Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Saya dan Pak Tua

7 Februari 2020   17:36 Diperbarui: 7 Februari 2020   20:12 300 0
Melepaskan diri dari kesibukan yang saya jalani lebih kurang 3 tahun terakhir ini, membuat saya punya banyak waktu untuk menjalani beberapa kegiatan dan peran yang berbeda. Jika dulu biasanya saya makan di kantor, atau makan di rumah makan bersama beberapa orang pejabat lain, sekarang saya bisa mengisi perut di pinggiran jalan Ahmad Yani.

Hampir 12 tahun yang lalu, mungkin sekitar 70% waktu, saya habiskan di jalan ini. Tapi memang tidak di pinggiran jalannya. Saat itu pun juga tidak terlalu banyak waktu untuk bersantap dagangan gerobak di pinggir jalannya sambil duduk di kursi plastik. Berbeda dengan saat ini.

Kamis 6 Februari 2020, setelah mengantar keluarga kecil saya berbelanja bulanan di salah satu pusat perbelanjaan tertua di Kota Padang, saya yang kebetulan belum makan siang, berkeliling di sepanjang jalan Ahmad Yani, untuk mencari makanan yang tidak terlalu berat untuk disantap pukul 4 sore. Saya temukanlah sebuah gerobak batagor yang mangkal tepat di depan salah satu restoran fast fast food yang berjejer di sepanjang jalan ini.

Penjualnya terlihat sudah tua. Entah tua karena usianya, atau memang menua karena beban hidupnya yang berat. Saya memesan 1 porsi yang pedas. Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk berbicara banyak. Perut saya sangat lapar. Dan memang seringkali saya tidak suka diganggu ketika bersantap.  Tapi Pak Tua ini berbicara banyak. Menanyakan beberapa hal yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan dia.

Sambil terus menyantap batagor yang ada di piring, saya berusaha meladeninya dengan sesekali menjawab singkat. Kebetulan di tempat mangkalnya itu juga mangkal banyak driver gojek. Dan sepertinya ia mengenal hampir semua gojek itu. Begitu pun sebaliknya.

Begitu perut saya terisi, saya menyalakan sebatang rokok, dan mulai menyimak setiap pembicaraannya lebih baik lagi. Ia bercerita banyak tentang hidupnya, dan juga banyak menanyakan tentang kehidupan saya. Cukup aneh karena saya tidak mengenalnya sama sekali sebelumnya.

Saya malah sempat berpikir apa ia salah satu intel ? Karena memang banyak teman saya yang berprofesi sebagai intel dengan samaran yang lucu-lucu. Tukang semir misalnya. Tukang parkir misalnya. Orang gila. Jadi penjual batagor pun tidak akan terlihat terlalu aneh. Apalagi dia banyak tanya.

Tapi ternyata Pak Tua ini hanya ingin berbagi pengalamannya hidupnya dengan saya. Pelajaran seperti ini akan sulit ditemukan di buku manapun. Setelah menanyakan karir saya yang saya jawab singkat, dia pun menceritakan karirnya. Mulai dari pengayuh gerobak untuk Sari Roti, sampai sekarang mendorong gerobak batagor. Dia juga bercerita tentang 3 anaknya, 2 diantaranya di pesantren, di Agam.

Sama seperti banyak orang, dia juga menanyakan kenapa saya memutuskan kembali ke Padang, saya tidak menjawab detail kepadanya. Hanya garis besar, saya katakan untuk anak saya. Pak Tua ini tersenyum, dan mengangguk.

Dia hanya berpesan, "kalau bukan seorang Ayah yang akan membawa anaknya ke mesjid ? Siapa lagi ?"

Walaupun saya sudah mengetahui apa yang disampaikannya benar, tetap saja saya sedikit tertegun mendengarkan itu. Dan kalimat itulah yang berputar-putar dalam kepala saya, ketika saya menyupiri mobil sambil mendengarkan cerita anak lelaki saya dalam perjalanan menunaikan kewajiban kami pada hari ini. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun