Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Hari Ibu, Ibu yang Mana?

22 Desember 2021   18:54 Diperbarui: 22 Desember 2021   18:58 216 3
Hari Ibu, Ibu yang Mana ?

Oleh : Soetiyastoko

Beruntungnya anak yang dilahirkan di tanggal 22 Desember, dia bisa balapan saling mengucapkan selamat dengan ibu-nya.

Sering kali ibunya lebih dulu mencium seraya mengucapkan "selamat ulang tahun, bla bla bla ...."

Dia pun memeluk sang ibu, "Selamat hari ibu, terima kasih telah merawat dan membesarkan membesarkanku, dan seterusnya, ...."

Adegan seperti itu mungkin masih ada dan banyak.

Ucapan-ucapan yang ditulis dan dikirim lewat media sosial pun makin marak.

Sebetulnya, apa sih perlunya menetapkan "hari ibu" ?

Terbaca dalam sejarah, asal-usulnya.

Menurut Dosen Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada, Dr. Mutiah Amini, M. Hum, sejarah peringatan Hari Ibu bermula dari diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia III. Pada 22-27 Juli 1938 di Bandung.

"Hasil dari kongres tersebut ternyata memilih tanggal 22 Desember sebagai peringatan Hari Ibu. Hal ini lantaran bertepatan dengan Kongres Perempuan I pada 22 Desember 1928 silam," ujarnya mengutip Kompas.com.

Lanjutan kutipan di atas, ....

Bukan tanpa alasan, tentu ini dilatarbelakangi oleh kesamaan pandangan untuk mengubah nasib perempuan di Indonesia.

Ditetapkannya Hari Ibu, berarti kita sekaligus memperingati perjuangan perempuan sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia yang tercermin dalam Sumpah Pemuda 1928.

Jadi, peringatan hari ibu ini, tidak terbatas pada lingkup jasanya dalam keluarga. Tidak hanya tentang mengurus rumah tangga.

Namun, didobraknya pembatas-pembatas ruang gerak seorang ibu. Untuk berkontribusi lebih luas dan bermakna. Terhadap pertumbuhan bangsa. Terhadap kesatuan bangsa.

Selain menyiapkan generasi penerus yang handal dan siap berestafet menjaga NKRI.

KIta tahu, wanita-wanita hebat dalam sejarah perjuangan Indonesia. Baik di masa sebelum merdeka hingga di masa kini.

Ibu, telah hadir dan berkontribusi dalam berbagai profesi keahlian teknis dan fungsi. Termasuk dalam jabatan-jabatan politik.

Dari lurah, camat, walikota, bupati, gubernur hingga wakil rakyat, menteri, ketua partai dan presiden.

Tidak ada jabatan di negeri ini, yang belum pernah diisi seorang ibu. Sudah lengkap. Termasuk di militer dan kepolisian.

Demikian pula dilingkungan swasta. Tak terhitung para ibu yang memimpin perusahaan di berbagai level posisi, dengan prestasi yang sama baiknya dengan para bapak.

Lalu bagaimana dengan kebanyakan para ibu muda masa kini ?

Amat banyak yang berpendidikan tinggi. Mereka mengisi posisi-posisi penting di berbagai institusi dan perusahaan.

Lalu bagaimana peran utamanya sebagai ibu rumah tangga ? Apakah ditinggalkan begitu saja ?

Tentu saja, tidak. Mengurus rumah tangga telah terjadi pergeseran tanggung jawab. Tidak hanya tanggungjawab ibu.

Seorang bapak juga mengerjakan pekerjaan memasak, mencuci, mengasuh anak dan urusan keluarga lainnya. Mereka bergantian mengerjakannya bersama sang istri.

Anehkah ?
Jawabnya, tidak. Mereka, ibu dan bapak, pasangan suami istri itu juga bersama-sama bekerja, berjuang mencari uang. Demi mensejahterakan ekonomi keluarga.

Mengapa hal itu, mesti terjadi ? Padahal di masa tahun 60'an hingga 70'an. Kebutuhan keluarga, umumnya dicukupi hanya dari hasil kerja suami saja.

Saat itu, kondisi relatif memungkinkan, selain partisipasi para ibu dalam dunia kerja, tidak semasif masa kini.

Faktor yang lain, adanya pola kontrak kerja, telah membuat ketidak-pastian keberlanjutan pendapatan keluarga.

Termasuk, ketentuan upah minimum regional, UMR. Telah membuat "sempitnya" ruang gerak ekonomi keluarga.

Sulit untuk menterjemahkan anjuran makan 4 sehat 5 sempurna. Sudah bisa makan 3 kali sehari saja, amatlah bagus.

Jangan diajak bicara soal gizi. Soal hunian pun ikut menekan, kebanyakan keluarga-keluarga muda. Sewa kamar petakan pun terasa berat, untuk bisa ditanggulangi upah, sebatas UMR.

Kondisi di atas, salah satu hal yang turut mendorong seorang ibu bekerja. Bahkan harus melakukan perjalanan dinas. Berhari-hari di luar kota.

Seringkali juga karena kompetensinya dibutuhkan rakyat banyak. Bahkan dipanggil tugas negara. Seperti ibu menteri keuangan dan ibu menteri luar negeri.

Lalu bagaimana, menyikapi omelan ibu mertua, "Mestinya istri itu di rumah saja. Mengurus anak dan rumah tangga lebih utama. Tak perlu bersaing dengan suami mencari nafkah, ... !"

Seorang ibu muda yang diomeli itu, hanya bisa menggerutu dalam hatinya, "Kalau laki gue, anak loo itu, duitnya bisa mencukupi, ngapain gue capek-capek kerja di luar. Sementara itu, gue, juga masih nyuci beresin rumah dan masak ...."

Mari para ibu, ibu kandung, ibu mertua, ibu pejabat, ibu tiri, ibu angkat, ibu besan, ibu tante dan semua ibu apapun, ... Ayo saling menghargai dan saling memaklumi kondisi masing-masing, selaku ibu.

Selamat Hari Ibu, salam hormat untuk para bapak, yang telah mendukung karier para ibu. ***


Bumi Serpong Damai, Rabu 22 Desember 2021

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun