Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Belajar Toleransi Dari NU dan Muhammadiyah

27 Mei 2013   09:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:58 920 0
Memang bulan Ramadhan masih sekitar 1 bulan lagi, tapi banyaknya postingan pengingat puasa, saya jadi ingat “pertikaian nasional” penentuan tanggal Ramadhan yang biasanya terjadi setiap tahun, entah itu penentuan awal puasa maupun penentuan Idul Fitri.

Kadang saya sering kasian dengan teman yang beragama lain. Mereka mengeluh penentuan tanggal hari besar umat Islam tersebut menguras energi nasional sangat banyak. Terjadi setiap tahun. Dan juga dengan organisasi Islam yang sama, Nadhatul Ulama(NU) dengan Muhammadiyah. Namun, kalau NU dan Muhammadiyah sepakat sama penanggalannya, biasanya organisasi lain mengalah, “keributan nasional” tidak terjadi.

Saya sendiri senang adanya perbedaan penanggalan puasa karena bisa menjadi percontohan nasional tentang toleransi antar umat. Bayangkan, mereka berdua sangat ngotot dengan ajarannya masing-masing, saling merasa paling benar, bahkan perbedaan itu dijadikan adu argumen di televisi nasional. Tapi, saat terjadi perbedaan penanggalan puasa, NU maupun Muhammadiyah sama-sama menjalankan sesuai keyakinannya. Tanpa saling mengganggu, menghina, dan menghalangi.

Jika Muhammadiyah merayakan Idul Fitri lebih dulu, mereka hanya menghentikan puasa Ramadhan dan sholat Id pagi hari. Tidak ada perayaan kupatan atau tabligh akbar keliling. Mereka menunda itu semua karena menunggu sahabatnya, NU, menyelesaikan puasa Ramadhan agar mereka bisa merayakan hari kemenangan bersama, dan tentu menikmati kupatan bersama juga. Begitu juga jika kondisinya NU merayakan Idul Fitri lebih dulu.

Pertikaian nasional antara NU dan Muhammadiyah inilah yang seharusnya jadi model nasional untuk urusan pertikaian-pertikaian antar aliran, dan juga antar umat beragama. Islam melarang timbulnya perpecahan umat, tidak pernah melarang adanya perbedaan pendapat. Toh, jika Allah ingin umat Islam hanya punya satu pendapat, Allah tinggal menghendakinya. Jika merujuk pada model seperti ini, seharusnya kasus-kasus kekerasan seperti Ahmadiyah, Syiah, dkk tidak pernah terjadi.

Berbagai kasus pertikaian antar agama di tanah air juga tidak ada satupun yang benar-benar murni pertikaian antar agama. Yang paling terkenal misalnya, kerusuhan Ambon tahun 1998, sebenarnya hanyalah pertikaian antar pemuda, yang kebetulan berbeda kampung, yang kebetulan juga kampungnya berbeda agama. Karena setiap agama menjanjikan surga bagi penganut yang membela agamanya, solidaritas satu agama bisa kuat secara tiba-tiba, bahkan membabi buta. Pertikaian antar pemuda itu menjadi kerusuhan antar agama se-Ambon.

Toleransi yang dicontohkan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu seharusnya bisa jadi contoh juga dalam kasus antar umat beragama. Konsep hidup di negara yang agamanya heterogen sudah sangat jelas. Setiap agama punya kewajiban untuk menyebarkan ajarannya ke seluruh manusia. Tapi setiap agama itu juga, punya aturan tentang toleransi untuk menghormati keyakinan agama lain. Jadi, kita sebenarnya tidak punya alasan bertikai karena perbedaan agama. Bahkan kita bisa meniru toleransi antar umat dari pertikaian NU dan Muhammadiyah saat bulan Ramadhan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun