Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Nyanyian Ombak Pulau Utara

7 Januari 2013   03:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:25 138 0

Sejenak hening, selarik panjang air menabrak tepian lagi, menunggu Ai menjawab.

“Dia tampak begitu lemah, hempasannya hanyalah kesia-siaan, seperti tepukan kecil pada sebuah tubuh perkasa,” balas Ai sambil tetap menatap buih-buih sisa hempasan.

“Dan itu aku, yang bermaksud menamparmu tapi tubuhmu terlalu keras untuk merasakannya,” lanjut Ai.

Diam lagi. Angin laut berhembus di antara pohon-pohon cemara laut di sekitar mereka.

“Lalu kenapa kamu masih di sini dengan segala kesia-siaan itu?” tanya Re balik, lehernya berbelok menatap Ai tapi ia hanya bisa memandang rambut panjangnya karena tatapan sang kekasih tetap tak beranjak dari tepian pantai bersama buih putihnya.

Sebuah hembusan nafas panjang terdengar. Ai menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan Re.

“Bertanyalah pada ombak itu, kenapa ia juga tak pernah bosan menghempaskan ombak kecilnya ke pantai!” jawab Ai.

Jawaban yang menyisakan ruang tanya yang luas bagi Re untuk meresapinya. Tapi Re bisa merasakan, lewat nada dan tatapan Ai bahwa gadisnya terjebak dalam percampuran antara ketulusan tanpa akhir, keputusasaan, harapan, sekaligus kedaulatan diri yang coba ia pertahankan sampai detik ini.

Yang berlangsung kemudian adalah sebuah selat hening yang panjang. Re ikut menatap ke aliran air menuju pantai, seberkas garis perak membelah laut menjadi dua, cahaya rembulan malam itu memberi pemandangan melankolis bagi sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara tanpa nama.

Bersama debur senyap, kediaman itu terpecah oleh sebuah senandung pelan dari bibir Re yang tak kuasa menahan gejolak hatinya. Ia bisa merasakan gundahnya Ai namun merasa begitu tak berdaya karena tak sanggup memberikan jawaban pasti sebagai mantra penyembuh bagi sang kekasih jiwa.

“...di bening malam ini, resah rintik gerimis datang menghanyutkan sinar rembulan. Buram kaca jendela, seburam waktu yang berlalu. Sedangku masih menunggu ungkapan rasa, dari keinginan baikku. Untuk bersama menempuh jalan hidup..”

Masih dalam tatapnya, Ai pun menyambung lirik tembang lama Keenan itu dengan senandung lirih, sumbang oleh tangis diamnya “...tak usahlah kau ingat bayangan gelap kenyataan, diri tanpa sutradara. Relakan niat tangan menghapus noda kehidupan..” Namun kali ini lengannya merangkul Re lebih erat, menarik kepala Re ke pundaknya, dan mereka berdua menghabiskan senandung tersebut berdua tanpa jeda.

Malam masih sama namun terasa, dingin mulai menyelimuti dataran kecil dimana kedua kekasih ini duduk.Beberapa gumpal awan telah hilang, menyisakan sebuah papan gelap di atas mereka, bertabur ribuan bintang. Keindahan itu membuat mereka berdua mengalihkan matanya ke atas, kemudian tubuh mereka sejajar dengan langit karena tak hendak membuat otot leher meregang terlalu lama. Tak bosan mereka menikmati indahnya malam seperti itu meskipuntelah ratusan momentum lukisan bintang itu mereka saksikan.

Namun kali ini berbeda. Tak hanya jemari yang bertaut, tak hanya mata yang bertatapan, tak hanya waktu yang dibagi bersama melainkan seluruh jiwa dan emosi mereka menyatu mengolah semua indah itu jadi makanan rohaniah mereka, menyuburkan hasrat dalam diri mereka untuk melebur bersama kesunyian, berdua tubuh tapi jiwa yang satu.

“Bukankah kita seperti bintang itu?” tanya Ai seketika.

“Maksudmu?” balik Re tanya.

“Bintang-bintang itu sebenarnya berjauhan dan tak ada perjanjian kerjasama untuk membuat konfigurasi seperti yang kita lihat sekarang, tapi mereka memberikan cahaya mereka semua pada bumi. Kita tinggal menikmati itu semua, dan aku yakin para bintang itu tak perlu ucapan terimakasih.”Jelas Ai dengan senyum jenakanya. Membuat Re ikut tersenyum.

Cinta telah memilih mereka, tanpa definisi maupun nama, cinta telah menyediakan jalan bagi kedua manusia untuk saling memberi bahagia. Mereka tinggal membagi karunia cahaya mereka masing-masing.

“Masuk yuk sayang, dingin ini mulai menggigit!” ajak Re.

“Heeh..” jawab Ai singkat.

Merekapun menuju tenda yang telah mereka dirikan dari tadi. Membereskan sedikit barang agar tersedia ruang bagi mereka. Sleeping bag model tikar menjadi alas mereka, dan kantong tidur yang serupa menjadi selimut mereka. Dalam kehangatan tenda, kehangatan yang masih ditambah oleh lapisan bulu unggas dari kantong tidur mereka, dan yang paling hangat dari semuanya adalah cinta dan gairah mereka akan hidup, petualangan, dan ketidakpastian yang menyelimutinya.

Sesaat kemudian cahaya hilang dari dalam tenda, deburan ombak pun berkelindan dengan debur nafas dua manusia ketika tubuh-tubuh itu berbincang tanpa kata, basah oleh gairah rindu manusiawinya, untuk sesaat jarum waktu berhenti, dan puncak penyatuan pun mereka dapatkan. Cinta telah memilih bahasanya sendiri.

Rembulanpun tersenyum sementara bintang-bintang tersipu. Malam berlanjut, semua pasrah dalam pelukannya, menanti cahaya pagi kembali. (ll)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun