Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Suasana "Maulud" di Kampung Kami

24 Oktober 2021   09:59 Diperbarui: 24 Oktober 2021   10:05 227 10
Datangnya bulan Rabiul Awwal memberikan suasana yang beda dan istimewa. Terkhusus di Aceh, dan umumnya beberapa daerah lain. Karena pada bulan ini banyak diwarnai nuansa perayaan/haflah/ syiar hari kelahiran Baginda Penutup Para Nabi (Muhammad SAW).

Walau secara teknik Nabi tidak mengisyratkan amalan ini, namun, dari segi aspek budaya dan interaksi sosial tidak mengandung  mudharat.

Selintas, yang penulis ingat, perayaan kelahiran nabi, diprakarsai pada masa kepemimpinan Shalahuddin Al Ayyubi (Saladin) sekitar pertengahan abad 12 M, guna membangun kegairah keislaman di setiap hati pemeluknya, terutama dalam memperjuangkan Palestina saat itu.

Maka, setelah fase itu, para ulama mu'tabar (yang diakui secara luas), membatasi amalan/aktivitas maulud yang tidak melanggar syariat. sehingga kegiatan maulid ini tidak menyerupai ajaran agama lain dan menyimpang dari kebenaran, ada beberapa batasan yang ditetapkan:

Pertama, di dalamnya ada zikrullah, mengingat Allah, atau dibacakan Alquran dan kisah Nabi Muhammad SAW.
Kedua, berbagi makanan dan makan bersama, khususnya dengan mengundang anak yatim.
Ketiga, tidak menyebabkan perilaku mubazir dan pelanggaran agama di dalamnya, seperti bercampurnya laki laki dan perempuan dalam satu jamuan (sebaiknya duduk mereka dipisah).

Khusus di Aceh, agaknya berbeda dari daerah lain, yang hanya merayakan Maulid secara rutin di bulan Rabiul Awwal, baik di masjid ataupun kenduri di sebagian kampung.

Namun di Aceh, suasana maulid, berlangsung sekitar tiga bulan berturut turut. oleh karena  panjangnya waktu itu, maka sebutannya menjadi "maulud", yang berarti memperingati Sosok Kepribadian Nabi yang dilahirkan. Sedang maulid, merujuk pada momen/waktu lahirnya di bulan Rabiul Awal.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun