Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Dengarkan Suara Timur

6 Desember 2021   08:46 Diperbarui: 6 Desember 2021   08:48 61 2

Dua puluh lima Mei dua ribu delapan belas. Namaku Nona, seorang gadis yang mulai beranjak remaja dan hidup sendiri, dititipkan sebongkah karunia dari seorang raja, Pencipta hidupku. Dua insan titipan Tuhan untuk berada bersamaku telah berwujud debu dan tanah akibat racun kemiskinan yang menusuk dan mematahkan tulang-tulang mereka hingga tak bernyawa. Kempo, ialah surga kecil dan terlupakan di ujung pulau Timur, tempatku dilahirkan dan tumbuh menjadi seorang gadis penggali asa sejati yang tiada batas perjuangan. Surga kecil yang miskin dengan hidup yang berkecukupan sembari tiada sebulir harapan untuk dipandang dan dirias dari penghuni istana negeriku. Hanya aku seorang dirilah yang masih punya harapan untuk berjuang menggenggam nyawa surga Timurku. Tatkala, teman sebayaku memilih jalan untuk menikah dan menetap di kota-kota besar agar jalan hidup mereka mulus di tengah sulitnya perekonomian. Hidup yang keras tanpa perhatian untuk mengeluh dan bersandar hanya pada kata harapan. 

Asaku mulai tumbuh sekarang, tekad menyeru-nyerukan surga kecilku kepada istana ditata dengan sempurna dalam pikiranku. Siang ini, fajar dari ufuk Timur telah menguning dan menyala. Membakar kulit serta bermandikan keringat yang mengalir disela-sela perabaku, sembari menjalankan rutinitas bergaul dengan tumbuhan yang memberi penghidupan bagiku. Berjalan tanpa goyah dan bersama melintasi segerombolan wanita pejuang hidup bagi keluarga tercintanya.  Suara-suara bergemuruh hingga terdengar bertubi-tubi kumandang perintah "Dengarkanlah Suara Timur" yang dihadapkan bagiku. Asaku selaras dengan perintah itu, membawa pada alam nyata menuju penghuni istana, meminta menarik suara ditujukan bagi mereka, penghuni istana negeri. 

"Tunggu Beta di tahtamu untuk mencurahkan suara hati surga Timurku", kataku dalam hati. Kumandang perintah bukan hal lain ialah agar suara surga Timur dipandang dan diperhatikan. Asa membuka jalan menerangi laraku, lara yang sebelumnya pernah berguncang dalam jiwa tetapi belum bisa tersampaikan. 

Bersama surya yang rindu bermesraan dengan tetesan embun pagi ini, aku mengayuh langkah kaki berirama hati yang menggebu-gebu, langkah yang pasti dengan harapan setinggi langit, dengan kecil hati aku pergi meninggalkan surga Timurku. Kutapaki jalan berliku menuju asa di tengah hutan-hutan beton pencakar langit khatulistiwa. Aku tinggalkan surga di ufuk Timur yang takkan kulupakan, serta menitip doa dan harapan agar kelak aku bisa mengharumkannya. Kini kuberanjak menjauh dari Timurku, ke tempat kota penghuni istana dengan satu tujuan mengumandangkan jiwa-jiwa yang tak terpandang di surga Timurku. Oh... saat lembayung mulai muncul di pelantara ufuk Barat. Hati mulai bercengkerama akan warna jingganya, kutak mau ia ditelan oleh datangnya malam sunyi ini. Begitu matahari terbit, aku akan berjalan ke Barat. Namun bukan menyongsong matahari. Ia menyongsong kotamu-ataukah menyongsong masa laluku? Di dek kecil ini, aku benar-benar merasa menjadi orang lain. Carut-marut dalam larut menjadikan renjana rindu perlahan surut. 

"Aku haru bisa mengangkat Mahkota surga Timurku", kataku dalam hati. Aku menapaki jalan sembari mengingat raut wajah surga Timurku sebagai pedoman untuk memupuk asa. Sesekali aku berlari tanpa memedulikan batu-batu kerikil yang menghalangi langkahku. 

Kini, tibalah aku dalam keramaian kota Bonsu. Kota yang terlintas aroma penikmat bulir-bulir multikultural yang sedang merajut hidup mereka. Kota yang mekar dari rakyat-rakyat yang terpandang dan godaan jiwa westernisasi, bahkan rakyat kecil tak dipandang hingga jadi gelandang. Jeritan terus membisik di telingaku, seakan-akan langkah kakiku terpaku dalam nuansa kota ini. Bagaimana nasib surga Timurku? Lantaran kota yang elok riasan saja hanya mampu dipandang sebelah mata oleh penghuni istana. Sesekali aku menampar batinku serta menarik pikiran agar berfokus pada tujuan awalku. Apakah bumi ini akan hancur? Atau hanya karena keanehan memandang kota pijakan ini yang membuat aku merasa hidup telah terbalik. Kaki tak tahu akan diajak kemana dan mulai berbicara pada garis merah jalan, "Lelah... Aku akan datang pada kehadiran sang rembulan di malam kelam ini". Malam yang hanya ditemani oleh hembusan angin dan ngaungan anjing-anjing pihara dari depan teras kediaman pejabat terkenal. Terus melangkah hingga aku tersungkur, kakiku beku juga mataku, hingga tak mampu berkedip sembari menarik muka memandang seorang lelaki gagah, tinggi dan berpakaian rapi bagai seorang penyamun dan memanggilku dari depan yang tidak jauh dari tempatku berada.

"Permisi kak", suara wibawa lelaki memanggilku. 

Jantung terasa ingin meloncat di  depan tubuhku dan wajah muncul tiada berwarna menggoda, sembari perlahan memandang wujud manusia terselubung dalam redupnya cahaya. Hingga sekali lagi suara itu memanggil. 

"Kakak yang di ujung sana. Saya sedang berbicara dengan kakak", katanya lagi. 

"Iya", jawabku dengan ludah yang masih menggumpal di tenggorokanku. 

"Kakak mau kemana?", tanya lelaki itu dengan lembut. 

"Saya tidak tahu mau kemana, yang jelas saya hanya ingin pergi menemui pemimpin negeri ini", jelasku.

"Aduh... Kakak untuk bertemu langsung dengan pemimpin negeri ini tak akan mudah, tetapi jika kakak mau, kebetulan Pers kami sedang mencari seorang Jurnalistik yang ahli untuk menulis sebuah karya tulis tentang "Dengarkan Suara Timur" yang tak diperhatikan. Kalau saya boleh tau, apakah kakak orang Timur?", ungkapnya serta pertanyaannya menggodaku.

"Iya, saya mau dan sudah ahli dalam menulis serta benar, saya asli orang Timur", jawabku penuh semangat.

Kota Bonsu memang selalu muncul bau warna-warni kritik dari para pers. 

Mengarungi berbagai buah masalah ditolak serta dicampakkan, karena bahasa yang kurang tepat dan tidak selaras antar-kalimat, membuatku mengingat surga Timurku nan jauh yang perlu uluran tangan dari seorang hamba yang tulus. Surga Timurku, ialah Kempo tempat tumbuh dan hidupnya asaku di sana. Namun, bertekun dalam doa dan usahalah yang membuatku mampu. Kesendirian dalam bilik kecilku, kuhanya bisa melantunkan kata meminta Tuhan menjawab doaku.

Beberapa kali mengirim hasil karya dan juga ditolak, semakin mengasah asaku untuk selalu bersemangat. Melihat kerja kerasku yang berteria, lelaki tadi datang lagi dengan penuh optimis melontarkan kata semangat di depanku, sembari mengajariku menulis sebuah tulisan tentang "Dengarkan Suara Timur". 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun