Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Rebutan Menafsir Pancasila

5 Agustus 2020   12:49 Diperbarui: 5 Agustus 2020   12:54 119 3
Pancasila ialah dasar hidup bernegara bagi rakyat Republik Indonesia. Meskipun, Pancasila seringkali sebatas jadi semboyan dalam beragam kegiatan seremonial namun tidak konsisten dan konsekuen diterapkan dalam kehidupan berbangsa-bernegara serta dijalankan sebagai dasar konstitusional.

Tafsir Pancasila, misalnya, seringkali digunakan sebagai alat kuasa dan opresi, alih-alih sebagai ideologi pembebasan. Orde Baru pernah memaksakan asas tunggal Pancasila untuk memberangus kebebasan berserikat sebelum akhirnya ditumbangkan arus reformasi.

Kala itu, Islam dan Pancasila dipertentangkan seakan bak air dan minyak, tak bisa bersatu. Orba menstigma kelompok Islam dengan sebutan ekstrem kanan (eka) di satu sisi, dan kelompok kiri-progresif sebagai ekstrim kiri (eki) di sisi yang lain. Intinya, setiap pihak yang mengkritisi pemerintah dianggap sama dengan menolak Pancasila sebagai dasar negara.

Sudah sepatutnya, Pancasila dimaknai sebagai ideologi terbuka. Diskursus mengenai Pancasila harusnya tidak hanya berisi puja-puji seolah tanpa cacat, namun harus dimaknai dan dikontekstualisasikan sesuai problem riil bangsa.

Kita patut mencontoh para pendiri bangsa yang tidak alergi membincang Pancasila dan posisinya dalam kehidupan bernegara. Seorang Sutan Takdir Alisjahbana dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), misalnya, meski mendukung Pancasila sebagai dasar negara tapi berani menyebutnya "bukan suatu kebulatan dan kesatuan yang logis, tetapi tinggal terletak berderai-derai", ia hanyalah "kumpulan paham-paham yang berbeda untuk menenteramkan semua golongan pada rapat-rapat" (Konstituate, 1958b, II: 39-40, dalam Maarif, 2017:199).

Di samping itu, rumusan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ramai diperbincangkan. Narasi yang berkembang berlangsung negatif dengan penolakan-penolakan berujung aksi massa dan tagar-tagar di linimasa dunia maya. Meskipun, tujuan awal lahirnya RUU HIP guna memperkuat peran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Timbul pertanyaan, sebenarnya Pancasila itu dari mana dan milik siapa. Perlu adanya penelusuran kembali soal tujuan dari Pancasila dan bagaimana perkembangannya. Apakah Pancasila sekedar instrumen kekuasaan atau sebenarnya ia mewakili cita-cita kebangsaan dan sepatutnya diperjuangkan.

***

Dalam pidatonya yang terkenal pada 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan bahwa Pancasila adalah suatu hal yang selama ini dicari-cari Dokuritsu Junbi Coosakai selama pertemuan yang berlangsung berhari-hari tersebut. Ia menyatakan Pancasila adalah sebuah dasar bagi kehidupan bernegara dan akan menjadi bintang penuntun jalannya pemerintahan ke depannya.

Bagi Soekarno, negara ibaratnya sebuah bangunan yang tentu menuntut dibangun dasaran --cakar ayamnya--terlebih dahulu. Bila sebuah bangsa tidak memiliki fundamen, ia akan mudah roboh diterpa angin kencang beragam peradaban di sekitarnya.

Soekarno sedari awal mengutakan bahwa cita-cita Indonesia Merdeka harus dibangun dari sebuah dasar yang kokoh. Darinya, Indonesia tidak hanya akan bertahan sekedar sewindu, tapi "...kita bertujuan bernegara seribu windu lamanya,  bernegara buat selama-lamanya."

Oleh karena itu dibutuhkan analisis yang tajam dan dipandu intuisi mendalam. Indonesia adalah bangsa yang beragam. Pluralitas adalah keniscayaan hidup di Indonesia. Ia dihuni ribuan suku yang tersebar di ribuan pulau. Maka pertama-tama dibutuhkan nilai-nilai yang mempersatukan seluruh anak negeri bangsa ini.

Sila Kemanusiaan dan Persatuan menunjukkan Pancasila memiliki dimensi kosmopolit sekaligus nasionalistik. Tamansari internasionalisme hidup dalam buminya nasionalisme. Pun, sebaliknya.

Indonesia dilahirkan dalam masyarakat yang amat plural. Pengusung kemerdekaan dan penghuninya berasal dari beragam kalangan. Perbedaan menjadi kenyataan sejak semula. Sehingga, dasar negasa haruslah sesuatu hal yang dapat diterima beragam kalangan.

Pancasila boleh dikatakan adalah wujud kompromi dari berbagai paham yang sanggup menyatukan Pancasila. Baik blok sekuler maupun Islam, atau kelompok liberalis maupun kelompok sosialis.

Selain itu, Pancasila berakar pada Sila Permusyawatan. Nilai-nilai demokratis harus dijunjung tinggi-tinggi. Tidak ada mayoritas mengungguli minoritas, atau sistem feodalis dan oligarkis.

Tujuan demokratisasi ini tak lain dan tak bukan adalah terwujudnya Sila Keadilan. Sistem demokratis tentu tak ada artinya tanpa adanya kesejahteraan yang merata. Kepemimpinan boleh datang silih berganti, namun tujuannya sama yaitu mensejahterakan masyarakat.

Keempat Sila ini diikat oleh suatu dasar spirualitas yaitu Sila Ketuhan. Dimana Ketuhanan disini tidak bermakna sempit, namun sikap bertuhan yang dewasa dan berbudaya.

Tafsir Pancasila ini akan selalu diperebutkan. Setiap orang memang bebas menafsir Pancasila karena ia adalah ideologi terbuka. Namun semangat Pancasila sebagai sebuah dasar bernegara yang menyatukan sekaligus membawa Indonesia kepada 'jembatan emas', meminjam bahasa Soekarno, menuju masa depan yang gilang-gemilang musti tidak boleh dilupakan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun