Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Terjebak Raga

24 Februari 2021   11:34 Diperbarui: 24 Februari 2021   11:43 107 2
TERJEBAK RAGA

“Hai, banci!”
Huh, menyebalkan! Banci apanya? Aku ini perempuan. Aku memakai pemerah bibir, rambutku cukup panjang, buluh venaku tidak menonjol seperti yang dimiliki para lelaki, dan aku merasa aku yang paling cantik di universitas ini.
Aku mengabaikan perkataan dan pandangan orang yang berlalu lalang. Pikiran negatif yang semakin membenci juga omongan yang tidak berguna. Kurasa mereka kehilangan jati diri untuk saling memanusiakan sesama.
Aku berjalan memasuki ruang kelas. Mata kuliah yang membosankan akan menyambut, makin memperburuk mood pagiku yang sebenarnya tadi sudah dirusak oleh tiga mahasiswa dari jurusan sebelah. Mataku tertuju pada seorang laki-laki di sudut belakang. Matanya yang hijau besar dengan lingkar senyum dari bibir merah delima, perpaduan yang balance dengan hidung mancungnya. Benar-benar pemandangan yang sangat sempurna di antara banyak laki-laki di ruangan ini. Ah, sepertinya keadaan jiwaku jadi lebih baik setelah bertemu pandang dengannya.
Namanya Dika, mahasiswa pindahan dari Bogor. Kedatangannya di Bumi Melayu seakan mengantar surga di duniaku. Sejak Dika hadir di kelas A, aku jadi serba semangat. Sekarang aku lebih sering mempercantik diri. Walaupun aku yakin, Dika menerimaku apa adanya.
“Pagi, Michael.”
Dika menyapaku di tengah-tengah perbincangannya dengan beberapa teman.
“Misyel, bukan Michael. Jangan salah panggil lagi dong, Dika!”
Dika tersenyum simpul. Sekumpulan teman yang bersama Dika menertawakan, tapi aku tidak peduli. Bintangku bersinar terang di pagi ini, tidak akan kubiarkan para ilalang menutupi keindahannya.
Aku meletakkan tas di atas meja, dengan pandangan yang tak ingin kualihkan dari pemilik wajah paripurna itu. Sesekali kami bertemu pandang, saling melempar senyuman. Mungkin Dika menganggap itu biasa saja, tapi bagiku sangat bermakna.

*

“Dika..?”
Aku menyapa Dika ragu-ragu. Mahasiswa lain mulai meninggalkan ruang kelas sedari tadi. Hanya Dika yang tetap fokus pada layar laptop-nya.
“Eh, Mich. Belum pulang?”
Dika menatapku teduh. Wajahnya kelihatan cukup lelah.
“Em.., nungguin Dika boleh, ya?”
Aku menggigit bibir, cukup malu mengajukan keinginanku untuk menunggu Dika.
Dika memberikan senyuman. “Boleh-boleh aja. Tapi ini bakal lama, lho!”
Aku mengangguk senang. “Nggak apa-apa, Dik. Misyel tungguin sampai kelar!”
Aku mendudukkan bokong di samping Dika. Ia seakan memberiku ruang untuk berada di sisinya. Aku memperhatikan Dika dari dekat. Tangannya mengetuk keyboard dengan lihai. Semakin takjub aku dibuatnya. Sekitar tiga puluh menit berlalu. Dika menutup layar dan mulai berkemas.
“Udah selesai, ya?”
“Belum, sih. Tapi di depan ada yang nungguin aku. Yuk, bareng.”
Aku mengikuti Dika dari belakang. Langkah besarnya membuatku sedikit kesulitan menyamakan posisi.
“Hai, lama ya?” tanya Dika.
Seorang perempuan berdiri menyambut Dika. Mereka saling melempar senyum. Malah tak segan perempuan itu memeluk Dika di depanku.
Siapa dia?
*

“Sekarang kamu udah ingat?”
Aku menatap lekat lelaki yang berada di hadapanku. Mata hijau besar, bibir merah delima, hidung mancung dengan rahang yang tegas. Perlahan aku mengingatnya, pemilik wajah paripurna yang kucintai delapan tahun yang lalu.
Setelah delapan tahun kami bertemu kembali. Pertemuan tak terduga di sebuah club ternama di Jakarta. Aku keluar dari ruangan VIP dalam keadaan berantakan. Permainan sepertiga malam yang sungguh membuatku cukup kelelahan. Tangan besar itu menyambut tubuhku ketika aku mulai kehilangan kesadaran. Dari sana awal mula kami bertemu.
Sebenarnya aku merasa cukup kotor. Bertemu dengan orang yang kucintai setelah tubuhku dijamah oleh laki-laki lain. Apa boleh buat, ini pekerjaanku. Setelah lulus kuliah aku mendapatkan tawaran kerja menjadi waiters, hingga di posisi saat ini aku menjadi pelacur paling laris di club malam.
Di duniaku yang sekarang, aku merasa tidak sendiri. Aku bertemu dengan teman-teman lain yang sama dan senasib denganku. Memang, terkadang aku merasa penuh noda. Namun di sisi lain aku seperti menemukan tempatku sesungguhnya.
“Dika..?”
Aku memperhatikan wajah yang selalu kurindukan itu. Mataku sedikit berkaca, aku benar-benar rindu.
“Mich, kenapa harus begini?”
Dika membalas menatapku dengan lekat. Apa maksudnya, apa maksud ‘harus begini?’
“Kenapa?” tanyaku.
“Dulu, aku selalu yakin kamu bakal berubah. Aku yakin kamu belum kehilangan jati diri kamu sepenuhnya. Aku pikir kamu butuh teman untuk berbagi cerita, memberikan dukungan supaya kamu bisa kembali lurus.”
Perkataan Dika sedikit membingungkan, namun aku cukup bisa memahami kekecewaan yang muncul di raut wajah Dika. Aku menggenggam tangan Dika untuk menenangkan.
“Apa yang salah, Dika?” tanyaku.
“Semuanya salah, Mich. Kamu nggak seharusnya makai make up, kamu nggak seharusnya punya rambut panjang, apalagi sampai makai pakaian perempuan begini.”
“Aku pikir kamu suka?!” bantahku.
Dika melepaskan genggamanku perlahan, “aku mau berteman sama kamu karena aku yakin kamu butuh teman yang mengerti, bukan menerima sepenuhnya kesalahan yang terjadi sama diri kamu.”
“Aku nggak merasa bikin kesalahan, Dik...”
“Laki-laki berpenampilan seperti perempuan, itu salah!”
Aku tersentak karena bentakan Dika. Tangannya mengepal menatapku dengan tatapan entah. Tak terasa air mata menembus pertahananku. Lidahku kelu, tak sanggup untuk membuka suara. Dika tidak pernah semarah ini sebelumnya.
Dika, orang pertama bahkan satu-satunya yang aku percaya memandangku sebagai makhluk gelas kaca. Bentuk perhatiannya kuanggap cinta, caranya memperlakukanku seperti menaruh rasa suka. Tadinya kami sangat serasi, dalam imajinasiku. Nyatanya Dika sama saja seperti orang-orang di luar sana: menganggapku banci.
Laki-laki, katanya. Apa Dika tidak pernah melihat kelembutan hatiku? Betapa cantiknya aku dalam balutan lingerie merah. Apa Dika lupa, bagaimana caraku menangis mengadukan bagaimana kasarnya orang-orang memperlakukanku. Aku butuh Dika untuk menghadapi orang-orang yang menganggapku berbeda. Cara Dika memberi pelukan dan semangat. Aku butuh Dika yang dulu.
“Aku mau Dika seperti dulu, tidak kasar begini...”
Setelah mengumpulkan energi, kata itu keluar. Terdengar seperti permohonan dan penuh harapan bagiku.
“Kita masih bisa berteman, kok. Asal kamu nggak begini lagi.”
“Nggak bisa, Dika...”
“Kenapa nggak bisa? Kita bisa hang out sama-sama, nongkrong, nge-band, travelling, banyak hal yang bisa kita lakukan kalau kamu jadi laki-laki seutuhnya.”
“Kalau aku nggak bisa, bagaimana?”
“Kita nggak usah aja berteman.”
Dika seakan memberikan ultimatum, menuntutku untuk menuruti keinginannya. Aku menatapnya lemas. Aku mau Dika jadi milikku, pasanganku, teman hidupku. Menikah, punya anak, hingga menua bersama dengannya. Bukan hanya sekedar teman yang singgah lalu menghilang. Tapi jika sudah begini, aku harus apa? Dika bahkan tidak lagi memberi pelukan ketika aku menangis. Apa sudah tidak peduli?
Sebuah panggilan mengalihkan perhatianku.
Pelanggan 91 calling
“Maaf, Dika. Aku nggak bisa jadi apa yang kamu mau.”
Aku berlalu, meninggalkan Dika yang telah menyakitiku. Aku harus belajar ikhlas, belajar melupakan. Memang, bukanlah cinta jika aku menyerah. Menyuruhku menjadi orang lain hingga menghilangkan jati diriku sendiri, itu bukan cinta.
Memang ada yang salah? Jiwaku seutuhnya perempuan yang ingin dikasihi dan mendapatkan perlindungan. Tadinya aku menemukan dada tempatku bersandar, pikirku. Nyatanya malah luka lamaku kembali menganga.
Semasa kuliah, aku melihat Dika menggandeng tangan perempuan lain. Dika membelai rambutnya, mencium tangannya, membelikan makan siang, memberinya perlindungan.
Mungkin aku kurang cantik, batinku kala itu.
Dika, apa yang kamu maksud ‘kesalahan’? Takdir menempatkanku dalam tubuh yang tidak sesuai dengan naluriku. Aku terjebak raga, dan aku menyadari itu. Namun, apakah hanya karena aku terlahir dalam bentuk laki-laki sehingga cintaku padamu harus dikubur? Apakah kamu tidak bisa mencintaiku melalui hati? Bukannya cinta itu buta?
Aku menata hati, menghapus air mata yang jatuh tiada henti. Tidak akan kubirkan patah hati mengusik karirku. Pekerjaan ini sudah cukup memuaskan, setidaknya aku bertemu orang-orang yang memandangku sebagai tempat memadu cinta semalam tanpa mempermasalahkan bagaimana fisik lahiriah yang aku miliki.
Jika bahagia yang Dika maksud adalah mengubah kepribadian, maka menurutku bahagia adalah ketika kita bisa menjadi diri kita sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun