Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Memahami Satu Sisi Traumatis Tragedi Kanjuruhan

3 Oktober 2022   21:23 Diperbarui: 3 Oktober 2022   21:27 379 7
Tragedi Kanjuruhan akhir pekan lalu menjadi satu cerita memilukan, bukan hanya di tingkat nasional, tapi juga di tingkat dunia. Maklum, tragedi ini menjadi salah satu insiden tragis di stadion dengan korban jiwa paling banyak di dunia.

Karenanya, wajar jika pemberitaan dan sorotan media atas kejadian ini bisa mendunia. Kali ini, nama Indonesia bergema di tingkat dunia, sayangnya karena satu tragedi.

Berbagai respon dan ungkapan belasungkawa datang dari berbagai arah, mulai dari FIFA, sampai klub-klub Eropa, semua ikut ambil bagian. La Liga Spanyol dan Eredivisie Belanda bahkan kompak mengadakan hening cipta jelang kick off pertandingan hari Minggu (2/10).

Tak sampai disitu, Presiden Joko Widodo sampai menginstruksikan Liga 1 diliburkan, sampai investigasi dan pembenahan yang diperlukan benar-benar tuntas. Langkah ini belakangan disusul dengan pembentukan tim khusus yang dipimpin Menkopolhukan Mahfud MD, Senin (3/10)

Terlepas dari silang sengkarut dan beragam sudut pandang yang turut mewarnai, ada kabar mengejutkan lain yang datang, yakni keputusan Valentino Simanjuntak mengundurkan diri sebagai komentator Liga 1.

Melalui akun Instagramnya Minggu (2/10) lalu, komentator yang juga berprofesi sebagai advokat ini mengumumkan keputusannya. Mungkin, ini terasa mengejutkan, tapi cukup bisa dimengerti, karena dialah yang menjadi salah satu komentator di pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya.

Dari segi permainan, untuk ukuran Liga Indonesia, laga bertajuk Derby Jawa Timur itu memang berlangsung menarik dan lancar sampai wasit meniup peluit panjang.

Masalahnya, setelah pertandingan usai, oknum suporter Arema FC yang tak menerima kekalahan Singo Edan tiba-tiba masuk ke lapangan. Dimulai dari satu-dua orang, jumlahnya lalu membeludak, sehingga menciptakan situasi "chaos" hingga memakan korban jiwa lebih dari 100 orang.

Keputusan mundur Bung Jebreet memang cukup mengejutkan, tapi bisa dimaklumi, karena tragedi yang hadir benar-benar memilukan, dan terjadi tak lama setelah pertandingan yang dikomentarinya di televisi selesai.

Dengan korban jiwa yang menembus angka ratusan, wajar jika keputusan mundur diambil. Tragedi seperti ini adalah satu pukulan traumatis, bagi mereka yang empatinya masih hidup.

Di media sosial saja, sudah banyak pecinta sepak bola nasional yang sudah menyatakan kehilangan minat untuk menonton Liga 1 musim ini, karena musibah di Malang itu begitu mengerikan.

Sebelumnya, aksi tidak menonton langsung di stadion juga sempat dilakukan oleh kelompok suporter PSS Sleman selama bulan September, menyusul wafatnya dua orang fans PSS Sleman dalam dua kejadian terpisah, meski sama-sama tidak terjadi di stadion.

Maka, ketika Tragedi Kanjuruhan terjadi, keputusan yang diambil Valentino Simanjuntak sangat bisa dimengerti. Begitu juga jika ada pemain Arema FC yang nantinya memutuskan hengkang dalam waktu dekat.

Suka atau tidak, kita harus mengakui, kejadian ini akan mendatangkan satu trauma tersendiri bagi mereka, karena para pemain Arema FC ikut melihat langsung tragedi ini.

Dalam sejumlah pemberitaan di media, pelatih Javier Roca dan Abel Camara (penyerang Arema FC) bahkan menyebut, ada beberapa suporter yang meninggal dunia di ruang ganti pemain saat ditampung dan diberi perawatan darurat, dengan disaksikan langsung para pemain.

Bagi para korban selamat dan seluruh keluarga korban, rasa trauma jelas tak bisa dihindari dan butuh waktu untuk move on. Kalaupun bisa sepenuhnya move on, cara pandang mereka akan berubah total setelah ini, karena akibat dari kejadian ini terlalu mahal untuk hanya jadi satu pembelajaran tanpa perbaikan.

Di sisi lain, jika ternyata animo suporter dan rating siaran Liga 1 menurun setelah kompetisi bisa kembali dilanjutkan, ini adalah satu hal yang seharusnya bisa dimengerti, karena Tragedi Kanjuruhan tak akan bisa dilupakan begitu saja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Jika melihat tingkat keparahan Tragedi Kanjuruhan, wajar jika PSSI (sejauh ini) menghukum Arema FC, dengan melarang mereka jadi tuan rumah di sisa musim ini. Sanksi ini masih berpeluang diperberat, khususnya jika hasil investigasi yang ada terbukti memberatkan.

Apapun sanksinya, sekalipun itu degradasi ke level amatir, seharusnya tidak boleh ada tawar menawar atau banding dengan alasan apapun, karena ini adalah tragedi dalam stadion paling mematikan di sepak bola nasional, sekaligus jadi catatan korban meninggal terbanyak di Asia.

Maka, sekalipun sanksinya akan sangat memberatkan, sanksi ini harus benar-benar mampu menciptakan efek jera. Dengan harapan, kelompok suporter lain juga bisa ikut teredukasi untuk tidak bertindak anarkis.

Untuk saat ini, ketegasan menjadi kunci, untuk memulihkan krisis kepercayaan publik sepak bola nasional, sekaligus memperbaiki sisi negatif sepak bola nasional yang sedang disorot dunia.

Jika PSSI dan pihak terkait mampu bersikap tegas dan konsisten, berarti ada harapan untuk sepak bola nasional bisa lebih baik di masa depan, karena simpati dan empati yang ada bisa mengubah satu tragedi jadi titik balik untuk bangkit.

Jika ternyata tidak ada ketegasan dan perbaikan, mungkin kebobrokan yang ada memang sudah tidak bisa ditolong lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun