aku melihat para dewa berkumpul menangisi anak dombanya. kulihat lagi sebaris orang agung itu melukis perdamaian kias diatas peluru-peluru yang terus melesat. kubilang, "ini dua puluh lima desember, kita harus merayakannya." tapi apa? Â
salibku genggam, berlarian menunggu bala bantuan dari Dia yang segalanya punya. aku tertatih padahal berniat liburan, aku terjungkal ingin melarikan sepi, aku tertembak dan dipeluk ibu-ibu lokal berniqab hitam. Â
"maafkan negeri kami. natalmu tak sesuai rencana,"katanya sebelum nafas-nafasku memburu, mengeja takdir. bahwa detik ini, di tanah ini, beratapkan kubah masjid; aku menyaksikan kesakitan itu.
Medan, 2020.