Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

[Event Cerita Mini] Kupu-kupu Peramal

6 Juli 2019   07:17 Diperbarui: 6 Juli 2019   17:41 208 46
Ketika saya kecil, saya pernah suatu tempo dititipkan oleh orangtua saya untuk menginap di rumah Kakek selama sebulan sewaktu liburan.

Di sana, Kakek rutin mengajak saya ke halaman belakang untuk menyiram bunga-bunga. Ada banyak jenis bunga. Tapi yang paling saya ingat adalah Bunga Mata Kucing, begitulah Kakek menyebutnya.

Sebelum menyiram bunga-bunga, Kakek menghidupkan tape-recorder, memasukkan kaset pita dan memutar lagu barat kesukaannya, yang belakangan saya tahu berjudul If You Were My Baby, oleh Rick Price. Dia menyiram bunga-bunga itu sambil bernyanyi pelan karena tak tahu liriknya, dan bergerak-gerak menyerupai tarian yang menakutkan.

Cinta kepada Nenek bisa awet karena mendengarkan lagu ini, katanya. Waktu itu Nenek memang sudah mati.

Ketimbang mendengarkan Kakek bernyanyi dan melihatnya menari, tentulah saya lebih suka menangkap kupu-kupu. Tapi mereka selalu terbang ketika saya mendekat. Saya pun mengambil batu dan melempari mereka, atau memukul mereka dengan sebatang kayu, hingga beberapa ada yang mati dan sayapnya lepas.

"Kupu-kupu itu hewan baik. Mereka tidak akan menyakitimu, buyung," kata Kakek sambil memegang tangan saya.

"Tapi mereka tidak menyukai saya," jawab saya.

"Mereka hewan yang menyukai bunga dan kebebasan. Tidak suka ditangkap."

"Oh," kata saya.

"Bukankah lebih menyenangkan kalau menyaksikan mereka saja, buyung?"

Saya mengangguk, tapi tidak terlalu paham dan tidak betul-betul setuju.

Setelahnya Kakek mengajak saya minum cokelat panas di teras sambil memandangi taman bunganya. Saat seekor kupu-kupu melintas, saya sempat mengambil sandal dan berkeinginan untuk memukul hewan itu. Tapi sejenak saya teringat ucapan Kakek, jadi saya urungkan niat dan meletakkan kembali sandal saya. Sementara itu Kakek menertawakan saya.

"Kupu-kupu itu hewan yang membawa pertanda baik. Dan tentulah mereka tidak akan menyakitimu, buyung," kata dia, mengusap kepala saya.

Saya mengangguk. Tapi masih memandang kupu-kupu yang perlahan masuk ke dalam rumah itu.

"Akan ada tamu," ucap Kakek sedikit tersenyum. Saya bingung.

Dua hari kemudian, ternyata betul ada tamu. Paman saya yang tinggal di luar kota datang bersama istrinya. Tidak menginap. Hanya berkunjung. Kebetulan tempat pertemuan bisnisnya melewati rumah Kakek. Begitulah seingat saya.

Seminggu saya di rumah Kakek, kami selalu melakukan kegiatan yang sama. Dia mengajak saya untuk mengulangi hal-hal sama yang membosankan. Lebih-lebih untuk bocah macam saya. Menyiram bunga, memandang taman dan menyaksikan kupu-kupu yang tidak bisa saya tangkap hidup-hidup.

Hari itu, selesai menyiram bunga, memutar lagu dan bernyanyi, Kakek mengajak saya untuk minum cokelat panas lagi di teras sambil memandang taman bunganya. Seekor kupu-kupu melintas lagi. Saya sempat berpikir untuk memukulnya dengan sendok. Tapi sejenak saya kembali teringat ucapan Kakek. Jadi saya urungkan niat itu. Di belakang, Kakek memandang saya dan tertawa.

"Kamu masih ingat kata-kata saya, buyung? Kupu-kupu itu hewan yang membawa pertanda baik. Jangan sakiti mereka," kata dia.

Saya mengangguk. Kupu-kupu itu kembali masuk ke dalam rumah.

"Akan ada tamu," kata Kakek lagi.

Dan betul saja, tiga hari setelahnya Bibi saya datang ke rumah Kakek untuk mengambil surat-surat tanah yang memang diberikan kepadanya. Sampai di sini saya sempat mengira kalau Kakek memiliki kemampuan untuk meramal.

Hari-hari lainnya, setelah melakukan kegiatan-kegiatan yang sama dengan Kakek, minum cokelat panas di teras dan menunggu kupu-kupu masuk adalah bagian kesukaan saya.

Ketika itu ada lagi satu kupu-kupu yang masuk ke rumah. Saya memandang Kakek, "Ada tamu?" tanya saya. Kakek menganguguk.

Sehari setelahnya dia benar lagi. Seorang dengan mobil, berjas putih dan membawa tas kecil datang. Dia berbicara berdua saja dengan Kakek. Saya baru tahu setelah remaja kalau orang itu rupanya dokter.

Sejak berjumpa orang itu Kakek tidak menyiram bunga beberapa hari. Tapi kembali lagi dia mengajak saya melakukan kegiatan-kegiatan itu setelahnya. Dan selesainya, kami kembali duduk minum cokelat panas di teras.

Saya kegirangan melihat seekor kupu-kupu masuk ke dalam rumah. "Ada tamu?" kata saya sambil memandangi Kakek. Dia mengangguk dan tersenyum ke arah saya.

Besoknya, benar saja rumah Kakek kedatangan banyak tamu. Mereka berbondong-bondong mendatangi Kakek setelah saya mengatakan pada tetangga sekitar bahwa Kakek tidak bangun dan belum membuatkan saya sarapan.

Ayah, Paman, dan Bibi juga datang. Mereka menangis, tapi tidak lama. Ayah bilang pada saya kalau Kakek sudah mati. Saya pun ikut menangis, tapi tidak lama juga.

Sejak saat itu saya baru sadar kalau Kakek bukan peramal. Tapi kupu-kupulah yang meramalkan untuk dia. Dan saya pikir kupu-kupu tidak selalu membawa kabar baik seperti yang dikatakannya kepada saya. Buktinya, hari itu orang-orang datang karena kematiannya sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun