Mohon tunggu...
KOMENTAR
Film Pilihan

Melampaui Diri dengan Cinta Rasional: Menggugat Dominasi Saintisme dan Kekerasan atas Nama Agama dan Tuhan

30 Juli 2020   15:15 Diperbarui: 30 Juli 2020   15:21 53 2
Film "Transcendence" yang dibintangi oleh sederet artis top Hollywood seperti Johny Depp dan Morgan Freeman, 3 hari lalu di TV nasional swasta Indonesia, sesungguhnya punya alur cerita dengan topik yang kuat tentang Tuhan dan manusia dengan akal budi dan ilmu pengetahuannya, dan terlebih dengan kesadaran diri dan cinta altruis yang melampaui diri dan segala kecerdasan yang ada padanya.

Kisah dimulai dengan seorang saintis yang menemukan formula kecerdasan buatan yang bisa menyamai bahkan melampaui kecerdasan manusia.

Dalam suatu presentasi ilmiah di hadapan para saintis dunia, sang penemu diperankan oleh aktor Johny Depp, memaparkan temuan dan latar belakang serta tujuan utamanya untuk mewujudkan impian terbesar istrinya yang menjadi mitra kerja dan mitra hidupnya, yang juga hadir dan turut memberi kata pengantar dalam ajang bergengsi tersebut, selain sang asisten.

Impian supaya tiada lagi penyakit, tak ada lagi kelaparan, segenap manusia hidup bahagia dalam keteraturan alam yang bersih tanpa pencemaran industrial dan kegaduhan politik kekuasaan dan kebebasan yang kebablasan. Pokoknya hidup dalam situasi ideal dalam kesadaran penuh sebagai manusia yang suci batiniah dan sehat lahiriah.

Sang saintis mendapat pertanyaan dalam seminar yang dihadiri para pesohor dunia, dari peserta yang nampak tidak setuju dengan fakta dan konsekuensi sebuah kecerdasan buatan itu.

"Apakah anda hendak menciptakan Tuhan?"

Sang penanya mewakili dan tergabung dalam kelompok aktifis yang berjuang melawan dominasi ilmu dan pengetahuan yang justru dianggap berbahaya bagi kemanusiaan dan kelangsungan organisme dalam tata kosmos yang sudah ada.

Pertanyaan yang kiranya berangkat dari paham dan realitas kebanyakan diidealkan dan berusaha dihidupi kaum beragama ini dijawab dengan pertanyaan retoris berupa asumsi bahkan kesimpulan tentang siapakah manusia itu. Jawaban dari sang penemu mengagetkan sesungguhnya, tapi dimaklumi dengan senyum dan tawa kecil para hadirin yang sudah terlanjur percaya pada kehebatan dan janji masa depan lebih baik dari formula itu.

"Bukankah itu yang senantiasa dibuat oleh manusia? Berusaha menciptakan Tuhan bagi dirinya?"

Mungkin jawaban ini bisa mewakili analisa para filsuf yang digolongkan ateis seperti Nietzche, Marx, dan Freud terhadap realitas praktis dalam kehidupan manusia sendiri. Para filsuf ini mungkin tidak mempertanyakan (teori) Tuhan sendiri tapi mengamati apa sesungguhnya yang dipahami dan diyakini serta dihidupi masyarakat sendiri terkait Tuhan kitab suci dan teologi itu tidak selalu diwujudkan, bahkan kalau ada  usaha tapi inkonsisten yang membingungkan dan mengecewakan kalangan penganut agama sendiri.

Lanjut kisah film. Pada saat panik dan terancam kalah karena temuan dan fasilitas pengembangan kecerdasan buatan ini didukung formal oleh masyarakat ilmiah dan pemerintah, para aktivis ini berbuat nekat dengan berusaha melenyapkan sang penemu. Mereka berhasil membuatnya terluka dan terancam mati.

Mengapa para aktivis ini rela melakukan tindakan ekstrim?  Sang doktor menjawab sendiri, "Mereka takut pada teknologi tapi berani membunuh. Dan ini tidak masuk akal."

Sang asisten menimpali, "Tapi mereka memang takut pada apa yang tidak dipahaminya."

Tapi penilaian doktor dan asistennya itu perlu dipertanyakan lagi mengingat para aktifis ini punya alasan yang kuat juga. Mereka bukan takut dengan iptek, juga bukannya tidak paham. Memang mereka bisa jadi kebablasan menjadi destruktif dalam aksi yang bagi mereka sebuah dekonstruksi terhadap pemutlakan saintisme, tapi tujuan mereka jelas merekonstruksi atau berdaya upaya memulihkan alam yang sesungguhnya sedang hilang oleh dampak negatif dari produk iptek tersebut.

Semasa masih mahasiswa mereka awalnya sangat mengagumi konsep dan formula sang doktor penemu kecerdasan buatan itu.

Namun, segera sadar ada sesuatu yang salah dengan temuan itu saat menyaksikan langsung di laboratorium bagaimana monyet dijadikan obyek percobaan.

Manakala mereka bisa memperhatikan dan memahami bahasa simbol monyet percobaan itu: nampak menjadi lebih cerdas dan bahkan super cerdas untuk mengerjakan banyak hal, tanpa istirahat tanpa nampak letih. Padahal di balik kecerdasan dan kemampuan tanpa batas itu, mereka menangkap sebuah isyarat dari monyet yang minta dengan sangat untuk dimatikan saja, seolah monyet serba bisa itu mengalami kekosongan jiwa alias sangat tidak bahagia.

Tentu saja monyet itu tak bisa berbicara dan mengkomunikasikan isi hati dan pikirannya itu, akan tetapi kesadaran manusiawi itu tergetar dengan semua bentuk isyarat seperti perasaan cinta atau takut, senang atau marah, percaya atau curiga, rindu atau benci, gembira atau sedih, betah atau bosan, dst. Bagaimana manusia bila diperlakukan dan menempati posisi sama seperti yang dialami monyet dalam uji coba itu?

Akan tetapi justru tindakan ekstrim para aktifis pemberontak kemapanan masyarakat ilmiah ini memuluskan rencana sang doktor dan terutama sang istri dengan mimpi besarnya itu. Sebelum kesadaran doktor itu meninggalkan tubuhnya, karena tertembak dengan peluru berisi radiasi yang tak bisa dihentikan, maka sang isteri dibantu asistennya berhasil merekam semua kesadaran kognitif dan saraf motoriknya dalam sebuah file komputer cerdas yang sudah dibuat oleh sang doktor itu di fasilitas teknologi milik pemerintah.

Walaupun ada pertimbangan kritis sebelumnya antara si isteri dan si asisten. "Apakah kecerdasan buatan ini bisa menyadari dirinya?"

Pertanyaan itu sendiri pernah dijawab oleh sang doktor karena dia sendiri menyebut diri sebagai orang yang paling cerdas pertama, istrinya kedua cerdas, dan asistennya ketiga paling cerdas di dunia. Semasa hidupnya dia menjawab dengan pertanyaan retoris juga: "Apakah manusia sadar atas kesadaran dirinya sendiri?"

Sang asisten awalnya menolak dengan alasan bahwa manusia itu bukan monyet. Walau percobaan berhasil pd monyet tapi apakah bisa disamakan pd manusia yg punya kesadaran dan patokan nilai? Asisten mengusulkan supaya menunggu hasil uji coba nanoteknologi, tapi sang isteri tak sabaran lagi.

Sang doktor hanya bisa memberi sebuah jawaban berupa pertanyaan reflektif, mungkin juga ungkapan sinis terhadap manusia sendiri bahkan yang rupanya memang tak pernah tuntas berhasil dijawab oleh para saintis sendiri, paling tidak menurut versi penulis naskah dan sutradara film itu sendiri.

Singkat cerita, sang penemu itu berhasil masuk dalam dunia ciptaannya sendiri, dalam sebuah komputer super canggih yang bisa mengatur dan membuat formula dan pekerjaan apapun, termasuk mengeruk banyak keuntungan dari pasar saham dunia yang dia gunakan, melalui perusahaan isterinya, untuk membangun segala fasilitas guna meneruskan usahanya itu, yang sudah dibekukan pemerintah.

Alhasil sang komputer cerdas bisa menciptakan dan mengembangkan apa saja, dari menyembuhkan orang buta, lumpuh berjalan kembali, dan segala macam penyakit lainnya bahkan plus dengan kekuatan fisik yang super dibandingkan manusia sehat biasa. Membersihkan air danau dan sungai yg semula tercemar, menumbuhkan kembali hutan gundul yang rusak, membuat tanaman pangan yang menjamin kehidupan lestari para penghuninya, bahkan menghidupkan tubuhnya sendiri dan hadir seperti sediakala di hadapan isteri tercintanya.

Akan tetapi sang asisten mulai meragukan sang penemu dan mitra utamanya itu. Dia mulai memahami logika dan kebenaran dasar dari para aktifis tersebut. Malah dia menemukan bahwa organisme  yang sudah diintervensi dengan formula jitu sang doktor ternyata ada efek negatif yakni tak bisa dikendalikan, terus memurnikan dan sekaligus mengembangkan sel dan justru sampai pada titik mematikan segala jenis organisme hidup yang hendak dibersihsehatkan itu. Formula yang justru menjadi boomerang bagi alam yang hendak dia selamatkan itu.

Dan semua sudah terlambat bagi sang komputer cerdas, dia tak mampu menyadari efek negatif tersebut, bahkan ia tak mampu meyakinkan istrinya sendiri yang demi impian besarnya semua kecerdasan buatan ini dibuat.

Ya masalahnya berakar pada fakta bahwa komputer cerdas ini sendiri (diciptakan) tidak untuk menyadari dirinya sendiri, karena sudah sejak masa hidupnya doktor sendiri tidak mau peduli atau tak mau percaya dengan segala gejala "misteri" kesadarannya sendiri.  Kecerdasan buatan itu ternyata bukan manusia dengan segala potensialitas dan aktualitasnya, termasuk menyadari kesadarannya sendiri, walau mungkin tak pernah tuntas.

Tiada cara lain untuk mengingatkan sang kecerdasan buatan itu supaya "sadar" akan kesalahan dasarnya, selain diintervensi kembali dan didelete oleh manusia sendiri.

Dan ini hanya bisa diperankan oleh mitra utamanya, yakni isterinya sendiri yang mulai melihat pelbagai kejanggalan yang tak mampu disadari oleh suami cerdasnya itu.

Dibantu oleh sang asisten, sang isteri rela disuntik dengan virus yang bisa melumpuhkan hidup suami cerdasnya dan semua "ciptaan" yang terkait dengannya, suami yang sejak akhir hidupnya yang normal telah punya kepercayaan akan kemampuan tak terbatas manusia untuk melampaui sang Pencipta, dan tak percaya pada kesadaran manusiawi dengan nilai-nilai hidup universal.

Akhir cerita, sang doktor pun yang hidup kembali dengan kecerdasan buatan super hebat itu pada akhirnya berhasil diyakinkan oleh isterinya sendiri.

Walau merasa dikhianati tapi demi cintanya pada sang mitra hidup, si manusia cerdas buatan itu bisa melampaui kecerdasannya, men-transendensi diri sendiri dengan bersedia mematikan ego cerdasnya demi permintaan sang istri.

Dari manakah sikap mulia ini muncul? Tak lain dari sisa-sisa kesadaran yang secara nyata lestari dalam cinta sang doktor sendiri sebelum meninggalnya.

Dan sesungguhnya tindakan mencintai ini toh tergolong tindakan rasional, mengingat sang doktor membaktikan temuannya ini demi mewujudkan impian besar sang isteri. Bila sang isteri sudah tidak menghendaki, maka sangat masuk akal untuk menuruti dengan konsisten permintaan sang isteri. Bila tidak dituruti, maka usaha membuat kecerdasan buatan (dan semua upaya rasional lainnya) itu menjadi perbuatan tidak rasional, dan itu bertentangan dengan watak ilmuwan sejati. Sang penemu membuktikan dirinya tetap konsisten dengan bertindak sesuai dengan apa yang "diimani" secara rasional itu.

Bila saintis ateis seperti doktor penemu itu bisa melampaui dirinya karena cinta, tinggal pertanyaan sejauh mana cinta (rasional) manusia bisa melampaui segala keyakinan komunal maupun personal individu dan kaum beragama dan yang percaya serta mengabdi pada Tuhan, manakala misalnya sejarah lama sampai sekarang tindakan kekerasan dan pembunuhan atas nama agama bahkan Tuhan masih selalu terjadi?#

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun