Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Rektor

21 Mei 2012   00:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:02 298 1
Bulan lalu saya mendapat kiriman buku dari seorang sahabat, mantan teman kuliah di Bandung.  Judulnya "Golak Ganesha - Gerakan Mahasiswa Mendobrak Orde Baru".  Buku yang diterbitkan "Fortuga Ganesha", Maret 2012 itu, merupakan novel yang didasarkan kisah nyata gerakan mahasiswa ITB, tahun 1977-1978.  Pada prinsipnya, mereka menolak Sidang Umum MPR 1978, yang naga-naganya akan memilih kembali Soeharto menjadi Presiden RI.

Karena saya  sedikit-banyak terlibat aksi itu, maka membaca buku tadi, seakan memutar film sejarah di benak saya.  Cerita tentang bagaimana para mahasiswa ITB yang begitu heroik melawan pemerintah Orde Baru yang dinilai sudah melenceng dari cita-cita orde itu didirikan. Perlawanan sipil yang gagah-berani dalam menghadapi kekuatan politik yang didukung penuh oleh militer.

Kisah ini sebetulnya lebih cocok disebut "dramatis", katimbang romantis.  Tetapi, saya tetap anggap ia sebagai nostalgia  yang pantas senantiasa dikenang.  Cerita nyata yang terjadi di kampus, di ITB, di Bandung, tempat saya - pada waktu itu - menuntut ilmu.

Sebetulnya saya sudah menyelesaikan hampir semua syarat akademis yang ditetapkan Institut untuk ikut acara wisuda bulan Maret 1978.  Saya hanya mengambil beberapa mata-kuliah pilihan, sebagai tambahan pengkayaan dan bekal hidup setelah lulus.  Salah satu yang saya ingat, kalau tidak salah, judulnya "Filsafat Ilmu".  Tugas akhir sudah mendekati tahap penjilidan. Draf sudah disetujui kedua pembimbing. Betapa bangga hati saya, lebih-lebih kedua orang tua saya, ketika membayangkan, sebentar lagi, menyandang gelar insinyur.

Tiba-tiba kenyamanan kami, mahasiswa ITB,  terusik.  Situasi politik negara memanas, percaturan kekuasaan meruncing yang membawa kami untuk terlibat di dalamnya.  Sebentar lagi, MPR akan memilih Presiden dan Wakil Presiden.  Soeharto, yang saat itu menjadi incumbent, hampir pasti terpilih lagi.  Meskipun diwarnai rasa takut,  mahasiswa Indonesia menolaknya.

Apel-siaga mahasiswa ITB di depan halaman kampus, pada tanggal 16 Januari 1978, menyatakan "Tidak Mempercayai dan Tidak Menginginkan Soeharto Kembali Sebagai Presiden Republik Indonesia".  Suatu pernyataan yang (sangat) berani bila diukur masa itu.   Reaksi dari "pihak sana" sudah diperkirakan.  Soeharto marah besar, karena itulah untuk pertama kali ada pihak yang berani berkata "tidak" kepada dia.  Selama ini tak satu pun mulut yang berucap, bahkan hanya untuk berbisik, mengkritisi Soeharto.

Selain apel-siaga, mahasiswa ITB juga menerbitkan "Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB".  Ia menjadi landasan perjuangan mahasiswa.  Ia mengkritisi semua kebijakan Soeharto yang dinilai menyimpang dari Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera).   Berdasarkan buku tadi, mahasiswa ITB melangkahkan kaki untuk berkata  : "Tidak".  Diskusi-diskusi diadakan, apel-siaga dan mimbar bebas digelar, spanduk dan poster dibentangkan, demonstrasi digalang.  Semuanya dengan satu tujuan, menunjukkan bahwa masih ada rakyat Indonesia dengan predikat mahasiswa yang peduli dan sensitif terhadap kondisi negaranya.

Jawaban dari pemerintah, seperti telah diduga sebelumnya, aksi kritik mahasiswa diancam dan dihadapi dengan kekerasan.  Tokoh mahasiswa dan beberapa dosen ditangkap.  Media massa nasional dan daerah, yang dianggap pro mahasiswa, dibredel.  Radio mahasiswa digrebeg dan ditutup.  Dan yang paling vulgar adalah kampus ITB diserbu  dan diduduki.

Kampus dikosongkan, mahasiswa, dosen dan karyawan digelandang keluar dengan kekerasan.  Kantor sekretariat mahasiswa diobrak-abrik, tapi masyarakat kampus bergeming.  Perjuangan tetap dikumandangkan.

Satu hal yang paling mengesankan saya adalah bagaimana Rektor ITB pada waktu itu, Prof. Dr. Ing. Iskandar Alisjahbana mendukung perjuangan mahasiswa itu.  Saya masih kebayang, bagaimana Prof. Iskandar hadir dalam salah satu apel-siaga mahasiswa ITB, sambil membawa kamera kantung dan menjepret sana-sini.  Saya masih ingat sambutan Rektor ITB dalam salah satu kesempatan, yang kira-kira berbunyi : "Anak-anakku mahasiswa ITB.  Saya tidak sependapat dengan banyak hal yang kalian perjuangankan.  Tetapi, saya tidak akan membubarkan kalian.  Saya tidak akan menangkap kalian.  Saya tidak akan memecat kalian.  Saya tidak akan melarang kalian.  Marilah kita berdialog untuk mendapatkan suatu pemikiran bersama yang berguna untuk nusa dan bangsa".

Rektor ITB kala itu, Prof. Iskandar, tak gentar sedikit pun dalam menjaga nilai-nilai kebenaran akademis yang dibebankan di pundaknya.   Prof.  Iskandar tahu persis, bahwa yang dihadapi adalah sebuah kekuatan besar, kekuatan militer, kekuatan fisik, tetapi, sekali lagi, dia bergeming.  Prof.  Iskandar tahu persis bahwa resiko yang (akan) dihadapi tidak kecil.  Rektor akan segera dipecat, bahkan kampus ITB digrebeg dan diduduki, rumahnya ditembaki oleh orang tak dikenal.  Tetapi, dia tahu persis bahwa kampus hanya boleh bertekuk lutut kepada kebenaran akademis.

Mengenang kebesaran Prof.  Iskandar sebagai Rektor, perasaan saya terusik, ketika baru-baru ini mendengar kejadian sebaliknya.  Seorang Rektor dari Universitas terbesar dan tertua di Indonesia, telah melarang suatu diskusi mengenai sebuah buku yang dikarang oleh seorang perempuan.  Alasan yang dikemukakan adalah "demi keamanan dan kebaikan bersama".  Universitas tadi diancam oleh sekelompok orang.  Universitas akan diserbu oleh masa dari suatu kelompok tertentu bila diskusi tetap diselenggarakan.  Kali ini Rektor tadi surut.  Hatinya berpihak kepada tirani yang sedang berkuasa.  Kebenaran akademis dikesampingkan, entah kemana.

Beberapa hari kemudian, Seorang Rektor lain dari Universitas Negeri dari kota yang berdekatan, juga melarang diskusi dan pemutaran film berjudul "Sanubari Jakarta".  Alasan yang dikemukakan juga serupa.  Pihak Rektorat menerima ancaman dari kelompok masa tertentu untuk menyerang dan membubarkan acara, bila tetap dilangsungkan.  Lagi-lagi Universitas, sebagai lembaga pendidikan tinggi, tidak mampu menjaga independensinya sendiri.  Rektor telah memanjakan rasa hatinya yang sedang takut akan kehilangan kekuasaan dan membuang kebenaran akademis dari tradisinya.  Memprihatinkan dan menyakitkan sekali.

3 cerita tentang 3 orang Rektor yang menjabat pada masa yang berselisih 34 tahun membangunkan saya bahwa nilai-nilai pendidikan yang paling mendasar di Indonesia, sedang terdegradasi menuju titik nadir.  Keberanian Prof.  Iskandar, yang kini sudah almarhum, untuk menjaga integritas Perguruan Tinggi, tidak ditiru oleh 2 orang Rektor yang saya ceritakan kemudian.  Kebenaran dan kebebasan akademis sedang runtuh mendekati nilai-nilai kompromis yang menyedihkan.  Kedua Rektor masa kini tadi, tidak mampu membawa amanah untuk dijaganya.  Nampaknya, pendidikan anak-anak bangsa di tanah air kita tercinta sudah hampir berakhir.

Menjelang tidur malam ini, saya tidak bisa membayangkan bilamana kehidupan kampus tanpa diskusi.  Perguruan Tinggi tanpa dialog.  Universitas tanpa tukar-pikiran.  Rektor takut akan ancaman fisik, dan masih banyak bayangan-bayangan hitam yang tidak menyenyakkan tidur saya.  Ingin saya meminjam jargon bahasa latin yang berbunyi "Fiat Justitia Ruat Caelum" (Biar Langit Runtuh Hukum Harus Tetap Ditegakkan), dengan mengubahnya menjadi "Biar Langit Runtuh Kebebasan dan Kebenaran Akademis Harus Tetap Ditegakkan".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun