Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Euro 2020 dan Balada Nonton Bola

16 Juni 2021   16:14 Diperbarui: 16 Juni 2021   16:20 225 3
Balada. Itulah genre cerita yang layak tersemat pada Piala Eropa 2020 alias Euro 2020, andai ia boleh dijadikan satu cerita.

Pemicunya bukan soal aksi para bintang lapangan hijau, yang secara kualitas tak perlu diragukan lagi. Ini adalah soal medium siaran langsung, untuk menikmati aksi mereka di lapangan, khususnya bagi penonton di Indonesia.

Biasanya, ada televisi yang menayangkan pertandingan secara langsung, baik itu TV terestrial yang gratis atau TV kabel yang berbayar. Opsi pertama paling banyak dipilih karena lebih terjangkau, sementara opsi kedua biasa dipilih mereka yang punya isi dompet lebih.

Sayang, di edisi Piala Eropa kali ini, kedua opsi ini sama-sama bermasalah. TV terestrial lebih mendahulukan tayangan sinetron andalan mereka, saat pertandingan seharusnya sudah dimulai. Apa boleh buat, penonton hanya bisa gigit jari.

Di sisi lain, TV kabel ternyata juga sempat dikeluhkan karena mengalami error. Lagi-lagi, penonton hanya bisa gigit jari, meski sudah membayar. Belum lagi, jika masalah sinyal dan siaran yang ternyata diacak masuk hitungan.

Oke, error ini bisa diatasi & konsumen mendapat ganti rugi. Masalahnya, layanan tak prima seperti itu adalah satu nilai minus tersendiri di mata penonton.

Kalau yang gratisan bermasalah, mungkin masih bisa dimaklumi, karena pihak televisi-lah yang pegang kendali. Tapi, kalau yang berbayar ternyata asal-asalan, tentunya layak dipertanyakan, apakah mereka layak dipercaya lagi oleh konsumen atau tidak.

Berangkat dari masalah di atas, muncul opsi ketiga, yang ternyata cukup populer, yakni siaran streaming via internet. Opsi ini cukup disukai, karena bisa dinikmati secara personal.

Cukup siapkan gadget dan koneksi internet, kita bisa menikmati pertandingan, tanpa harus berebut remote TV dengan para pecinta sinetron. Bonusnya, kita bisa menikmati kehebohan komentator, khususnya di saluran televisi dari Timur Tengah.

Ada begitu banyak pilihan muncul, entah dari media sosial atau yang lain. Semuanya bisa dipilih, tapi semua kembali ke kualitas sinyal masing-masing.

Tentunya, para "pejuang streaming" ini punya cara dan pengalaman masing-masing dalam menikmati pertandingan lewat Medium satu ini. Jika dijadikan cerita, ini mirip sebuah balada.

Disebut demikian, karena mereka sering dibuat ketar-ketir saat koneksi internet tak stabil, atau kecewa karena link siaran yang dituju ternyata hanya bohong-bohongan.

Belakangan, Kemenkominfo juga menertibkan layanan streaming gratisan yang dianggap "ilegal", karena membuat TV berbayar mendapat kerugian, selagi TV terestrial juga makin kembang kempis, karena ditinggal penonton, khususnya generasi muda.

Di satu sisi, penertiban ini memang membuat akses streaming digital secara gratis jadi terbatas. Publik seperti dipaksa untuk hanya memilih terestrial atau berbayar.

Tapi, di dunia yang sudah serba "customer oriented" ini, masyarakat akan cenderung lebih memilih opsi alternatif dengan kualitas pelayanan paling prima. Selama bisa nonton bola tanpa gangguan, itulah yang dipilih.

Fenomena ini sudah biasa, dan menjadi kebiasaan, terutama di saat daya beli masyarakat masih lesu akibat imbas pandemi. Alih-alih melarang dan membatasi, seharusnya pemerintah bersama pihak terkait, terus mengevaluasi dan memperbaiki kualitas layanan yang ada.

Jangan sampai ada monopoli, tapi dengan kualitas pelayanan seadanya, atau kebijakan suka-suka. Kecuali, jika ingin ditinggal penonton.

Menikmati pertandingan sepak bola, seharusnya adalah sesuatu yang simpel dan menyenangkan. Kalau sampai dibuat rumit dan menyusahkan, itu tak lagi layak dinikmati, karena keindahan di dalamnya sudah dirusak oleh gelimang uang dan tumpukan ego pencari cuan.

Mau nonton bola aja kok repot....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun