Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Konversi Sepenuhnya ke Energi Listrik, Yakin?

24 September 2022   18:05 Diperbarui: 24 September 2022   18:05 278 5
Dalam beberapa waktu terakhir, bahasan soal konversi ke energi listrik cukup banyak mengemuka. Dua diantaranya adalah mobil listrik dan kompor listrik, yang sama-sama diklaim lebih ramah lingkungan, karena minim gas buang dan tidak bising.

Energi listrik di sini memang terlihat futuristik, tapi apa yang sebenarnya terlihat justru lebih rumit. Kerumitan ini datang, dari sumber utama, biaya, dan daya kinerjanya.

Dari segi sumber utamanya, ternyata sumber utama energi listrik sebagian besar masih bersumber dari bahan bakar fosil alias BBM, yang harganya belum lama ini naik. Jadi, kalau ada yang mengklaim ini teknologi terbarukan, validitas klaim itu belum sepenuhnya bisa dipercaya.

Dari segi biaya, energi listrik, khususnya di Indonesia, juga punya "hobi" yang mirip dengan energi bahan bakar fosil, yakni sering mengalami kenaikan harga.

Belakangan, peluang kenaikan harga di sektor listrik sempat terbuka, karena muncul isu yang menyebut adanya wacana perubahan daya listrik 450 VA ke 900 VA.

Meski belakangan dibantah PLN dan pemerintah, isu ini masih bergulir, karena masih ada program uji coba kompor listrik, sebagai pengganti kompor gas. Selama uji coba ini masih bergulir, semua tetap harus waspada.

Seperti diketahui, kompor listrik membutuhkan standar daya listrik minimal 800 VA. Jadi, wajar kalau angka perubahan daya listrik yang diwacanakan berada di 900 VA. Itu baru kompor listrik,  belum mobil listrik, yang butuh daya energi lebih besar.

Masalahnya, jika kapasitas dayanya naik, otomatis tarif dasar listriknya akan ikut naik. Bagi sebagian masyarakat, terutama kelas ekonomi menengah ke bawah, ini akan jadi beban tersendiri. Jangankan untuk menabung, saldo tidak minus saja sudah sangat bagus.

Berhubung harga BBM belum lama ini naik, masalah harga jelas akan jadi satu perkara sangat sensitif. Jika pemerintah tidak hati-hati, kebijakan yang tampak futuristik ini bisa jadi bumerang.

Pada batas tertentu, pemerintah mungkin bisa saja memberikan tarif atau bantuan subsidi. Masalahnya, ini bisa mendatangkan ketergantungan di masyarakat.

Keberadaan subsidi juga kadang bisa menimbulkan kerawanan baru. Masih belum optimalnya kinerja dan tata kelola institusi negara, termasuk lembaga terkait menjadi salah satu penyebabnya.

Dalam banyak kesempatan, masalah ini terlihat, misalnya saat ada defisit atau rencana penghematan. Apapun masalah dan bidangnya, naik harga hampir selalu jadi solusi tunggal.

Masalah lain yang masih jadi PR sektor kelestarian di Indonesia adalah, masalah mati listrik yang bisa sampai berjam-jam, tanpa pemberitahuan dan kompensasi apapun, kecuali jika ada kejadian sangat luar biasa.

Bagi mereka yang sangat bergantung pada energi listrik, kelemahan ini cukup fatal. Ini kadang masih terjadi di daerah perkotaan, yang tiap sudutnya sudah teraliri listrik. Apa kabar dengan daerah yang aliran listriknya masih terbatas bahkan belum ada sama sekali?

Berangkat dari semua kekurangan yang masih ada, sebaiknya perlu lebih mematangkan dulu rencana Program Kompor Listrik dan sejenisnya, sambil terus meningkatkan kualitas kinerja, sebelum benar-benar diterapkan.

Jangan sampai, kebijakan yang ada memaksa masyarakat yang sedang mulai berjalan setelah bangkit dari pandemi untuk berlari kencang. Lebih baik punya kebijakan lama yang mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, daripada punya kebijakan baru yang berada di luar jangkauan masyarakat, khususnya mereka yang termasuk golongan rentan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun