Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Malam Panjang

22 Juli 2019   03:00 Diperbarui: 22 Juli 2019   03:07 34 6
MK

Detik berlalu, masih dalam muram dan garang. 

Tak ku tau sebab marahmu. Sedetik lalu masih biasa, masih penuh canda. 

Tak ku tau sebab marahmu, ah sudahlah. 

Sudah terlalu terbiasa engkau begitu. 

Apakah sujudku yang memercikkan amarahmu. 

Apa yang kau keluhkan atas sujudku. 

Bukan kah membenamkan wajahku bercinta dengan bumi jauh lebih baik dari pada ku obral pandanganku dan kusia siakan masa ku. 

Tak ku tau sebab marahmu.

Murkamu membuatku lebih erat memelukNya. 

Marahmu membuatku tak berbatas dengan serpihan cahayaNya. 

Meski bulir2 kesejukan ini meleleh mengalir tak terbendung. 

Menyirami kalbu yang gersang. 

Menghujani jiwa yang rindu akan kelembutan kasihNya. 

Bulir itu menjadi tongkat yang membuatku berdiri lebih kokoh.

Lebih tangguh diantara badai amarah yang selalu menari diantara kecemburuan.  

Apakah itu yang menyulut murkamu, keceburuan itu?.

Meski berulang kali seperti itu, seperti musim yang berulangkali menyapa disetiap belahan masa mentari. 

Andai kau merasakan desir halus rasa ini. 

Rasa yang membelai hati saat ku sebut agung namaNya. 

MencintaiNya tak tergantikan oleh sekemilau lautan berlian. 

Tahukah kau rasa ini, selalu hangat menyelimuti saat ku cium harumnya nafas alam.

Andai kau pun juga merasakannya. 

Mungkin tak kan pernah ku lihat karang di hatimu

Kecemburuan itu, Atau apa?.

Tak pernah ku tau. 

Harapku hanyalah pengertianmu. 

Biarlah ku kejar cinta sejatiku. 

Berilah sedikit dari waktuku yang seharusnya menjadi milikmu, untukku membelai halusnya hati ini memujaNya. 

Dan terus berharap kau pun bisa merasakan cinta yang sama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun