Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Bukan Filosofi Kopi

9 Juli 2021   23:37 Diperbarui: 10 Juli 2021   21:18 322 6
"Kopi adalah satu keajaiban."

Itulah yang biasa kukatakan dan kurasakan soal kopi. Mungkin terdengar berlebihan, tapi begitulah adanya.

Dalam banyak kesempatan, ia bisa membakar semangat saat senang, atau menjadi obat penenang saat susah. Benar, bersamanya, aku terbang ke alam mimpi, menikmati tidur seperti pesawat terbang di cuaca cerah.

Berkatnya, aku tak perlu mengenal obat tidur atau mabuk-mabukan di situasi gila akhir-akhir ini.

Ada kebingungan dimana-mana, panik juga hal biasa. Pagebluk membuat semua mati langkah. Banyak yang ambruk bahkan tinggal nama.

Dalam suasana bising itu, aku merasakan kembali rasa tak berdaya yang menyakitkan. Marah tak bisa, diam pun tak tahan. Sial, tubuh ini tak cukup kuat.

Aku biasa membuat secangkir kopi hitam pekat tanpa gula, tapi tak menolak jika ada kesempatan memberinya gula, atau apapun itu. Entah itu robusta yang sepekat "dark chocolate" atau arabika yang masam seperti anggur, aku tak peduli, karena mereka juga tak pernah menaruh diri lebih tinggi dari sesamanya. Tak ada filosofi picisan darinya, yang selalu apa adanya.

Bersamanya, aku seperti bertemu sahabat yang membiarkan hatiku menangis sampai lega. Membuang semua beban, seperti truk barang membongkar muatan.

Pada saat paling gila, kopi juga menemaniku, dengan jumlah lebih banyak dari biasanya. Dua cangkir sebagai doping saat bekerja sangat keras, dan tiga cangkir saat ingin istirahat total.

Dalam pekat, mereka tak pernah menganggapku payah. Mereka selalu bisa membuat semuanya kembali tenang, dan mengerti apa yang kurasakan.

Dari masa sulit ke masa sulit, dia selalu ada. Saat pagebluk makin ganas, sampai merenggut banyak korban, dia  menguatkan dari berbagai kejutan.

Ini jauh lebih serius dari masalah pekerjaan. Ada tetangga, teman, dan kerabat yang satu persatu pergi mendadak. Ada banyak rasa kehilangan dan kesedihan, tanpa pernah bisa bersua untuk terakhir kalinya.

Kejutan itu makin terlihat brutal, karena masih ada saja manusia berjiwa ajaib. Entah itu pembesar yang masih hidup berleha-leha di tengah derita banyak orang, atau mereka yang merasa diri paling benar.

Aku tak sanggup untuk marah atau mencaci maki sekuat orang lain. Tubuh ini sudah terlalu renta untuk itu, meski mereka layak mendapatkan.

Tapi, disinilah kopi memberiku ruang. Tanpa harus mabuk-mabukan atau yang lainnya, semua masih dalam jangkauan.

Inilah yang membuatku tak bisa berpaling darinya. Warnanya yang pekat, rasanya yang tetap kuat walau dicampur macam-macam, dan kehadiran nyaris tanpa alpa, menjadi satu keajaiban, karena ia selalu bisa menemani dengan sama baiknya, di saat susah maupun senang, tenang maupun tegang.

Aku bersyukur karena dia ada di saat semua serba tak pasti. Entah apa jadinya kalau aku tak pernah mengenalnya.

Mungkin, inilah alasan mengapa aku tak pernah jauh darinya. Dalam pahit dan masamnya, atau manis dan segarnya, ia selalu istimewa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun