Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Gong Xi Fa Cai

19 Februari 2015   16:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:53 469 1

Saya lahir tahun 1989. Dengan demikian, saat tahun 1998, usia saya sudah 9 tahun. Umur segitu kira-kira sudah menginjak kelas 2 atau 3 SD. Masih kanak-kanak sekali. Prioritas kebutuhan saat itu tentunya bermain, bermain, dan bermain saja.

Tinggal di kampung, akses informasi saat itu sangat terbatas. Tidak pernah saya melihat wujud koran itu seperti apa. Televisi hanya ada satu di kampung dan biasanya dibuka saat matahari terbenam  hingga malam sekitar pukul 21.00. Misalnya ada kesempatan nonton TV, tontonannya sudah pasti yang ringan-ringan saja. Seingat saya, paling suka nonton film Wiro Sableng, Deru Debu, Jacklin, Sinetron Tersanjung, dan tayangan sejenisnya. Paling tidak suka kalau orang tua memindah channel yang menyiarkan berita. Saya akan merengek, menangis, hingga aksi mogok mandi dan makan kalau tidak menonton tanyangan favorit tadi.

Kondisi itulah yang membuat kami (khususnya saya) jauh dari informasi aktual. Padahal pada waktu itu (tahun 1998) sedang terjadi aksi demonstrasi menurunkan Soeharto dari kekuasaannya sebagai Presiden. Awalnya disebut sebagai aksi unjuk rasa gerakan reformasi, lama-lama menjadi gelombang demonstrasi besar yang sulit dibendung. Terjadi kericuhan di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia. Menurut cerita, sasarannya warga Tionghoa. Rumah dan tempat usahanya dibakar, barang-barang berharga dijarah, ada yang dipukul, diperkosa dan dibunuh. Satu kata yang mendeskripsikan itu semua, sadis..!

Empati Setelah Tahu Puisi Esai Denny JA

Setelah beranjak dewasa, barulah saya mendengar informasi tentang kerusuhan Mei 1998 silam. Itupun, masih sangat dangkal dan tidak begitu saya pedualikan. Saat pilpres 2014 kali lalu misalnya, isu pelanggaran HAM kala itu dulu menjadi tema penting yang dibahas setiap diskusi atau debat pada kandidat. Secara pribadi, saya berpikir, kenapa harus terus mengungki masa lalu ? Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu, tidak perlu diungkit terus. Susah melacak siapa pelakunya. Terbukti hingga sekarang belum teridentifikasi siapa, atau golongan mana yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut ?

Setelah membaca, lalu menonton versi poetry reading puisi esai karangan Pak Denny JA, barulah rasa empati yang mendalam itu muncul dalam diri saya. Bermula dari kesukaan saya sama penyanyi Bondan Prakoso. Saya mencari video lagunya di Youtube, dengan mengetik kata kunci namanya. Munculah bermacam-macam video lagu Bondan P dalam berbagai versi. Lalau saya klik video saat Bondan berbicara dalam acara Inspirasi.co di youtube. Dari situlah saya mengetahui ada website sumber inspirasi bagi banyak orang.

Karena didorong rasa penasaran, saya membuka alamat website tadi. Setalah halaman awal tertampil, saya langsung klik pada menu “Denny JA’s World”, nama sang founder website itu. Saya ingin mengetahui sepak terjang pemiliknya. Di sana terdapat profil beliau. Begitu tulisannya muncul, saya cukup tercengang, deskripsi tentang dirinya sangat panjang. Kisah perjalanan hidupnya dipenuhi pengalaman yang prestisius. Banyak gelar dan prestasi yang diterimanya sebagai pribadi maupun lembaga yang didirikannya. Atas prestasinya tersebut beliau dikenal dengan intelektual enterpreneur.

Bagi orang yang bergelut dalam bidang politik, namanya pasti sangat familiar. Beliau adalah founding father konsultan politik dan Lembaga Survey Indoensia (LSI), dimana hasil prediksinya selalu tepat jika dibandingkan hasil perhitungan real KPU. Tidak heran jika beberapa kali mendapat penghargaan rekor MURI. Masih banyak prestasi yang lain, namun akan sangat panjang jika dituliskan semuanya. Ada satu lagi prestasinya yang menurut saya penting, dan berkaitan dengan inti cerita saya saat ini, beliau adalah seorang penulis yang produktif. Salah satu karya yang paling fenomenal adalah, lahirnya genre baru dalam dunia kesastraan Indonesia dengan menulis puisi esai. Beliau menulis esai tentang diskriminasi di Indonesia menggunakan kalimat yang puitik atau bisa juga dibilang beliau menulis puisi dengan kalimat yang mudah dipahami, terdapat fakta bercampur fiksi dan dilengkapi catatan kaki layaknya sebuah esai. Penggabungan antara gaya penulisan puisi dan esai itulah sehingga diberi label baru, puisi esai.

Dalam profil beliau, tahulah saya kalau buku puisi esai tadi sudah terbit sejak lama, yaitu pada bulan Maret 2012 dengan judul “Atas Nama Cinta”. Tentunya saya sangat terlambat, kerena baru mengetahuinya 3 hari yang lalu (16/2/2015). Beruntung buku itu tersedia dalam bentuk website dengan alamat www.puisi-esai.com#sthash.MokLrJa6.dpuf, sehingga bisa diakses dengan mudah dan gratis. Tanpa lama-lama, saya langsung beralih membaca ke websitw tersebut.

Dalam website puisi esai, kita bisa membaca sendiri dari kelima judul yang ada, atau bisa juga dengan menonton video musikalisasi puisi-esai tersebut. Lewat media audio visual tersebut, puisi-esai itu terkesan lebih “hidup”. Selain karena dibawakan oleh tokoh kebudayaan ternama Indonesia seperti Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, Sujiwo Tedjo, Ine Febriyanti, Niniek L Karim, dan Fatin Hamamah, video tadi juga dilengkapi dengan ilustrasi kejadian nyata dari setiap peristiwa yang diangkat.

Saat itu, saya langsug membuka video pertama yang berjudul “Saputangan Fang Yin” dibacakan oleh Bapak Putu Wijaya. Baru beberapa detik menonton, saya langsung suka dan memutuskan untuk download semuanya.

Puisi-esai yang pertama itu mengisahkan Fang Yin (bukan nama sebenarnya), seorang gadis muda keturunan Tionghoa salah satu korban ganasnya diskriminasi tahun 1998 silam. Kisah ini tentunya sangat subjektif dari kacamata Fang Yin, namun saya yakin, satu kisah itu bisa memberi gamparan secara keseluruhan kejadian waktu itu.

Sangat jelas digambarkan bagaimana situasi huru-hara Mei 98. Gelombang demonstrasi besar muncul dimana-mana. Ban dikabar, mobil dibakar, rumah dan ruko dibakar, asap hitam membumbung tinggi. Teriakan “tangkap Cina, bakar Cina” menggema di mana-mana. Begitupula dengan kejadian pemerkosaan oleh sekelompok orang, secara bergilir meraka melahap tubuhnya. Akibatnya, dia mengalami depresi yang sangat dalam, terlebih lagi sang pacar meninggalkan dirinya karena tahu telah diperkosa. Karena tidak nyaman di Indonesia, mereka memilih pindah tinggal di Amerika. Di sana dia bergelut terus dengan batinnya selama proses rehabilitasi oleh psikolog. Tidak mudah dia mengiklaskan kejadian itu, beberapa kali mencoba bunuh diri.

Setelah saputangan kenangan dari pacarnya berhasil dibakar, saat itulah awal lenyapnya semua kenangan masa lalu. Dia bisa menerima kondisinya, memaafkan masa lalunya. Hebatnya, dia memaafkan “Indonesia” yang sangat kejam pada dirinya dulu. Dia lahir di Indonesia, itulah alasan betapa besar cintanya pada negera ini. Lalu, memutuskan untuk kembali, melupakan masa lalu, dan membangun mimpi yang baru.

Akan sangat bagus kalau dinonton secara lengkap. Saya sangat merekomendasikan bagi yang belum pernah tau tentang kejadian itu. Jujur saja, hampir sepanjang saya menyaksikan dengan penuh konsentrasi, bulu kuduk saya merinding berulang-ulang. Di situ kadang saya merasa sedih, tanpa terasa meneteskan air mata. Saya akhirnya paham mengapa para pejuang HAM terus menuntut pemerintah agar mengusut tuntas kasus tersebut.

Gerakan Indonesi Tanpa Diskriminasi

Kini, kondisi Indonesia sudah agak membaik. Etnis Tionghoa diakui sebagai bagian WNI, agama Konghucu diakui sebagai agama yang sah, dan perayaan Imlek menjadi libur nasional. Bahkan sekarang mereka menunjukkan eksistensi yang menonjol bagi RI, salah satu contohnya Gubernur DKI Jakarta, Pak Ahok.

Meski begitu, cerita atau kejadian mengenai diskriminasi di Indonesia belum benar-benar punah. Menurut hasil survei LSI, ditemukan fakta dan trend intoleransi di Indonesia masih menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Atas dasar itulah, lalu ditambah pula buku puisi-esai Atas Nama Cinta yang isinya tentang potret diskriminasi di Indoensia, Denny JA bersama tim meluncurkan gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi (ITD). Gerakan ini intinya menginginkan terciptanya Indonesia untuk semua: Indonesia tanpa diskriminasi.

Bagi saya secara pribadi, ide dan gerakan yang sudah dilakukan oleh Bapak Denny JA tadi sangat briliant dan tentunya harus didukung. Saya mungkin hanya bisa melakukan hal-hal sederhana saja.

Dalam mewujudkan Indoensia tanpa diskriminasi, saya sebaiknya menghormati setiap aktivitas keagamaan dan kebudayaan dari setiap WNI. Bentuk nyatanya sangat sederhana, tidak perlu saya menyebar kebencian dengan menyerbarkan tulisan, ajakan, ancaman, atau apapun bentuknya untuk melarang memberi ucapan kepada mereka yang tidak sekeyakinan. Jika saya merasa tidak sesuai dengan keyakinan pribadi, tidak akan mengikutinya, namun tidak juga mencela dengan mengatakan itu tidak benar, itu kafir, dll. Kegiatan keagamaan dan kebudayaan itu didasari keyakinan yang mendalam dari penganutnya. Tidak bisa kita mempengaruhinya untuk merubah, karena mereka akan nyaman dan tentram dengan caranya masing-masing.

Percaya atau tidak, menurut pemikiran saya yang sangat sederhana ini, kegiatan-kegiatan yang tidak toleran dengan kelompok lain akan menimbulkan rasa kebencian tumbuh subur. Itulah cikal bakar terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang bisa saja terjadi suatu saat nanti. Peristiwa ini semacam bom waktu, jika tidak diakhiri, akan meledak pada saatnya.

Maka dari itu, di hari yang indah ini, meski bukan orang Tionghoa, dengan senang hati saya mengucapkan: Selamat tahun baru Imlek. Gong Xi Fa Cai – Wan Se Ru Yi, Sen Thi Cien Khang. Semoga senantiasa diberi kesehatan, damai sejahtera dalam rumah tangga dan kesuksesan. Amin.

Misalkan Anda masih ada pikiran yang menganggap mengucapkan Tahun Baru Imlek itu dosa, kafir, sesat, dll sebagaimana juga ucapan Natal dan Valentine’s day, sebaiknya diam saja. Diam itu emas. Sangat berharga dan terhormat jika Anda diam dalam keyakinan sendiri. Tidak perlu menyebar kebencian di dunia yang damai dan indah ini. Salam damai...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun