Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Bos Klub Sepak Bola Nasional: Dulu Pejabat, Sekarang Pesohor

10 Juni 2021   22:20 Diperbarui: 10 Juni 2021   22:35 719 2
Belakangan ini, sepak bola nasional mendapat sorotan, setelah beberapa selebritas mengakuisisi saham klub lokal. Ada Kaesang Pangarep (di Persis Solo), Raffi Ahmad (RANS Cilegon FC), Gading Marten (Persikota Tangerang), dan Atta Halilintar (AHHA PS Pati FC, sebelumnya Putra Sinar Giri Pati alias PSG Pati). Berangkat dari latar belakang mereka, maka keempat klub ini layak disebut sebagai "klub bola artis".

Masuknya para pesohor ini memang jadi angin segar, karena mereka populer, dan punya modal besar secara finansial. Tentunya, ini bisa membantu klub mendapat banyak sponsor, menarik pemain bagus untuk datang, dan meningkatkan eksposur di media.

Tapi, jujur saja, masih ada sedikit kekhawatiran akan kesinambungan klub, meski para pesohor ini punya partner pebisnis tulen, yang memang sudah berpengalaman di bidangnya.

Pada masa lalu, praktek ini sudah lebih dulu dilakukan oleh pejabat daerah. Kita tentu masih ingat, ada begitu banyak klub yang disokong dana oleh pemerintah daerah, dengan nominal mencapai angka puluhan miliar rupiah tiap musimnya.

Sumber dananya kebanyakan berasal dari APBD, yang memang dialokasikan pemerintah daerah setempat. Tak heran, banyak klub yang pada satu waktu bisa jor-joran belanja pemain baru atau bongkar pasang tim dengan enaknya.

Meski terlihat baik, ini justru memasung kemandirian klub dalam mencari dana. Lebih mirisnya lagi, sokongan dana ini sering terbukti tak gratis. Klub dan prestasinya di lapangan kerap jadi "alat kampanye" pejabat, khususnya di gelaran Pilkada.

Mereka seperti sudah tahu betul, sepak bola adalah satu medium paling sederhana, untuk menarik atensi massa dengan mudah. Jadi, jangan kaget jika kita kadang melihat spanduk kampanye partai politik, atau foto pejabat daerah di dalam stadion.

Karenanya, sebuah klub bisa mendadak miskin, saat ada pergantian pejabat daerah, khususnya jika si pejabat daerah yang baru itu bukan sosok gila bola. Sebagai contoh Persiba Bantul yang sempat bermain di kasta tertinggi, terus menurun sejak ditinggal Idham Samawi (eks Bupati Bantul) yang tak lagi menjadi Bupati Bantul sekaligus pembina klub.

Tapi, sejak dimulainya era Liga Super, tren ini sempat menghilang, sebelum akhirnya kembali muncul dengan cara sedikit lebih profesional, yakni menggunakan BUMD sebagai saluran dana ke klub, dalam kapasitasnya sebagai sponsor resmi klub.

Dalam prosesnya kedua metode tersebut rata-rata hanya menghasilkan satu siklus sukses yang relatif singkat. Selebihnya, kesulitan banyak ditemui, termasuk masalah tunggakan gaji pemain.

Kecuali, jika klub tersebut punya akademi bagus dan tak banyak merombak total tim seperti Persipura Jayapura, atau punya manajemen klub yang sudah oke seperti Bali United dan Persib Bandung.

Ketika para pesohor akhirnya datang, memang ada sedikit harapan, karena klub akan bisa lebih mandi. Masalahnya, tinggal apakah mereka punya orientasi instan atau tidak.

Jika punya, maka klub akan berada dalam tekanan besar untuk menang. Sekali gagal, klub bisa saja ditinggal pergi. Kebetulan, tekanan ini antara lain terlihat di Persis Solo, dengan Kaesang mematok target promosi ke Liga 1.

Jadi, teka-tekinya hanya soal bagaimana kelanjutan nasib klub, jika target yang ditetapkan gagal tercapai. Kalau berhasil, semua sudah tahu, karena memang sudah ditetapkan.

Sebaliknya, jika sang pemilik klub punya orientasi proyek jangka panjang, klub dan pecinta sepak bola nasional bisa sedikit berharap, akan ada perbaikan dan pembenahan, karena pola pikir yang diterapkan sudah lebih sehat dari sebelumnya.

Di sini, pertanyaannya tinggal seberapa serius komitmen mereka dalam merealisasikan ide-ide besar di klub masing-masing. Sebagai contoh, apakah Raffi Ahmad dan mitranya akan serius menggarap akademi klub mereka, dan membinanya secara kontinyu atau tidak.

Selebihnya, tren yang baru muncul ini akan lebih banyak dilihat sebagai suatu pembelajaran bagi para pesohor dan profesional yang juga ingin terlibat di sepak bola nasional. Dari kiprah Kaesang, Raffi Ahmad, Gading Marten, dan Atta Halilintar, mereka akan melihat, "do and don't" beserta segala plus-minus dalam mengelola klub sepak bola di Indonesia.

Jika akhirnya berdampak positif, rasanya akan ada lebih banyak lagi pesohor dan pebisnis yang akan ikut mengelola klub. Jika ternyata sama saja, bahkan lebih parah, tren ini hanya akan bertahan seumur jagung, karena mereka hanya memanfaatkan klub sepak bola sebagai medium untuk mendapat perhatian publik, sama seperti yang sudah-sudah.

Selebihnya, biar waktu yang menunjukkan semuanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun