Mohon tunggu...
KOMENTAR
Love Pilihan

HTS Dulu, Friendzone, dan Ghosting Kemudian

24 Agustus 2021   16:56 Diperbarui: 24 Agustus 2021   19:22 460 6
Judul di atas berangkat dari sedikit pengalaman saya soal Hubungan Tanpa Status (HTS) di satu kesempatan. Ceritanya kurang mengenakkan buat saya, karena terasa tragis.

Cerita ini dimulai, saat saya menapak tahun kedua di bangku kuliah. Waktu itu, saya sudah mulai nyaman menjalani aktivitas kuliah dan berorganisasi di kampus, tepatnya di lembaga tingkat fakultas.

Hasilnya, skor indeks prestasi semester pun naik, sampai saya berani mengambil jatah SKS penuh. Rupanya, kemajuan itu ikut dilirik seorang teman wanita, sebut saja Bunga. Satu hal yang tak biasa buat saya, karena tak ada angin atau hujan, dia tiba-tiba datang dan merapat dengan membawa serta banyak pujian.

Satu hal yang sedikit aneh buat saya adalah, pelan tapi pasti, ada ketergantungan yang muncul darinya. Mulai dari keinginan untuk satu kelas bersama, sampai frekuensi curhat yang lumayan sering.

Saya menyebut ini aneh, karena pada saat bersamaan, ada juga teman pria, sebut saja Vano, yang memang sering satu kelas bersama sejak semester awal, dan sering minta bantuan saat ada tugas individu, atau mengerjakan tugas kelompok bersama.

Soal membantu, saya tak keberatan, karena bisa sekalian belajar. Tapi, ada perbedaan kontras antara sikap Bunga dan Vano.

Saat sedang butuh bantuan, Vano biasa bertanya dulu, apa saya bisa atau tidak. Sebagai gantinya, ia tak keberatan mengantar saya ke halte bis, menjemput saya di kampus, atau mengizinkan saya menginap di kostnya, khususnya jika di hari berikutnya ada kuliah pagi, atau kami ada banyak tugas beruntun.

Di luar urusan teknis, kami kadang nongkrong dan saling ngobrol dengan teman-teman lainnya seperti biasa. Meski di semester akhir kami sudah sangat jarang bertemu, karena berbeda dosen pembimbing skripsi, semua berjalan wajar.

Sementara itu, Bunga biasanya langsung menghubungi dan meminta tanpa basa-basi. Dengan datang sendirian, ia langsung menyerahkan semuanya.

Berbeda dengan Vano yang ikut belajar, Bunga lebih sering meminta jawaban. Tak ada diskusi. Dalam beberapa kesempatan, ia curhat masalah pribadinya dengan panjang lebar. Inilah yang membuat saya  terjebak macet HTS.

Situasi ini sempat membuat saya bingung, karena fokus jadi terbagi-bagi. Satu hal yang paling membuat saya jengkel, pelan tapi pasti, setelah tahu saya aktif di organisasi kampus, Bunga makin getol  mendekat.

Beruntung, saat itu saya sudah memutuskan untuk "pensiun" dari kegiatan organisasi kampus, setelah tahun kedua berakhir demi fokus kuliah. Jadi, saya tak bisa menjanjikan apapun kepadanya.

Akhirnya, saya memutuskan untuk iseng melempar "kode menembak" kepada Bunga. Bukan untuk menjadikannya pacar, tapi hanya untuk menguji, apakah benar dia hanya memanfaatkan saya atau ada maksud lain.

Rupanya, inilah titik awal semua terbongkar. HTS itu pelan-pelan berubah jadi "Friendzone". Di sini, image kurang baik soal dirinya terbongkar secara tak sengaja.

Berawal dari permintaannya untuk  dibantu mendaftar ke organisasi kampus di awal tahun ketiga, saya lalu coba membicarakan kepada teman-teman yang masih aktif di lembaga tingkat jurusan, saat sedang jam makan siang di kantin kampus.

Permintaan ini tergolong tak biasa, karena yang biasanya diterima untuk bergabung di organisasi kampus adalah mahasiswa tahun pertama dan kedua. Pertimbangannya sederhana: untuk memperlancar regenerasi. Sudah jelas, saya hanya dimanfaatkan.

Saya lalu menyampaikan permintaan tak biasa ini sambil bercanda, karena permintaan ini sendiri terlihat seperti sebuah candaan. Apalagi, Bunga hanya mengincar poin sertifikat, remeh sekali.

Tanpa basa-basi, saya menyebut, urusan ini sepenuhnya kewenangan teman-teman. Mau di-PHP dulu atau langsung ditolak, bebas. Bola sepenuhnya ada di kaki mereka.

Awalnya, teman-teman penasaran, siapa orang yang punya permintaan aneh ini. Tak disangka, begitu saya sebut nama, sebagian dari mereka langsung tahu. Ternyata, Bunga memang orang yang agak bermasalah.

Setelahnya, saya tak mau tahu lagi. Satu hal yang terlihat setelahnya sudah cukup menjelaskan semuanya: posisi "Friendzone" pelan-pelan naik kelas jadi "Ghosting".

Pengalaman ini kadang saya sebut tragis, karena satu niat baik bisa membuat orang diperlakukan seperti permen karet: habis manis lalu dibuang.

Tapi, saya bersyukur karena di sini bisa melihat semuanya satu persatu, dan belajar "menyerah" secara sadar. Dari sini, saya akhirnya berani "tega" kepada orang seperti itu. Mirip seperti penggalan puisi Chairil Anwar:

Sekali berarti sudah itu mati
Ada yang tak terucap
Sebelum akhirnya kita menyerah

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun