Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Manajemen Kerumunan, Mulai dari Diri Sendiri

4 November 2022   21:27 Diperbarui: 4 November 2022   22:00 152 3
Tragedi Kanjuruhan, yang disusul dengan Tragedi Itaewon, masing-masing di awal dan akhir bulan Oktober 2022, telah menghadirkan beragam perspektif seputar manajemen kerumunan, dan pandangan

Soal kerumunan sendiri, saya kadang langsung ciut nyali setiap kali melihatnya. Entah itu berupa antrean di tempat umum atau kerumunan di event tertentu, rasa takut itu tidak bisa disembunyikan.

Penyebabnya, dengan kondisi fisik saya yang tidak cukup kuat, seandainya terjadi apa-apa, saya akan berada dalam posisi paling rawan. Jangankan berdesakan, tersenggol atau hilang keseimbangan sedikit saja saya bisa langsung jatuh.

Kerawanan ini semakin sempurna, karena tingkat ketertiban di masyarakat belum optimal. Lalu lintas saja masih semrawut walaupun sudah ada rambu-rambu dan tata tertib.

Jadi, ketika bertemu kerumunan atau keramaian dalam posisi sendiri, rasa takut langsung naik seketika, karena pengalaman kurang mengenakkan sering datang.

Dalam posisi sendirian, tersenggol atau terluka dalam kerumunan kadang terasa seperti tabrak lari. Mereka yang menabrak kadang berlalu begitu saja.

Membantu? Tidak perlu berharap banyak. Dalam keadaan terburu-buru atau panik, mau minta maaf saja sudah sangat bagus. Kalau ada luka atau cedera, terpaksa diobati sendiri.

Berangkat dari pengalaman itu, dalam posisi sendirian, saya sering menyendiri dan memilih tidak terburu-buru.

Seandainya ada fasilitas kursi roda, seperti di stasiun atau bandara, dan itu ditawarkan, saya memilih untuk menggunakan. Di sini, saya sangat mengapresiasi kesigapan petugas, karena mereka mampu memberi rasa aman, khususnya buat mereka yang secara fisik "rentan" di keramaian.

Mungkin, ini terlihat malas, tapi stereotip seperti itu tidak akan menolong kalau saya tersenggol dan terluka. Menariknya, situasi ini sering jadi kesempatan untuk "menerima diri" sambil membangun kesadaran di sekitar.

Dalam sejumlah kesempatan, saya justru mendapati, orang dalam keramaian akan langsung tanggap, setiap kali melihat orang berkursi roda, memakai tongkat atau sejenisnya.

Daya tangkap ini jauh lebih cepat daripada melihat orang yang berjalan terpincang-pincang.

Selebihnya, jika harus bertemu keramaian dan kerumunan, saya hanya berani menghadapi itu secara langsung, jika ada yang menemani, atau kerumunan itu terdiri dari orang-orang yang saya kenal.

Belajar dari pengalaman selama ini soal keramaian atau kerumunan, ada satu titik rawan, yang membuat ini bisa berbahaya, yakni situasi panik, khususnya bagi penyandang disabilitas seperti saya.

Disebut berbahaya, karena dalam situasi panik, segalanya jadi tidak terkontrol. Mirip seperti hukum rimba: yang kuat mengalahkan yang lemah.

Realita ini mungkin tidak enak didengar, tapi itulah yang sering terjadi. Bagi mereka yang secara fisik lemah, kerumunan atau keramaian adalah satu alarm peringatan dini untuk melakukan manajemen kerumunan dari diri sendiri.

Sebuah mekanisme yang sebetulnya alamiah, karena pada dasarnya dimiliki manusia, tapi sering terabaikan karena kurang waspada. Seharusnya, kita tidak perlu menunggu ada kejadian buruk untuk  menyadarinya, karena mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun