Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Secuplik Kisah Kontribusi Besar Tionghoa di Jawa Tengah

27 November 2022   11:19 Diperbarui: 27 November 2022   11:19 358 1

Kedatangan masyarakat Tiongkok ke Indonesia terjadi sudah sejak lama. Diperkirakan awal abad ke-5 atau saat Indonesia masih bernama Nusantara.

Pada tahun 414, para Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India terdampar di Jawa. Mereka terdampar seiring dengan hubungan perdagangan Nusantara.

Namun kondisinya kala itu jumlah masyarakat Tionghoanya masih sedikit. Dan baru di tahun 1415, mulai ramai masyarakat Tionghoa ke Jawa seiring dengan hubungan dagang keduanya yang kian meningkat.


Tionghoa dalam Persebaran Islam di Indonesia

Selain di bidang perdagangan, masyarakat Tionghoa turut berperan besar dalam penyebaran agama Islam. Apa misalnya?

Para sunan yang menjadi Walisongo di Indonesia contohnya. Salah satunya Sunan Ngampel yang bernama asli Bong Swi Hoo alias Raden Rachmat.

Ia berasal dari Yunnan dan merupakan cucu penguasa tinggi di Campa, Bong Tak Keng. Datang ke Indonesia tahun 1447 dan menikah dengan Ni Gede Manila, anak perempuan kapiten Tionghoa di Tuban bernama Gang En Cu.

Keduanya memiliki anak bernama Bon Ang, yang hingga kini lebih kita kenal sebagai Sunan Bonang. Disamping itu, Gang En Cu sendiri memiliki anak bernama Gan Si Can yang tak lain adalah Sunan Kali Jaga atau Raden Said.

Sementara di Cirebon, Jawa Barat pun dikenal Sunan Gunung Jati. Ia disebut-sebut sebagai Toh A Bo (Pangeran Timur). Yakni putra Pangeran Trenggana (Tung Ka Lo) yang merupakan anak Jin Bun (Raden Patah).

Tak perlu heran kenapa banyak Sunan berketurunan Tiongkok. Jika kita menelaah kata 'Sunan' saja sebenarnya memiliki korelasi dengan Tiongkok.

Pasalnya kata 'Sunan' merupakan singkatan dari 'Suhu' dan 'Nan'. Artinya Guru dari Nan.

Para guru alias walisongo itu menjadi salah satu perantara yang membuat persebaran agama Islam di Indonesia kian masif. Bahkan boleh dibilang puncak penyebarannya di masa walisongo.

Perlu diketahui berdasarkan teori yang ada, perkembangan ajaran agama Islam di Tiongkok sendiri telah terjadi sejak masa Dinasti Tang (618-905 Masehi). Dimana Islam masuk ke Cina dari seorang panglima Muslim bernama Saad bin Waqash dari Madinah di masa kekhalifahan Utsman bin Affan.

Hubungan orang Arab dan Tiongkok di sana telah terjadi pada tahun 713 Masehi. Sementara masuknya Islam ke Indonesia ketika migrasi orang Tiongkok muslim besar-besaran ke Asia Tenggara di Abad ke-9 Masehi.

Waktu kedatangan masyarakat Tionghoa dan penyebaran agama Islam di Indonesia jelas memperlihatkan bahwa mereka lebih awal ketimbang bangsa Arab Yaman. Terlebih bangsa Arab sendiri diperkirakan baru tiba di tanah air pada abad ke-11 Masehi.

Seiring berjalannya waktu aktivitas masyarakat Tionghoa di Indonesia pun kian berkembang. Maka tak mengherankan bila mereka berkontribusi dan turut berperan besar dalam perjalanan sejarah Indonesia.


Tionghoa dibalik Universitas Diponegoro

Hal menarik lainnya tentang kontribusi para Tionghoa di masa lampau yakni mengenai kisah dibalik pendirian Universitas Diponegoro (Undip). Kala itu, Jawa Tengah dihadapi oleh persoalan angka pengangguran tinggi.

Salah satu penyebanya adalah tidak adanya perguruan tinggi dan alhasil membuat kualitas angkatan kerja rendah. Hanya masyarakat mampu yang dapat menempuh pendidikan tinggi, itu pun mereka mesti keluar wilayah Jawa Tengah.

Kondisi tersebut membuat etnis Tionghoa dan Jawa bergotong royong mendirikan perguruan tinggi di Jawa Tengah, yang kini dikenal dengan nama Undip. Namun sebelum menjadi milik negara, Undip lebih dikenal dengan nama Universitas Semarang.

Dibalik pendirian Undip, ada tokoh-tokoh Tionghoa yang berperan besar dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Pertama adalah Ko Tjay Sing. Ia merupakan profesor, guru besar, tokoh pengacara yang sangat terkenal sekaligus lulusan Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1928.

Meski tenar, Ko Tjay Sing tak sungkan mengajarkan masyarakat yang tak mampu secara gratis. Ia tidak digaji, malah menyumbang dan rela mengabdi bagi Undip.

Sosok Tionghoa pendiri Undip lainnya adalah Han Bing Hoo. Dirinya juga berlatar belakang hukum dan mulai melahirkan Undip sekitar 1956.

Menariknya ternyata putri Han Bing Hoo, Han Ay Lie kini juga mengabdi di Undip. Dimana sejak 2017 lalu, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik.

Selain mereka, ada pula seorang hartawan asal Semarang bernama Oei Tiong Ham. Ia memang bukan pengajar, namun kampus Undip berdiri diatas tanah miliknya.


Tionghoa dibalik Berdirinya Solo

Sebagai salah satu kota di Jawa Tengah, Solo ternyata punya kaitan erat dengan Tionghoa, lo. Bagaimana bisa?

Solo sendiri berasal dari kata Sala. Dimana Sala merupakan tumbuhan di tepian sungai tak jauh dari Keraton Surakarta.

Disaat itu pula, nama Sala dikenal sebagai sebuah desa. Kemudian Keraton Surakarta di era tersebut merupakan pusat pemerintahan kerajaan Mataram.

Sampai akhirnya pada tahun 1712, terjadi Geger Pecinan. Yakni pembantaian etnis Tionghoa besar-besaran oleh Belanda di Batavia. Lantas kabar pun menyebar dan mendorong terjadinya pemberontakan bersama, etnis Jawa dan Tionghoa melawan penjajah di tahun 1740.

Pemberontakan dipimpin oleh Kapitan Cina Sepanjang Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said. Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa kemudian menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.

Pemberontakan terjadi dibawah komando Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Lantas pada sekitar bulan Juni-Juli 1742, Keraton Surakarta direbut oleh laskar pribumi dan Tionghoa.

Peristiwa itu membuat Sunan Pakubuwono II lari ke Magetan. Sementara Sunan Kuning dinobatkan menjadi raja Jawa dan Tionghoa yang bergelar Amangkurat V.

Selama bersembunyi, Pakubuwono II berdiskusi dengan kerabat keraton dalam mencari lokasi baru untuk pusat pemerintahan Mataram. Ketika itu ada tergulir tiga opsi, yakni Desa Kadipolo (sekarang Taman Sriwedari), Desa Sala (sekarang Keraton Surakarta), dan Desa Sasewu (sebelah barat Kecamatan Bekonang).

Dan akhirnya terpilihlah Desa Sala sebagai  pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Lokasi itu dipilih lantaran dianggap strategis.

Salah satunya karena terdapat Sungai Bengawan Solo yang menjadi pusat perdagangan sekaligus jalur transportasi andalan kala itu. Usai pemindahan pusat pemerintahan Mataram pun berubah nama jadi Keraton Surakarta.

Pada 20 Desember 1742, Sunan Pakubuwono II kembali berhasil merebut Keraton Surakarta dengan bantuan Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC). Satu tahun berselang, VOC berhasil menangkap Sunan Kuning di Surabaya, Jawa Timur dan diasingkan ke Srilanka.

Usai pemberontakan dan pemindahan pusat pemerintahan ini, wilayah Desa Sala berkembang pesat hingga menjadi seperti Kota Solo yang kita kenal sekarang.

Selain soal Geger Pecinan, berbagai jejak Tionghoa dapat ditemukan dengan mudah di Kota Solo. Misalnya kesenian bertajuk Grebeg Sudiro, yang merupakan hasil akulturasi antara Solo dan Tionghoa.

Kesenian tersebut acap kali dipertontonkan saat Imlek tiba. Selain itu, sejumlah makanan khas Kota Solo pun tak luput dari akulturasi etnis Tionghoa, seperti timlo, ampyang, dan cincau hitam atau janggelan.

Ada pula Kampung Tionghoa yang terletak di Sudiroprajan, Kecamatan Jebres. Warga Tionghoa disana telah melebur dan berbaur dengan masyarakat lokal sehingga memiliki toleransi tinggi.

Sederet tokoh Tionghoa ternama pun turut berpartisipasi dalam kemajuan bangsa Indonesia melalui berbagai aspek. Misalnya dr Oen Boen Ing dan Lo Siaw Ging di dunia kesehatan.

Kemudian ada Go Tik Swan alias K.R.T Harjonegoro dan Asmaraman Kho Ping Ho yang merupakan budayawan. Ada pula Yap Tjwan Bing dan Oei Tjoe Tat sebagai politisi keturunan Tionghoa asal Solo.

Berkaca dari artikel ini, bisa kita lihat memang Solo dan Tionghoa memiliki keterikatan yang cukup erat. Saking eratnya kedua etnis itu memperlihatkan hasil akulturasi yang langgeng hidup hingga kini.

Kemudian sampai sekarang Tionghoa kerap kali dipandang sebagai minoritas, namun mereka memperlihatkan kontribusi nyata bagi bangsa dan negaranya. Lewat kontribusi itu memperlihatkan bagaimana warga Tionghoa belajar mencintai, membantu sesama, hingga memupuk sikap toleransi bermasyarakat secara perlahan-lahan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun