Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Caleg Pengemis Suara Rakyat

14 Maret 2014   07:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57 143 0
Oleh Sumbo Tinarbuko

‘’Mohon doa dan restunya. Mohon doa dan dukungannya. Mohon doa restu, dukungan dan pilihannya. Mohon coblos nomor sekian. Mohon …’’ Itulah sederetan kalimat permohonan yang ditengadahkan caleg pengemis suara rakyat (CPSR). Mereka memohon belas kasihan rakyat agar menyumbangkan suaranya pada saat coblosan nanti. Bentuk visual permohonan CPSR pun beragam. Biasanya mereka mengemis di bawah pohon, tiang telpon, dan tiang listrik. Tak jarang mereka memohon sumbangan suara rakyat di pengkolan dan perempatan jalan. Lebih dramatis lagi, para CPSR meminta sedekah suara di areal pemakaman umum dan bantaran sungai.

Istilah CPSR sengaja didengungkan Komunitas Reresik Sampah Visual karena tabiat para caleg yang memasang alat peraga kampanye (APK) di ruang publik sebangun dengan ideologi pengemis peminta-minta. CPSR menyejajarkan dirinya seperti pengemis lewat rontek, poster, spanduk, baliho dan billboard. Hebatnya, APK yang terpasang di ruang publik dideretkan sedemikan rupa, persis deretan pengemis yang minta sedekah para pengunjung pasar, plaza, mal atau di ruang publik lainnya. Di sudut lain, atas nama berburu kekuasaan, CPSR sengaja membutakan mata hati dan  membanting harga dirinya pada kasta paling rendah lewat program mengemis massal.

Matinya Iklan Politik

Fenomena tebaran iklan politik yang disebar CPSR mengindikasikan matinya iklan politik di ruang publik. Ajal iklan politik menemukan momentum kematiannya di pangkuan calon pemilih yang semakin kritis dan apatis pada perhelatan kampanye Pemilu. Matinya  iklan politik ditandai dengan perlombaan narasi visual yang digelar para caleg dan kandidat presiden lewat upaya mengemis suara calon pemilih yang dijadikan target sasarannya.

Matinya iklan politik semakin kentara manakala CPSR dalam keadaan panik melakukan kampanye Pemilu yang berujung sampah visual. Selain memroduksi sampah visual iklan politik, sepak terjang mereka ditengarai menjadi  teroris visual. Modus operandinya: menempelkan dan menancapkan sebanyak mungkin billboard, baliho, spanduk, poster, stiker, dan rontek di ruang publik. Mereka bergerak  tanpa mengindahkan tatakelola kota yang mengedepankan aspek ramah lingkungan. Mereka sengaja mengabaikan ergonomi pemasangan APK  serta tidak peduli dengan aspek etika dan estetika penempatan APK tersebut.

Ironisnya, pola pemasangan dan cara menempatkan APK versi CPSR sangat  berlawanan dengan esensi desain iklan  luar ruang yang dirancang sedemikian rupa agar tampil menarik, artistik, informatif, dan komunikatif. Di tangan tukang pasang APK, desain iklan politik yang bagus bersalin fungsi menjadi sampah visual. Di tangan orang ‘perkasa’ seperti itulah, iklan politik tewas dengan sukses. Hal ini menjadi fenomena menyedihkan bagi keberadaan ilmu desain komunikasi visual dan iklan politik.

Penjarahan Ruang Publik

Dalam konteks APK CPSR, rasanya tidak pernah tuntas saat membicarakan penjarahan ruang publik yang dilakukan secara massal tim sukses, caleg DPR RI, DPRD dan DPD serta capres. Akibat ketidaktuntasannya, menyebabkan napas iklan politik kehilangan denyutnya. Lalu, di manakah simpul sengkarutnya? Sejatinya, inti permasalahan bersumber pada penentuan titik penempatan dan pola pemasangannya semrawut serta ‘penuh kebijakan’ yang tidak bijaksana.

Secara tersirat, aturan KPU No 15/2013 mengatur penempatan APK: 1) baliho atau papan reklame (billboard) hanya diperuntukan bagi Partai Politik 1 unit untuk 1 desa/kelurahan atau nama lainnya memuat informasi nomor dan tanda gambar Partai Politik dan/atau visi, misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan Calon Anggota DPR dan DPRD. 2) Calon Anggota DPD dapat memasang baliho atau papan reklame (billboard) 1 unit untuk 1 desa/kelurahan atau nama lainnya. 3) bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh Partai Politik dan calon Anggota DPD pada zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah. 4) Spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 m hanya 1 unit pada 1 zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah.

Pada titik ini, seyogianya pemerintah tegas menertibkan keliaran APK dan iklan politik liar. Langkah pertama, pemerintah bersama instansi terkait: Panwaslu, KPU  dan Satpol PP tanpa menunda-nunda berani menurunkan, membongkar, dan menyabut APK yang menyalahi aturan KPU No 15/2013. Kedua, menerapkan hukuman setimpal bagi parapihak yang diketahui melanggar aturan KPU No 15/2013.  Ketiga, ada kesamaan persepsi terkait penempatan serta pemasangan APK caleg dan kandidat presiden.

Jika hal itu dilaksanakan bersungguh-sungguh, peserta kampanye dan pelaksana Pemilu 2014 telah menggelar pesta demokrasi dengan sempurna. Mereka dinilai memberikan pendidikan politik secara elegan karena mengedepankan estetika dan etika kampanye Pemilu.

*)Sumbo Tinarbuko adalah Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta dan Relawan Komunitas Reresik Sampah Visual | Website: sumbotinarbuko.com | sampahvisual.com | Twitter: @sumbotinarbuko | @sampah_visual |

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun