Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Piala AFF 2020, Timnas Indonesia, dan Nasionalisme Salah Kaprah

1 Januari 2022   15:11 Diperbarui: 1 Januari 2022   15:22 335 2
Pada gelaran Piala AFF 2020, kita disuguhi sebuah fenomena menarik seputar suporter, khususnya suporter Timnas Indonesia. Meski kebanyakan hadir di dunia maya, mereka tampak begitu antusias.

Dimulai dari hasil imbang tanpa gol melawan Vietnam, dan berpuncak pada kemenangan atas Malaysia dan Singapura, antusiasme itu berubah menjadi euforia, karena tim asuhan Shin Tae-yong lolos ke final.

Uniknya, antusiasme itu masih ada (setidaknya sebagian) meskipun Timnas Indonesia keok 0-4 dari Thailand di leg pertama. Sebuah semangat bercampur harapan, dalam situasi yang jauh dari ideal.

Sayang, semangat tinggi itu tak sepenuhnya dilengkapi dengan sikap "sportif", karena masih ada saja yang mempertanyakan, mengapa performa Tim Garuda tampak loyo di leg pertama. Padahal, lawan memang bermain lebih baik, entah secara statistik maupun hasil akhir.

Atas nama "nasionalisme" dan alibi "masih ada leg kedua", alih-alih dijadikan medium evaluasi, kemenangan 4-0 Thailand atas Indonesia seperti enggan untuk diakui.

Tak banyak warganet atau media kita, yang dengan gentle memberi selamat atas kemenangan dan dominasi Changsuek di sepanjang pertandingan, dan memilih realistis untuk leg kedua.

Sekali ada, nasionalisme-nya akan langsung dipertanyakan. Padahal, mengakui kekalahan adalah bagian dari sikap sportif, sikap universal yang wajib dibudayakan dalam olahraga (dan aspek kehidupan secara umum). Jika tidak, maka ada yang salah di sini.

Sekalipun alasannya adalah karena rasa "nasionalisme", maka bisa dipastikan itu adalah "nasionalisme salah kaprah", karena sifatnya cenderung toksik.

Saya sebut demikian, karena dalam pandangan "nasionalisme salah kaprah" ini, ada kecenderungan untuk bangga secara berlebihan, tapi enggan mengakui kekalahan, apalagi memberi masukan yang bisa bermanfaat.

Celakanya, setiap kali menang, ada euforia gila-gilaan yang kerap muncul sebelum waktunya. Ada juga politisi oportunis, yang tanpa malu-malu memajang fotonya besar-besar.

Tak banyak yang mau mengingatkan untuk tetap fokus. Kalaupun ada, peringatan itu hanya dianggap angin lalu. Euforia gila-gilaan ini telah menciptakan rasa puas diri yang melenakan.

Saat hasilnya ternyata buruk, mereka yang masih mau memberi masukan atau mengakui kekalahan justru akan dipertanyakan nasionalisme nya. Padahal, mengakui keunggulan lawan bukan sebuah kekalahan. Sebuah sikap yang membagongkan sekali.

Padahal, jika tidak salah kaprah, nasionalisme selalu bersifat positif, karena ada objektivitas di sana. Jadi, kekalahan maupun kemenangan akan diterima dengan sama baiknya.

Saat tampil bagus, tak malu untuk memuji, dengan tetap memberi masukan positif. Saat performa dan hasilnya tak sesuai harapan, masukan positif tetap diberikan, alih-alih hanya menghibur diri.

Saya tak tahu, akan segembira apa situasinya, andai Witan Sulaeman dkk ternyata mampu membalikkan skor di leg kedua. Yang pasti, semoga apapun hasilnya, semua bisa menerima dengan sportif.

Entah dari mana datangnya "nasionalisme salah kaprah" ini, tapi Piala AFF 2020 telah menunjukkan, seberapa gawat dampak "nasionalisme salah kaprah", karena ia cenderung bersifat toksik, dan terbukti berdampak negatif.

Jika cara pandang kurang baik ini masih mau diteruskan, sepak bola nasional akan sulit untuk maju, karena tak kunjung dewasa secara mental.

Mau sampai kapan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun