Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerita Pemilih Pilihan

Catatan Pasca Pemilihan Umum 2019

8 Mei 2019   16:08 Diperbarui: 8 Mei 2019   16:29 163 1
Pemilu serentak 2019 telah berakhir. Hasil quick count lembaga-lembaga survei yang kredibel telah dipublikasikan di banyak media. Sedangkan KPU masih tetap bekerja menyelesaikan perhitungan suara manual secara berjenjang di masing-masing tingkatan. Namun pemilu 2019 menyisakan sebuah pekerjaan rumah yang membutuhkan waktu lama untuk menetralisirnya agar tidak menjadi bola salju yang semakin membesar. Pekerjaan rumah tersebut adalah meningkatnya sentimen anti-China di kalangan masyarakat Indonesia.

Isu-isu anti-China yang berkembang selama masa kampanye Pemilu 2019 adalah bagian dari politik identitas yang digunakan untuk kepentingan sesaat kaum elit agar dapat menjatuhkan lawan politik. Munculnya isu-isu tersebut disinyalir meningkatkan sentimen anti-China di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan sejak Pilpres 2014 dan Pilkada Jakarta 2017, isu-isu tentang China selalu menjadi primadona menjelang tahun politik.

Paul Joseph Goebbels yang dikenal sebagai bapak propaganda modern dalam konsepnya Argentum ad Nausem menyatakan bahwa "kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan. Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja."

Merujuk pada konsep propaganda tersebut, isu-isu anti-China pada dasarnya digunakan oleh sejumlah elit politik sebagai propaganda untuk menjatuhkan lawan dan meraih simpati pendukung. Akan tetapi karena disampaikan secara terus-menerus dan masif sehingga diyakini oleh masyarakat Indonesia sebagai sebuah kebenaran yang palsu.

Bukan Narasi Baru
Sentimen anti-China di kalangan masyarakat Indonesia bukanlah sebuah narasi baru. Jika menengok sejarah Indonesia, sentimen anti-China diduga awalnya muncul pada tahun 1965 dimana China sebagai salah satu negara komunis dianggap berperan dalam gerakan PKI yang menewaskan banyak Jenderal saat itu. Atas dasar tuduhan tersebut hubungan bilateral Indonesia dan China sempat dibekukan pada 1967 oleh Presiden Soeharto. Namun tampaknya karena tuduhan tersebut tidak terbukti dan kebutuhan Indonesia yang mendesak untuk mengekspor migas, Presiden Soeharto menormalisasi kembali hubungan bilateral antara kedua negara pada 1990.

Selain itu aliran ideologi komunis yang dianut oleh China dipahami oleh banyak masyarakat Indonesia sebagai atheis atau tidak percaya terhadap Tuhan. Komunis adalah ideologi ekonomi politik yang menjunjung tinggi konsep sama rata dan sama rasa dalam hal kesejahteraan.
Komunisme dikenal memiliki aliran ekonomi sosialis karena menolak kepemilikan barang pribadi dan beranggapan bahwa semua barang produksi harus menjadi milik bersama yang bertujuan memeratakan ekonomi untuk seluruh rakyat. Komunisme  tidak bisa lepas dengan sosialisme, sebagaimana liberalisme yang lekat dengan kapitalisme.

Pada awalnya komunisme tidak berasosiasi dengan atheis, karena komunisme adalah paham politik yang berprinsip komunal dengan asas sama rasa sama rata. Adapun munculnya hubungan komunisme dengan atheis adalah berawal dari doktrin Karl Mark yang menganggap agama adalah candu dan menolak belenggu dari ajaran gereja waktu itu. Karena relasi agama begitu kuat mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintahan pada masa itu. Tetapi pada dasarnya komunis belum tentu atheis, dan atheis belum tentu komunis.

Sedangkan di Indonesia, stigma atheis pada komunis merupakan hasil propaganda rezim orde baru untuk melenyapkan PKI dan pendukungnya untuk selama-lamanya. Agar mendapatkan dukungan dari kelompok agama, maka rezim orde baru mempropagandakan bahwa komunis adalah atheis, musuh agama, sehingga mereka harus diberantas dari bumi Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun