Mohon tunggu...
KOMENTAR
Raket Pilihan

BWF Harus Direformasi, Pak Moeldoko Perlu Turun Tangan?

20 Maret 2021   08:28 Diperbarui: 20 Maret 2021   08:31 287 10
Ya, bulutangkis Indonesia sedang terluka saat ini. Luka dari tanah Inggris yang memupus perjuangan para pejuang bulutangkis kita secara tragis.

Ibarat luka pada kulit atau bagian tubuh, ada dua pilihan untuk memperlakukannya. Pertama, segera mencuci luka itu lalu menutupnya dengan perban. Harapannya luka akan cepat mengering, darah berhenti mengalir,  lalu sembuh hingga tak terasa lagi perih serta sakitnya.

Kedua, membiarkan luka menganga dan mengering dengan sendirinya. Berharap sakit dan perihnya sembuh seiring waktu berjalan. Tapi biasanya mekanisme penyembuhan seperti ini akan menyisakan bekas yang jelas sehingga kadang sulit dilupakan peristiwa penyebab luka itu terjadi.

Begitu pun luka bulutangkis Indonesia ini. Terdepak dari ajang All England 2021 dengan cara yang amat buruk tentu akan sulit dilupakan. Sekarang para pebulutangkis Indonesia mungkin sudah mencapai tahap menerima luka itu. Akan tetapi sakitnya mungkin akan terbawa dalam ingatan jangka panjang. Walau barangkali tak sampai menimbulkan trauma, goresan lukanya terlalu perih untuk didiamkan seolah semuanya baik-baik saja.

Ialah sikap otoriter BWF yang jadi penggores luka paling dalam itu. Bukannya mencari solusi atas peraturan otoritas kesehatan Inggris, BWF justru membiarkan tim bulutangkis Indonesia berada dalam situasi tidak pasti yang menyesakkan. Semakin sakit sebab pada saat yang sama BWF bertindak sewenang-wenang dengan mengabaikan prinsip keadilan.

Banyak alasan untuk mengatakan betapa BWF tidak memperlihatkan sikap profesional dan perlakuan sebagai mana mestinya federasi yang menaungi atlet.

Pertama, BWF mendesak tim bulutangkis Indonesia untuk segera meninggalkan arena tanpa fasilitas pengawalan maupun transportasi. Tim bulutangkis Indonesia harus berjalan kaki menuju hotel tempat menginap. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya BWF telah mengusir tim bulutangkis Indonesia. Walau istilah disebut walk out (WO), tapi istilah apalagi yang lebih tepat untuk menggambarkan perlakuan tersebut selain pengusiran?

Kedua, selain dipaksa berjalan kaki meninggalkan arena, tim bulutangkis Indonesia tak diperkenankan menggunakan lift hotel untuk menuju tempat istirahat mereka. Dengan demikian cap sebagai pesakitan segera diberikan BWF kepada tim bulutangkis Indonesia.

Ketiga, anehnya dengan memperlakukan tim Indonesia sebagai pesakitan, BWF malah tidak membuka kesempatan untuk diadakannya tes Covid-19. Permintaan tim Indonesia untuk membuktikan status kesehatan mereka tak dianggap penting. Sudah tidak transparan, tidak adil pula.

Tiga hal itu sudah cukup untuk menyimpulkan sikap dan perlakuan BWF yang buruk. Meski berlindung di balik aturan otoritas kesehatan Inggris, BWF sebenarnya bisa melakukan langkah yang lebih baik. Namun, itu tidak dilakukan.

Maka wajar jika kemarahan masyarakat Indonesia datang dari banyak kalangan. Mulai dari para pebulutangkis hingga publik pecinta bulutangkis Indonesia. Organisasi keagamaan sekelas PBNU saja ikut buka suara. Pada Jumat (19/3/2021) Sekjen PBNU memberi dukungan pada PBSI dan para pebulutangkis Indonesia untuk menuntut pertanggungjawaban BWF yang telah bertindak tidak sportif.

Sikap otoriter BWF juga yang membuat Kemenpora akhirnya mengubah pernyataannya. Jika sebelumnya Kemenpora berpendapat bahwa BWF tidak diskriminatif, maka pada Jumat (19/3/2020), Menteri Pemuda dan Olahraga menyampaikan protes terbaru yang lebih keras. "BWF tidak profesional, tidak transparan, dan diskriminatif", tegas Menteri Zainudin Amali.

Bersamaan dengan itu, Komite Olimpiade Nasional Indonesia membuka opsi untuk menyeret BWF ke Pengadilan Olahraga Internasional.

Sebelumnya Duta Besar Indonesia untuk Inggris bahkan mewacanakan perlunya pemboikotan terhadap All England selama tidak ada perbaikan yang diperlihatkan oleh BWF. Usai bertemu dengan Presiden BWF, Duta Besar Indonesia bahkan tegas mengatakan BWF tidak kompeten.

Presiden Jokowi pun akhirnya buka suara. Kepala negara mendorong agar insiden All England 2021 yang menimpa tim Indonesia jangan didiamkan. Dengan kata lain, perlu ada langkah lanjutan yang lebih keras dan tegas dari Indonesia serta elemen bulutangkis lainnya yang telah dirugikan oleh BWF.

Artinya pula perlu ada reformasi untuk membenahi BWF. Greysia Polii pun dalam unggahan instastory sesaat setelah tim Indonesia didepak dari All England 2021 bukan suara soal BWF yang tidak berubah menjadi lebih baik sejak 2012. Pandangan Greysia Polii itu cukup bisa diyakini mengingat sebagai pemain senior ia sudah menjadi saksi dalam banyak turnamen dunia selama bertahun-tahun.

Greysia lantas mendesak agar BWF segera berbenah mengingat Olimpiade dan Piala Thomas-Uber sudah di depan mata. Jangan sampai insiden dan perlakuan yang lebih buruk dialami kembali oleh tim Indonesia maupun tim lainnya.

Agaknya All England 2021 memang perlu dijadikan momentum untuk mendorong perubahan besar dalam tubuh BWF agar menjadi lebih profesional. Indonesia sebagai pihak yang paling dirugikan dalam All England 2021 bisa menjadi peniup peluit yang mengawali reformasi itu. Apalagi federasi bulutangkis China telah mengirimkan surat tanda simpati dan dukungan kepada Indonesia melalui Federasi Bulutangkis Asia sesaat setelah tim Indonesia didepak dari All England 2021.

Keinginan Presiden Jokowi agar insiden All England 2021 tidak didiamkan bukan saja mengandung harapan agar keadilan diberikan kepada tim Indonesia, tapi juga tentang perlunya jaminan yang lebih baik untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dan fairplay selalu ditegakkan di lapangan bulutangkis.

Indonesia dan China barangkali bisa mengawalinya dengan menyuarakan secara lebih lantang perlunya reformasi BWF. Sebagai dua tim yang cukup senior dan disegani di arena bulutangkis dunia, Indonesia dan China punya pengaruh, paling tidak dalam mencetuskan ide-ide perbaikan.

Sebagai negara besar yang telah mewarnai secara dominan arena bulutangkis dunia selama beberapa dekade, sikap Indonesia dan juga China diyakini bisa memberikan shock terapy. Paling tidak ini sudah pernah terbukti saat mundurnya Indonesia dan China dari Thomas-Uber Cup 2020 berujung pada diundurnya gelaran tersebut menjadi 2021.  

Memang patut dikhawatirkan berdasarkan pengalaman dan fakta yang ada selama ini, sikap otoriter dan teledor BWF seperti yang diperlihatkan pada All England 2021 akan kembali terjadi pada gelaran bulutangkis lainnya. Bisa pula perlakuan buruk akan kembali menimpa tim Indonesia atau tim dari negara lainnya.

Oleh sebab itu, sikap Presiden Jokowi yang mengarahkan agar insiden All England 2021 tidak didiamkan perlu ditindaklanjuti secara serius. Pertama-tama oleh Indonesia sendiri yang selanjutnya diharapkan bisa memulai inisiasi bersama negara-negara lain untuk mendorong reformasi dalam tubuh BWF.

BWF mungkin belum tahu pengalaman Indonesia dalam gerakan-gerakan reformasi dan perubahan. Apa perlu Pak Moeldoko turun tangan mengambil alih BWF?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun