Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Kabut Cinta Ratih 1: Dua Garis Merah

21 Oktober 2019   12:42 Diperbarui: 21 Oktober 2019   12:51 39 1
#Kabut_cinta_Ratih

Ratih menatap dua garis merah, yang tergambar jelas di sebuah benda pipih terbuat dari kertas dan ada batas urinnya. Tangan gemetar, kakinya serasa sudah tidak lagi menapak di bumi. Ini bukan kehamilan pertamanya, yang jadi masalah adalah ...  Ratih seorang janda beranak satu.

Ratih meraih ponselnya, sebuah nama dari kontaknya segera ia panggil. Tak berapa lama kemudian, tanpa menunggu suara terdengar dari seberang ....

"Mas ...  aku mau bicara penting, sekarang!!"

"...."

Suara di seberang tidak membantah, Ratih tahu pemilik suara di seberang sedang cuti. Jadi pasti segera menemui dirinya, Ratih segera menstarter motor sportnya, menyusuri jalan desa yang berbatu. Menuju ke tempat yang selalu mereka tuju, jika rindu.

Tak sampai tiga puluh menit, suara motor lain mendekati gubug tua tempat Ratih menunggu. Sosok yang ia kenal dan mengisi hari-harinya, selama enam bulan terakhir, menghampirinya.

"Ada apa, Sayang? Kok tumben, ngajak ketemu tiba-tiba. Untung Silvia gak di rumah, jadi bisa langsung ke sini."

Pria itu duduk di sebelah Ratih, meraih tangannya. Haris namanya, hidung bangir, kulitnya cokelat. Yang paling menggoda Ratih adalah senyumannya, yang selalu membuat tidur Ratih tak nyenyak.

"Aku ...  aku hamil, Mas?" Ratih nampak ragu.

Haris terdiam menatap manik mata Ratih, tak lama ia palingkan wajah ke arah lain.

"Mas ...." suara Ratih terdengar mendesak.

"Iya, Mas dengar. Em ...  bisa jadi alat itu salah, Sayang. Bagaimana kalau di test lagi ...."

"Mas, ini bukan kehamilan pertamaku. Jadi tidak usah meragukanku ...."

"Lalu?"

"Lalu? Jawaban apa itu, Mas?" Ratih frustasi, mendengar tanggapan Haris.

"Maumu Mas harus bagaimana? Menikahimu? Mau jadi istri kedua?"

Tangis Ratih pun pecah, ketika memulai mencintai Haris ia lupa jika Haris masih beristri. Ratih begitu menikmati rayuan-rayuan Haris, hingga ia menyerahkan kehormatannya sebagai janda, di tempat ini.

"Tenang dulu, Ratih! Biarkan Mas berpikir! Kalau kamu nangis, Mas jadi bingung ...."

"Bingung? Mana bukti rayuanmu dulu, Mas? Mana??" Ratih histeris, bahunya berguncang.

Haris memeluk dan menciumi wajahnya. Membisikkan kata-kata cinta di telinga Ratih. Tangis Ratih reda, ia membalas ciuman panas Haris. Dan mereka kembali menikmati rayuan dosa, di gubug yang jauh di tengah kebun.

"Mas akan cari jalan untuk kita berdua, Ratih harus tenang dan percaya ya! Mas mencintai Ratih, itu yang harus Ratih ingat!"

"Iya, Mas." Ratih membaringkan kepalanya, di dada bidang Haris. Semilir angin makin melenakan keduanya, berselimut lumpur dan kabut dosa. Meluapkan rindu yang terpendam beberapa hari, sejak Haris cuti.

****

Ratih dan Haris bekerja di sebuah Perusahaan yang sama, hanya beda divisi.

Sejak awal mengenal Ratih, Haris langsung jatuh cinta. Meskipun Ratih berhijab, namun tak menghalangi Haris merayunya.

Ya ....
Setiap orang juga punya dosa, termasuk Ratih dan Haris.

Setelah memberitahukan perihal kehamilannya pada Haris, kegelisahan Ratih menjadi. Bagaimana jika orangtuanya tahu? Bagaimana jika Haris tidak segera menikahinya? Bagaimana dengan istri sah Haris? Bagaimana tanggapan orang-orang kampung?

Air mata Ratih mengalir, Ratih terisak di dalam gelap kamarnya. Apalagi ketika menatap wajah putri kecilnya, sia-sia cita-cita yang selama ini ia bangun, yaitu membesarkan Raya dengan baik. Ratih membelai gadis cilik yang tengah terlelap, lalu meraba perut yang masih rata. Ratih menggigit bibir, menelan tangis agar Ibu dan Ayahnya tak mendengar suara tangisnya.

Ponsel Ratih berbunyi, sebuah pesan singkat dari Haris. Sudah beberapa hari mereka tak bertemu.

"Mas rindu, sayang."

Ratih mengusap air matanya, lalu jemarinya mengetik balasan pesan singkat dari Haris. Waktu menunjukkan pukul satu, tengah malam.

"Ratih juga rindu, apakah istrimu sedang tidur? Lalu kau baru ingat aku, Mas?"

"Jangan bicara begitu, jika Mas tidak cinta, bisa saja Mas menghilang tanpa jejak. Meninggalkanmu, dengan anak dalam rahimmu."

Ratih kembali menggigit bibir, ketakutan akan malu menjalar hingga tengkuknya merinding.

"Lalu bagaimana? Apakah Mas sudah dapat jalan keluarnya?"

"Mas akan menceraikan Silvia, tadi kami bertengkar hebat. Dia tidak mau di madu ...."

Ratih terdiam dengan mata terus menatap layar benda pipih di tangannya, aku juga tak mungkin sanggup melihatmu membagi cinta Mas! Meskipun dia adalah istri sahmu, ucap Ratih dalam hati.

"Besok Mas akan cari kontrakan dekat kantor, biar kita bisa merencanakan dengan baik kehidupan kita selanjutnya. Mas menyerahkan rumah pada Maya dan Indra, anak-anakku. Mas mencintaimu, Ratih."

Hati Ratih berbunga-bunga, ia berhasil membuat Haris memilih dirinya. Meskipun Ratih tahu, semua ini salah. Tapi ia harus menyelamatkan nama baik keluarga besarnya.

"Ya sudah, kamu istirahat ya! Besok pagi-pagi sekali, Mas tunggu di tempat biasa. Sebelum ke kantor, Mas ingin bertemu dulu denganmu. Mas rindu, ingat pagi-pagi ya! Bilang saja ada rapat, jadi harus berangkat pagi."

"Iya, Mas."

Ritual berbalas pesan pun berakhir, Ratih mengecup layar ponselnya. Ada wajah Haris mengenakan kaca mata hitam, menambah kesan gagah pada pria berusia tiga puluh lima tahunan itu.

Kabut masih turun ketika Ratih pamit pada Ibunya, dengan alasan ada rapat penting di divisi panen. Ratih bekerja di sebuah perkebunan sawit yang di kelola investor besar dari Negara Jiran. Bosnya berkewarganegaraan India, Ratih fasih berbahasa Inggris, karirnya bagus.

Ratih memacu motor di jalan berbatu, menyusuri kebun orang untuk sampai di gubug cintanya dengan Haris. Kebun itu milik keluarga Haris, jadi Haris tahu persis situasinya. Dari kejauhan nampak Haris sudah menunggunya sambil mengisap rokok, asap mengepul mengusir dingin. Ratih memeluk Haris erat, ia menumpahkan rindunya yang terlarang. Meneguk manisnya sampai tak tersisa ....

Bersambung

Lanjut?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun