tulis di atas meja, kemudian menyimpan tas di samping kursi.

Pengawas ujian masuk.

"Tasnya kumpulin jadi satu di depan."
Tanpa ada yang merespons, satu per satu menaruh tasnya ke depan, pun juga aku.

"Oke, sudah siap?"

"Sudah, Pak," jawab kami kompak.

"Silakan salah satu perwakilan buat pimpin doa terlebih dahulu."

Setelah selesai berdoa menurut kepercayaan masing-masing, pengawas langsung membagikan soal ujian layaknya ujian-ujian seperti biasanya.

Kuhirup napas panjang, lalu mengembuskannya dengan tenang. Kubuka lembar demi lembar kertas ujian yang disuguhkan di hadapanku. Mengamatinya sejenak, beberapa kali aku mengangguk-anggukkan kepala, kemudian mulai mengerjakannya.
Suasana hening. Seluruh peserta fokus pada kertas ujian masing-masing.

Waktu berjalan hampir dua jam, menandakan waktu ujian akan segera habis.

"Lima belas menit lagi. Yang sudah selesai bisa cek ulang jawabannya." Pengawas ujian mengingatkan.

Aku kelabakan. Entah karena terlalu asyik dan telalu fokus pada soal-soal tertentu yang memusingkan atau apa, aku pun tak tahu. Yang pasti, aku kekurangan waktu.

Jika boleh minta tambahan waktu, aku ingin melakukannya. Tapi itu mustahil. Ini persaingan yang cukup ketat. Mana boleh minta waktu tambahan.

Hari ini sepertinya Dewi Fortuna tidak berpihak padaku. Dua jam waktu yang diberikan untuk melahap 100 soal terasa seperti satu jam saja. Seolah waktu berjalan lebih cepat hari ini.

Aku gugup juga cemas. Takut jika ada soal yang tak mampu terjawab. Detak jantungku pun lebih kencang daripada saat mau memasuki ruangan ini.

"Oh, Tuhan. Tolong aku. Apa yang harus kulakukan sekarang?" ucapku dalam hati.

Rasanya, saat itu ingin sekali menggunakan jurus simsalabimnya pesulap, sekali kedip langsung beres. Atau minta tolong ke Mbah Google untuk menanyakan soal-soal sulit itu.
Sebenarnya, cukup banyak soal-soal yang ada di bukuku keluar di lembar soal ujian ini. Tapi otak dan memori ingatanku tak bisa diajak kompromi.

***

Setelah ujian usai, buru-buru kubuka buku milikku. Sedetik sorak-sorai kegirangan sembari mengucapkan hamdalah, sedetik kemudian kesal kepada diri sendiri sembari menghela napas panjang diiringi mengucap "Yah, salah."

"Gimana Hes soalnya, mudah atau sulit? Hesti bisa jawab semua?"

"Ada yang susah, ada juga yang mudah, Ma. Dan sebagian soal-soal tadi ada buku ini." Kuperlihatkan buku yang kumaksud ke Mama.

"Ya udah, ayo ke hotel dulu. Nanti sore ke sini lagi lihat pengumuman. Kalau Hesti lulus, besok Hesti tes lagi. Kalau Hesti gak lulus, besok pagi-pagi kita pulang," tutur Mama.

***

Masih penasaran dengan jawabanku tadi dan beberapa soal yang tak bisa kujawab yang kebetulan ada di buku UN SMP milikku. Kuputuskan untuk mengecek berapa soal yang berhasil kujawab dengan benar, dan berapa soal yang salah menjawab. Soal ujian tadi memang dikumpulkan, tapi aku ingat beberapa soal, karena sama persis.

Aku lemas, dari sekian soal yang kuingat, ternyata lebih banyak yang salah jawab ketimbang yang benar.

Kenapa sih soal ujian tertulisnya diambil dari soal-soal UN SMP tahun terdahulu? Mungkin ada yang beranggapan mudah, karena tinggal belajar soal-soal UN saja. Aku pun sebenarnya tak tahu kalau soal yang diujikan itu diambil dari soal-soal UN, pasalnya UN saja masih sekitar dua sampai tiga bulan lagi baru dilaksanakan. Dan aku belajar untuk persiapan UN baru mulai sebulan yang lalu. Awal bulan Januari.

Penerimaan siswa baru SMAN 3 Unggulan Kayuagung memang dilaksanakan jauh sebelum menghadapi UN. Mungkin itulah alasan tim penyeleksi memilih soal-soal UN untuk menguji kemampuan pesertanya.

***

Sore ini aku dan Mama datang lagi ke sekolah untuk melihat pengumuman tes yang baru selesai dilaksanakan beberapa jam lalu. Beberapa kendaraan roda empat milik orangtua pendaftar terparkir rapi. Kuteguk ludah dengan susah. Berpikiran kalau yang daftar ke sekolah ini banyak yang keuangannya level atas jauh dari keuangan orangtuaku.

Di samping gedung serbaguna para peserta berdesak-desakan ingin melihat hasil jerih payahnya. Ada juga yang mengambil gambar pengumuman itu menggunakan ponsel.

Aku izin sama Mama untuk ikut melihatnya.

Deg!
Sudah kuduga. Aku gagal. Kakiku lemas seketika bak tak ada tulang. Kuhampiri Mama dan memberikan kabar buruk itu padanya.

Raut wajahnya tergambar jelas kalau Mama sedih dan kecewa denganku. Serapat apa pun Mama menutupinya dan berusaha menguatkanku, tqpi aku bisa membacanya.

Kupeluk tubuh Mama. Itu kali pertama aku membuatnya menangis. Air matanya mungkin tak jatuh, tapi hatinyalah yang menangis.
Ingin sekali kukeluarkan air mataku, tapi aku tak ingin membuat Mama makin bersedih dan mengkhawatirkan perasaanku.

***

Besok pulang ke kampung halaman, dan sekarang aku dan Mama mengemasi barang-barang di hotel.
Mama yang mengetahui aku tak banyak bicara setelah melihat berita menyakitkan itu, menawariku untuk makan dan jalan-jalan yang bermaksud agar aku melupakan kejadian menyedihkan hari ini.

Aku menggeleng.

Sungguh, aku terpukul. Aku kecewa pada diriku sendiri yang menganggap soal-soalnya bisa kujawab dengan mudah. Aku juga menyesal telah mempercayai tetanggaku yang lain yang mengatakan kalau soal-soalnya mudah. Padahal dia sendiri tidak lulus tes tersebut.

Aku mengumpat dalam hati.

Bodohnya aku telah percaya dengan omongan orang yang jelas-jelas dia saja terjatuh di sana.

Ini pengalaman bagiku untuk tidak mudah mempercayai omongan orang. Lain kali, aku akan menyaring setiap perkataan yang diucapkan orang, terutama dia, penyebar virus yang membuatku gagal. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan pernah percaya lagi apa pun yang dia ucapkan. Sungguh!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun