Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Imlek, antara Memori dan Gap Generasi

1 Februari 2022   22:39 Diperbarui: 1 Februari 2022   23:30 291 5
Bicara soal momen Imlek, setiap orang mungkin punya perspektif sendiri, dan itu banyak dipengaruhi lingkungan terdekat masing-masing. Kadang, ada rasa berbeda dari satu tahun ke tahun lain.

Untuk Imlek tahun ini, sebenarnya kata memori masih mewarnai, karena  berkesempatan pulang kampung sebentar ke Wonosobo, satu kota kecil di Jawa Tengah, yang notabene kampung halaman saya.

Meski kotanya sudah lumayan berubah dibanding waktu saya kecil dulu, ada potongan-potongan memori yang masih hadir dalam ingatan.

Misalnya, dalam perjalanan waktu berkunjung ke makam Opa dan Oma, ingatan saya melayang sejenak ke momen waktu saya berjalan kaki ke sana bersama Opa waktu menengok makam Oma.

Saya ingat, kami berjalan kaki pulang pergi tanpa terburu-buru. Maklum, kompleks pemakaman itu terletak di atas bukit, dan jalan aspal menuju ke sana lumayan menanjak dan menurun.

Meski setiap sampai di rumah saya selalu kelelahan, pada saat bersamaan saya selalu merasa lega, karena selalu bisa melakukannya dengan baik.

Di sisi lain, meski Opa tak pernah membakar semangat seperti motivator di televisi, momen "jalan-jalan" itu tak pernah membosankan, karena kami bisa saling bertukar posisi, saat mendengar atau didengar. Dari sini juga, Opa banyak mengajarkan soal penerimaan diri.

Sebagai contoh, kalau saya tersandung dan jatuh, Opa selalu memberikan sedikit waktu untuk menenangkan diri, sebelum lanjut berjalan, sambil mengingatkan saya untuk hati-hati dan tidak terburu-buru, karena inilah "ciri" tubuh saya: tidak dirancang untuk bisa bergerak cepat.

Kalaupun sedang tidak beruntung karena mengalami cedera, masalah ini seharusnya tetap bisa diterima sebagai sebuah kecelakaan. Ada kalanya hal-hal seperti ini tidak bisa dihindari. Tidak semua hal berada dalam kendali mutlak manusia.

Jujur, cara pandang ini selalu bisa membuat saya punya keberanian yang sama, untuk berjalan tanpa trauma dan rasa takut pada jatuh atau cedera. Satu hal yang jadi "missing link" sejak Opa berpulang.

Uniknya, Opa juga pernah mengatakan, jika ada yang ingin membantu, ada kalanya bantuan itu boleh diterima. Begitu juga waktu ada yang mengejek secara fisik, tidak selalu bisa dibalas ejekan, kecuali waktu sedang bercanda, atau sudah keterlaluan, karena sikap itu adalah satu bagian dari proses penerimaan diri.

Kalau sudah menerima diri sendiri, lingkungan seharusnya akan ikut menerima, kecuali jika lingkungan itu sudah "kebangetan" alias toksik.

Mungkin, memori di atas terdengar bagus, tapi, di tempat yang sama, ada juga memori sulit, tepatnya saat momen pemakaman Opa, akhir bulan Februari 2014 lalu. Waktu itu, saya mendampingi peti jenazah Opa sendirian di dalam mobil jenazah, dalam perjalanan dari rumah duka ke kompleks pemakaman.

Sebenarnya, ini terasa sulit, tapi saya tidak punya alasan untuk berkata tidak, karena Opa selama ini sudah sangat baik, bahkan sempat melempar "pesan pamitan" dan "pesan wasiat" sebelum berpulang.

Karena itulah, setidaknya, saya harus kuat untuk ini. Jika biasanya Opa "mengantar" saya waktu berjalan-jalan, waktu itu giliran saya "mengantar" Opa ke peristirahatan terakhir.

Selain memori tentang Opa, ada juga sekelebat memori soal masa kecil, seperti halnya yang dimiliki generasi ayah saya di kota sejuk ini.

Tapi, memori itu telah menjadi sebentuk gap generasi, karena teman-teman masa kecil saya kebanyakan sudah (minimal pernah) pergi merantau. Kalaupun ada yang pulang kampung, mereka masih punya kesibukan yang tidak bisa diganggu.

Gap generasi ini memang masih diisi generasi senior, dan bisa saja saya ikuti, dalam posisi sebatas mendengar.

Meski begitu, jujur saja, ada kalanya ini bukan untuk saya ikuti, apalagi jika topik bahasannya sudah menjurus toksik, misalnya perbandingan soal status perkawinan, pekerjaan, jumlah cucu, atau jumlah anak.

Jika Imlek adalah satu momen silaturahmi, seharusnya ini bisa jadi memorable dalam artian positif, bukan sebaliknya, atau hanya sepotong-potong.

Mungkin, masalah gap generasi ini menjadi satu bagian menyebalkan. Tapi, kesempatan untuk kilas balik memori berkesan, sambil ikut mendoakan orang-orang terdekat di peristirahatan terakhir mereka, tetap menjadi satu hadiah spesial di saat Imlek.

Ini mirip secangkir kopi hitam murni tanpa gula: di balik warna gelap dan rasa masam atau pahit nan pekat, selalu ada rasa manis alami dan sensasi "aftertaste" yang nikmat.

Benar-benar seimbang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun