Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Ketika Senja Tiba

5 November 2021   13:38 Diperbarui: 5 November 2021   13:52 395 13
Aku menatapnya.

Ah, dia sungguh sangat berbeda dari puluhan tahun yang lalu. Guratan tak lagi hanya disudut mata atau dilekuk bibir, tapi di setiap lipatan kulit yang mulai menua.

Uban tak lagi satu dua, tapi sudah merajalela membuat rambut hitam legam yang dulu menjadi mahkota, kini berganti warna putih abu-abu.

Aku menatapnya dengan sejuta rasa. Semuanya sudah sangat berbeda. Dia tak lagi sama seperti dulu. Lihatlah kursi roda yang didudukinya kini, usia dan cerita telah mengkhianatinya. Ia tak sekokoh dulu, tak mampu lagi mengalirkan kekuatan di kedua kakinya.

Aku menatapnya, bayanganku dicermin.

Betapa waktu bergulir begitu deras, dan aku sudah menua tanpa terasa. Besok aku akan merayakan ulang tahunku yang ke tujuh puluh tahun. Ulang tahun pertamaku ditempat ini. Tempat yang sejak seratus hari yang lalu menjadi rumahku yang baru.

"Mama yakin tidak mau merayakan di rumah saja? Mama bisa undang teman-teman mama ke rumah," kata Hania waktu itu, mencoba membujukku untuk berubah pikiran. Aku menggelengkan kepala.

"Tidak sayang, mama ingin merayakan disini. Kalau dirumah, banyak teman mama yang kesulitan untuk datang. Kau khan tahu kondisi mereka, banyak yang perlu dibantu. Nanti malah merepotkan." Kataku sembari mengelus-elus pundaknya.

Kulihat raut wajahnya yang agak muram dan bimbang. Aku memahami perasaannya, tapi kadang ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar perasaan, bukan ?

Hania, putri tunggalku. Aku dan dia nyaris tak terpisahkan. Aku bahkan dengan sepenuh kesadaran melepaskan karierku yang waktu itu sedang pada puncaknya, demi dia.

Hania yang mengalami obesitas ketika balita karena setiap kali rewel, babysitter yang menjaganya menggelontornya dengan susu berkalori tinggi untuk membuatnya diam. Berganti beberapa kali babysitter, masalah tak juga mereda.

"Kalau tidak cepat ditangani, ini akan berpengaruh buruk pada kesehatan Hania, Bu. Larinya bisa ke pernafasan, ke jantung, ke perkembangan motoriknya, belum lagi resiko terkena diabetes." Begitu kata dokter waktu itu. Obesitas pada balita bukanlah hal yang sepele.

Rasa bersalah bertalu-talu memenuhi hati dan pikiranku, saat itu juga aku memutuskan resign  dengan semua konsekuensinya. Menjual mobil  dan membatalkan semua rencana liburan ke luar negeri.

Kami menata ulang hidup kami. Suamiku sama sekali tidak keberatan, bahkan kulihat ada rona lega dan bahagia di wajahnya. Cukuplah kini kami berwisata keluar kota saja atau sekedar berjalan-jalan menikmati sisa-sisa pematang sawah di pinggir kota.

Sejak itu, aku dan Hania tidak terpisahkan.

Aku ada di setiap fase hidupnya. Hari pertamanya masuk sekolah dan belajar mengayuh pedal sepeda. Ketika ia pertama kali jatuh cinta lalu menangis dalam pelukanku karena hatinya patah. Aku tak pernah melewatkan recital balet dan pianonya. Tak pernah jeda mendengarkan cerita-ceritanya.

Lalu, suatu hari ia datang dengan wajah bimbang, memegang ujung rok seragam abu-abunya.

"Mama, aku mendapatkan beasiswa!"

Hatiku tumpah oleh rasa bangga. Ia bahkan belum menyelesaikan SMA-nya.

Dimalam ia akan berangkat, kami menghabiskan waktu berdua di kamarnya.

"Mama, jangan lupa rutin minum vitamin ya?" Ucapnya dengan nada khawatir sembari memelukku erat.

Ah, putriku. Bahkan disaat-saat seperti ini ia bukannya diserbu rasa khawatir akan hidup sendiri di negeri empat musim ribuan mil jauhnya dari tanah air, tapi malah mengkhawatirkan aku.

"Mama baik-baik saja, seperti mama yakin kamu juga pasti akan baik-baik saja disana. Mama yakin kamu pasti bisa menjaga diri. Ingat kata mama khan? Kamu tidak pernah sendiri meski kadang kamu merasa sendirian. Ada Tuhan yang menjagamu."

Aku mengecup keningnya, mencoba tenang meski ribuan rasa bergemuruh dalam dada.

Secara naluri aku ingin dia tetap dalam pelukanku, dalam pandangan mataku, dalam radar pengawasanku. Tapi untuk apa selama ini aku melatih sayap-sayapnya supaya kokoh, ketika saatnya dia terbang aku malah menggenggamnya erat ?

Sekaranglah saatnya membiarkannya terbang tinggi, menemukan dunia yang memang tercipta untuknya.

Setidaknya aku tahu, aku telah memberinya akar yang kuat, yang memampukannya menghadapi angin kencang dan badai diluar sana dengan kokoh.

Tentu saja, ingin sekali rasanya mengantarkannya sampai ke negara tujuan dan memastikan disana dia mengawali fase hidupnya yang baru dengan baik, tapi apa daya tabungan kami tidak cukup untuk membeli tiket pulang pergiku dan segala macam persyaratan administrasi.

"Jangan khawatir. Dia gadis yang mandiri dan kuat. Kamu sudah membesarkannya dengan luar biasa," ujar suamiku menenangkan, ketika di bandara keesokan paginya dilihatnya mataku basah setelah beberapa waktu lalu berusaha tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Hania yang berjalan sambil menyeret koper besarnya.

"Aku? Maksudmu, kita? Kita yang membesarkannya bersama."  Sahutku dan menangis dalam pelukan suamiku. Bagaimanapun, aku hanya seorang ibu yang melepas putrinya yang baru berusia tujuh belas belas tahun menyeberangi samudera. Sendirian.

Musim berlalu. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun