Mohon tunggu...
KOMENTAR
Financial Pilihan

Buah Simalakama Kontraktor Swasta

5 Maret 2021   22:46 Diperbarui: 5 Maret 2021   22:55 492 4
Kalimat perumpamaan "bagaikan memakan buah simalakama: dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati." Inilah kenyataan delematis para kontraktor swasta di Indonesia. Menghadapi keadaan yang serba salah, apa pun yang dilakukan beresiko akan mendatangkan kesulitan.

Pilihan profesi pekerjaan sebagai kontraktor atau pemborong di negeri yang menurut khabar dari langit banyak duitnya, sungguh sangat delematis. Setiap tahun jumlah anggaran yang disediakan pemerintah untuk alokasi pengadaan barang dan jasa konstruksi jumlahnya mencapai triliunan rupiah.

Pemerintah selaku pemberi pekerjaan dalam setiap tahun anggaran proyek secara periodik menyelenggarakan borongan pekerjaan, baik pengadaan barang atau pun pekerjaan konstruksi. Misalnya pengadaan alat kesehatan, mobil dinas, dan alat tulis kantor juga pembangunan konstruksi jalan baru, gedung, drainase, jembatan, pagar, rehabilitasi jalan dan gedung pemerintah, pembuatan waduk atau bendungan, pencetakan sawah baru, dan normalisasi sungai.

Regulasi dan aturan main berdasarkan Kepres Pengadaan Barang dan Jasa yang diteken oleh Presiden sebagai kitab sucinya, memuat segala aturan main, tata laksana, dan rambu-rambu untuk tertib administrasi, teknis, dan hukum dalam pelaksanaannya. Sehingga kwalitas dan volume pengadaan barang dan jasa serta pembangunan fisik konstruksi sesuai spesifikasi teknis dan tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku.

Seiring kemajuan teknologi digital lembaga kepanitiaan borongan pekerjaan proyek pengadaan barang dan jasa konstruksi diselenggarakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) oleh Kelompok Kerja (Pokja) yang diangkat dan ditunjuk secara resmi oleh pemerintah. Semua persyaratan data administrasi, teknis, dan legalitas hukum korporasi rekanan peserta tender di-upload dan dikirim ke alamat email Pokja LPSE secara online. Sederhananya antara panitia dan rekanan kontraktor tidak bertemu langsung dan tatap muka. Sehingga lobi-lobi, nipotisme, kolusi, praktik suap, dan kecurangan tidak terjadi.

Masing-masing KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik), dan Kelompok Kerja (Pokja) Kementerian, Institusi, Badan, Balai, dan Komisi penyelenggara negara dan pemerintah baik pusat maupun SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) menyelenggarakan tender borongan pekerjaan pengadaan barang dan jasa konstruksi. Sebagai dasar hukum dan kitab suci pastinya peraturan yang telah dirumuskan secara rigit, submit, komprehensif, dan paripurna. Dan tentu saja sebagai pelaku tindak pidana dan perdata apabila melanggarnya, resikonya dapat dipenjara.

Siapakah calon mitra kerja peserta tender untuk melaksanakan borongan pekerjaan barang dan jasa konstruksi? Tentu saja rekanan berbadan hukum PT (Perseroan Terbatas), CV (Commanditaire Venootschap), dan Koperasi yang sah baik rekanan BUMN, BUMD, dan Kontraktor Swasta.

Gambaran secara teori terhadap pelaksanaan tender borongan pengadaan barang dan jasa konstruksi memang aturan mainnya terlihat normatif, berdasar hukum, clear and clean. Antara pemerintah selaku pemberi pekerjaan disatu sisi dan calon mitra rekanan pemborong atau kontraktor disisi yang lain bagaikan dewa dan malaikat suci yang nir-noda dan nir-dosa.

***

Lalu dimanakah letak masalahnya dan mengapa diumpamakan seperti memakan buah simalakama? Sekilas saya akan urai benang kusut dan carut marutnya praktik culas dan korup pelaksanaan tender pengadaan barang dan jasa konstruksi di negeri nan elok dan molek karakter dan akhlaknya ini.

Sebagai tukang las penyambung antara rekanan kontraktor dengan pemilik modal (funder) boleh juga disebut profesi saya saat ini sebagai konsultan rupa-rupa pura-pura. Saya banyak mendengar, melihat, dan menyaksikan keluhan dari kolega, relasi, dan mitra bisnis dihadapkan pada pilihan yang sulit dan delematis. Ibaratnya dari sepuluh rekanan kontraktor yang saya temui, saya menemukan sebelas rekanan kontraktor swasta yang kondisi keuangan, asset, dan equity perusahaan pada nol saldo bahkan pada umumnya mempunyai hutang (lebelity) di bank atau pihak ketiga. Pada beban tanggung jawab yang lain para rekanan kontraktor swasta mesti membayar gaji karyawan, membayar operasional, dan overhead perusahaan serta membayar angsuran hutangnya di bank atau pihak ketiga.

Kenyataannya dalam satu tahun anggaran proyek musim panen para rekanan kontraktor swasta hanya satu kali saja alias hanya satu kali mendapatkan borongan pekerjaan. Itupun kalau dapat borongan dari proyek pemerintah yang mereka ikuti tendernya. Namun apabila tidak mendapatkan pekerjaan proyek maka konsekwensinya mereka mesti membayar gaji karyawan, biaya operasional, dan menjalankan roda perusahaan.

Contoh kasus ada rekanan menang tender proyek pemerintah mendapat borongan pekerjaan rehabilitas jalan negara di provinsi bagian timur dengan nilai kontrak Rp 15 milyar including PPN 10% dengan waktu kontrak 10 bulan. Rincian aliran penggunaan pagu proyek nyatanya kurang lebih seperti ini, setelah dipotong pajak PPN 10% maka sisa pagu anggaran proyek tersisa Rp 13,5 milyar lalu dipotong lagi pajak penghasilan 1,5% maka pagu anggaran tersisa Rp 13,297 milyar. Apabila biaya belanja material, sewa alat berat, gaji tenaga ahli dan karyawan, pengerjaan proyek, operasional, dan overhead sebesar 70% maka ada laba kotor sebesar Rp 3,988 milyar. Laba yang besar dan menggiurkan, bukan?

Tunggu dulu, rekanan kontraktor mesti mengeluarkan lagi dana siluman untuk dewa api sebesar 10% dari pagu kontrak sebesar Rp. 1,350 milyar. Maka laba tersisa sebesar Rp 2,638 milyar. Seksi sekali keuntungan rekanan kontraktor swasta, bukan? Tunggu dulu, pinjaman modal kerja dari bank sebesar 14% per tahun mesti dibayar pokok dan bunganya sebesar Rp 700 juta. Masih juga seksi keuntungan rekanan kontraktor swasta, laba tersisa Rp. 1,938 milyar. Bagaimana dengan pengembalian pinjaman modal kerja dari pihak ketiga yang jasanya 20% dari pokok pinjaman? Pantastis, ternyata laba bersih rekanan kontraktor tersisa Rp. 387,6 juta.

Dengan perolehan laba bersih sebesar Rp. 387,6 juta apakah rekanan kontraktor sudah aman dan nyaman? Belum, rekanan kontraktor masih menghadapi tim inspektorat dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), pada tahap ini mereka mesti mengeluarkan biaya taktis siluman lagi. Apabila dalam pemeriksaan terhadap volume dan spesifikasi teknis terdapat ketidaksesuaian mutu berdasar konsideran kontrak kerja maka pihak rekanan wajib mengembalikan kerugian keuangan negara atau bisa jadi menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi.

Studi kasus kecil-kecilan yang saya urai tersebut di atas realitas yang sudah menjadi rahasia umum, posisi terjepit bak  buah simalakama yang dialami oleh kontraktor swasta pada umumnya memang begini ini iklimnya, kulturnya, dan budayanya. Mendapat pekerjaan borongan proyek pemerintah sulit dan apabila tidak mendapat pekerjaan juga rumit. Menyaksikan fenomena ini saya hanya berpendapat salah bukan untuk dipersalahkan dan benar bukan untuk diakui. Poinnya apakah kita masih mempunyai good will untuk mengurai benang kusut ini?

Apakah aparat hukum dalam hal ini KPK, POLRI, Kejaksaan dan Badan Pengawas: Inspektorat, BPKP, dan BPK cukup sakti untuk menjadi wasit yang tegas, jujur, dan adil dalam menjalankan tugas dan amanah penegakan hukum dan menjalankan tugas pengawasan terhadap penyelenggaraan proyek-proyek pemerintah? Substansi masalahnya bukan jawaban ya atau tidak atas pertanyaan ini.

Para pemangku kepentingan utamanya negara dan pemerintah dalam hal ini aparat penyelenggara pengadaan barang dan jasa konstruksi dari pusat sampai ke daerah dan juga para rekanan kontraktor mesti menyembuhkan penyakit akut yang sudah stadium kritis berjuang sekuat-kuatnya untuk memulihkan penyakit kronisnya. Sepanjang praktik permintaan fee proyek, dako (dana komando), kolusi, nepotisme atau apalah sebutannya masih berlangsung secara terstruktur, tersembunyi, dan masif diantara pihak panitia penyelenggara proyek, para rekanan kontraktor, dan aparat penegak hukum setali tiga uang melakukan praktik suap menyuap adalah mimpi di siang bolong masalah ini dapat dituntaskan setuntas-tuntasnya.

Apakah suatu solusi apabila seluruh rekanan kontraktor di negeri ini kita non aktifkan semua mengikuti tender proyek pemerintah? Juga sebaliknya apakah solusi apabila seluruh panitia penyelenggara proyek dari pusat sampai daerah kita non aktifkan dari tugasnya? Begitu juga apabila aparat penegak hukum kita non aktifkan sebagai wasit?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun