Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Pembakaran Batu Bata yang masih Tradisional, Dimana para Insinyur Teknik ?

4 Agustus 2013   23:06 Diperbarui: 4 April 2017   18:22 14357 2

Kalau kita hendak membangun rumah, salah satu komponen vitalnya adalah batu bata. Keberadaan batu bata sebagian sudah mulai tergantikan dengan batako yang terbuat dari campuran pasir dan semen. Namun demikian, penggunaan batu bata masih cukup dominan, mengingat konon lebih diminati masyarakat karena rumah yang terbuat dari batu bata terasa lebih dingin. Batu bata sendiri terbuat dari tanah dengan karakteristik tertentu, sehingga tidak semua tanah bagus untuk membuat batu bata.

Beberapa waktu lalu saya sempat menengok proses pembuatan batu bata di daerah Majenang khususnya pada proses pembakarannya. Daerah ini berada di bagian barat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah atau tepatnya berada di jalur lintas selatan arah Bandung-Yogyakarta yang merupakan daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kala itu, di pagi yang masih agak dingin dan sebagian kabut masih menutupi pemandangan indah persawahan, saya bersepeda sambil menghirup udara segar pagi hari. Menyusuri Cigobang dan kemudian menyeberang ke Jembatan baru Sungai Cijalu terus menuju ke arah barat sampai ke daerah Cigaru untuk kemudian saya berbelok ke kanan masuk ke jalan kecil. Setelah melewati perkampungan penduduk sampailah saya ke bentangan sawah yang kemudian saya melihat dari kejauhan sebuah bangunan kecil yang ternyata adalah tempat pembakaran batu bata.

Saya pun berhenti untuk melihat proses pembakaran batu bata dan beruntung saya bertemu dengan sang pemilik (sayangnya saya lupa namanya) yang kebetulan berada di lokasi. Saya pun berbincang-bincang dengan sang pemilik tentang proses pembuatan batu bata. Pemandangan yang saya lihat ini persis seperti apa yang saya lihat sewaktu saya kecil, mungkin sekitar 20 tahunan yang lalu. Nampaknya tidak ada yang berubah dalam proses pembuatan batu bata ini. Di sini proses pembakarannya menggunakan sekam padi - walaupun di tempat lain tidak jauh dari sini ada juga yang menggunakan kayu bakar - tetapi menurut sang pemilik, karena abu sekam padinya dibutuhkan untuk campuran batu batanya, mengingat jenis tanah yang digunakan berbeda sehingga perlu campuran abu agar kualitasnya tetap bagus. Penggunaan sekam padi membutuhkan waktu beberapa hari hingga satu minggu, lebih lama dari pada dengan kayu bakar karena panas yang dihasilkan lebih rendah. Sebagai orang teknik, kita mengenal istilah nilai kalor, dimana kayu bakar memiliki nilai kalor lebih tinggi dari pada sekam padi.

Yang kemudian terlintas dalam benak pikiran saya kemudian adalah mengapa dari dahulu hingga sekarang cara pembakaran batu bata ini tetap sama. Tidak adakah perbaikan sistem pembakaran untuk meningkatkan efisiensi prosesnya, mulai dari efisiensi bahan bakarnya, efisiensi waktu dan kalau memungkinkan meningkatkan kualitas produknya. Sejauh yang saya ketahui, sudah ada beberapa teknologi perbaikan tungku pembakaran, tidak hanya untuk batu bata, tetapi juga untuk pembakaran genteng, kapur dan lain-lain yang secara prinsip keteknikan tidak jauh berbeda. Untuk pencetakan batu batanya pun sudah ada yang membuat mesinnya sehingga bisa memproduksi lebih banyak lagi batu bata. Namun hingga kini mereka masih sangat banyak yang menggunakan cara-cara tradisional dalam proses pembuatannya.

Tentunya ada banyak pertanyaan kenapa hal ini bisa terjadi. Memang ada beberapa kemungkinan akan gagalnya implementasi teknologi, tidak hanya untuk proses pembuatan batu bata, tetapi juga yang lainnya. Kita sering melihat bagaimana pembuatan suatu produk, dari dulu hingga sekarang masih seperti itu saja tanpa ada perubahan. Padahal di saat persaingan ekonomi sangat tinggi, tuntutan kualitas dan efisiensi menjadi suatu keharusan yang harus dipenuhi. Untuk proses pembuatan batu bata sendiri, kemungkinannya antara lain karena tingkat keekonomian alat-alat baru tersebut belum terbukti atau paling tidak belum bisa meyakinkan para pengrajin batu bata. Dengan modal usaha mereka yang tidak terlalu besar, tentunya mereka tidak mau bereksperimen dengan alat-alat baru yang apabila gagal resikonya adalah kerugian yang besar buat mereka.

Seperti misalnya penggunaan mesin pencetak batu bata, apakah penggunaan mesin ini yang tentunya harganya relatif mahal buat mereka, cukup efisien menggantikan tenaga manual manusia sehingga biaya investasi mesinnya bisa cepat kembali. Pada proses pembakaran batu bata, misalnya dengan sistem pembakaran tertutup, tentunya secara teknik kita bisa melihat bahwa panas yang terbuang akan semakin sedikit dan polusi asapnya bisa lebih dikelola dengan baik sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar, apakah efisiensi energy yang didapatkan sesuai dengan biaya investasi tungkunya.

Tentunya masih banyak lagi persoalan-persoalan terkait implementasi teknologi ini. Satu hal yang jadi pertanyaan, kemana para insinyur-insinyur teknik yang seharusnya terjun langsung ke permasalahan seperti ini. Mungkin lebih banyak yang tertarik mengkaji persoalan-persoalan di industri manufaktur besar yang notabene secara financial lebih menjanjikan. Mungkin perlu ada program-program besar seperti halnya yang dilakukan Bapak Anies Baswedan dengan program Indonesia Mengajarnya, misalnya dengan program “Insinyur Pulang Kampung” atau apapun namanya yang intinya lebih memberdayakan industri kecil dengan sentuhan teknologi. Banyak juga riset-riset di kampus yang seringkali berhenti di tumpukan laporan tanpa implementasi. Atau mungkin perlu juga menggalakan program wirausaha social (social entrepreneurship) yang berbasiskan teknologi (technopreneurship) bagi para sarjana-sarjana baru. Harapan akhirnya tentu ingin agar industri kecil kita punya daya saing kuat menghadapai perdagangan bebas, minimal untuk tingkat ASEAN. Semoga !

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun