Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

"Ruh" Lirik "Kaulinan Barudak"

3 September 2022   18:56 Diperbarui: 3 September 2022   19:07 2219 3
Menyajikan lagi tampilan "kaulinan barudak" atau permainan anak-anak tradisional dalam rangkaian acara Kemah Literasi Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM) Provinsi Jawa Barat, menggugah sejumlah ingatan tentang keceriaan masa kecil dulu.

Rasa gembira terpaut  bersama air muka dan gerak atraktif hingga balutan nyanyian lirik-lirik pujangga terdahulu, menghidupkan pemahaman akan kekuatan makna-makna.

Lirik-lirik permainan anak yang dinyanyikan itu, dulu begitu akrab dalam pendengaran anak-anak Sunda bahkan hingga kini. Lirik-lirik permainan anak itu ada diantaranya, "Jaleuleuja", "Punten Mangga", "Cing Cangkeling", "Oray-orayan" hingga "Ayang-ayanggung".

Bagi yang sudah mengenal, sepintas lirik-lirik itu sangat sederhana, namun siapa sangka jika deretan lirik-lirik nyanyian permainan anak itu sarat makna.

Selain kandungan maknanya yang kuat, lirik-lirik itu terlahir sejak ratusan tahun silam, namun mampu bertahan hingga bergenerasi-generasi.

Kita sebut lirik Cing Cangkeling. Barisan lirik tersebut yaitu, //Cing cangkeling manuk cingkleung cineten// //Blos kakolong Bapa Satar Buleneng//

Lirik Cing Cangkeling, kita peroleh bagian uraian pemahaman maknanya dari pernyataan seorang Budayawan Sunda, Husin M. Al-Banjari, di Bandung beberapa waktu lalu bahwa lirik Cing Cangkeling lahir dari karya cipta seorang Raja Pajajaran yaitu Prabu Surawisesa.

Prabu Surawisesa saat membuat lirik itu, ia merekam suatu kejadian yang cukup tragis, menggambarkan keadaan kepemimpinan dalam kerajaan yang dipimpinnya.

Uraian artinya seperti ini, Cing cangkeling manuk cingkleng cineten, artinya yaitu seekor burung yang hebat dan gagah berani (manuk cingkleung), namun kondisinya hanya diam saja (cineten).

Blos ka kolong (masuk ke kolong), Bapak Satar buleneng (tak memiliki hasrat).

Lirik ini merupakan serangkaian gaya penyampaian seseorang dalam bentuk sindir, sampir, simbul, siloka dan sasmita.

Dalam buku Kasundaan Rawayan Jati (2003), R. Hidayat Suryalaga memberikan penjelasan terhadap kelima istilah tersebut. Silib adalah sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi dikiaskan; sindir sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi menggunakan susunan kalimat yang berbeda. Simbul, menyampaikan suatu maksud dengan bentuk lambang. Siloka menyampaikan suatu maksud dengan bentuk pengandaian. Adapun sasmita adalah pemaknaan yang berkaitan dengan perasaan hati.

Kembali kepada gaya penulisan lirik Cing Cangkeling, bahwa manuk atau burung itu adalah simbul kepemimpinan.

Secara makna, lirik Cing Cangkeling mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa ada pemimpin hebat, namun dia hanya diam dan diamnya di tempat gelap (kolong) juga tidak memiliki hasrat (buleneng) apapun terkait hal kepemimpinan yang sedang dijalaninya.

Lirik yang cukup ironis, raja digjaya namun sedang tidak berdaya. Keadaan kritis itu, dalam sejarahnya karena timbulnya pemberontakan dan penyerangan terhadap  kerajaan oleh orang-orang yang ada disekitar lingkungan kerajaan.

Disisi lain, raja merasa malu karena kualitas kepemimpinan yang ia jalankan ada dibawah kualitas kepemimpinan pendahulunya yaitu Prabu Sri Baduga Maharaja.

Surawisesa akhirnya "menyerah" dengan keadaan lalu melepaskan diri dari segala macam bentuk kekuasaan dan memilih jalan hidup menjadi resi atau guru berjuluk "Siksa Kanda'ng Karesian" dan menetap di Pegunungan Galunggung.

Lirik Cing Cangkeling ini memuat kesedihan yang luar biasa. Namun dalam permainan anak tradisonal, lirik ini sering dinyanyikan dengan riang gembira. Mengapa?

Inilah kepiawaian sang pujangga, bagaimana merekam suatu situasi dan keadaan pada ratusan tahun silam menjadi  karya bermakna dan abadi untuk generasi mendatang.

Sang pujangga menyebutkan bahwa karyanya dia "pahatkan" dalam rongga suara (elak-elakan) dimulut anak cucunya. Tujuannya, agar pengalaman ini terpatri dan tersampaikan kemudian sebagai bahan pembelajaran pada suatu masa tertentu.

Lirik-lirik, permainan anak tradisional dan gerak atraktif para pemainnya adalah warisan keluhuran nilai yang berharga bagi generasi bangsa.

Menghadirkan atau mekreasinya menjadi sebuah sajian atraktif dan menyenangkan,  menjadi cara bagaimana pemuliaan terhadap karya-karya leluhur itu kita lakukan sekaligus hal ini sebagai bentuk apresiasi dan pelestarian nilai budaya bangsa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun