Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Parut

29 November 2020   00:33 Diperbarui: 29 November 2020   15:16 87 2
       Windy menyibakkan poni di dahinya. Ia menghembuskan nafas panjang. Segurat bekas luka di keningnya nampak di cermin. Guratan yang merenggut sebagian kepercayaan dirinya.
                                                                                                                                               ***
         Bergegas Windy menapaki teras cafe menghindari gerimis, mengedarkan pandangan mencari-cari Tanti. Sosok itu ternyata sedang menekuni HP di hadapannya.
        "Kak Tanti," sapa Windy.
        "Ternyata kamu datang tepat waktu. Pas datang, pas gerimis," ujar perempuan setengah baya itu.
Windy menggeser kursi dan menyandarkan tubuhnya, "Tidak telat, kan?" tanyanya.
        "Tidak, nyantai saja. Lagian kita kan tidak diburu waktu. Mau pesan minum dulu?" tanyanya. Windy mengangguk. Tidak berapa lama minuman terhidang di meja.
       "Nah, sekarang kamu mau ngobrol apa sama Kak Tanti?" Pandangan Tanti tertuju pada Windy. Gadis itu mengaduk-aduk minuman. Bimbang. Ia mencari kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya pada pembimbing Bina Iman Remaja itu.
       "Hmm.. ini tentang.. tentang...ini, Kak," ungkap Windy sambil menyibakkan poninya.
Pandangan Tanti beralih pada kening Windy. Ia pun mengangguk perlahan. Tidak ada kata yang terucap. Windy menarik nafas panjang sebelum bercerita panjang lebar. Wajah gadis muda itu tidak bisa menyembunyikan kegundahannya.
       "Andaikata keisengan itu tidak terjadi, parut ini tidak akan saya bawa seumur hidup. Di wajah lagi," ujar Windy dengan suara bergetar.
       "Tiap kali saya merasa orang memandang bekas luka ini dengan mata bertanya-tanya. Tiap kali itu pula peristiwa itu selalu terbayang,"
       Tanti menganggukkan kepalanya perlahan. Ia bisa memahami perasaan gadis di hadapannya dan memaklumi kalau Windy lebih memilih memanjangkan poninya.
       "Sekarang saya harus bagaimana, Kak? Apalagi di sekolah saya sekarang wajib memakai jepit rambut bagi yang berponi. Saya tidak bisa lagi menyembunyikannya," keluh Windy.
       Tanti mereguk minumannya sebelum menjawab, "Windy," ujarnya perlahan, "Terima kasih sudah bercerita. Kakak turut prihatin," lanjutnya, "Tidak mudah menerima situasi terluka dan bukan kita penyebabnya. Dan itu persis yang juga Kakak alami."
        Windy mengangkat wajah. Matanya menatap teman bicara dengan sorot bertanya.
        Paham atas kebingungan Windy, Tanti menggeser kursi, mengeluarkan kaki dari bawah meja dan melepas sepatu yang dipakainya. Dan Windy pun terkesiap. Jari-jari kaki Tanti tidak utuh. Dua jari tidak ada.
        "Sama seperti yang kamu alami. Ini juga tentu saja bukan karena ulah Kakak. Seseorang menabrak Kakak," Kak Tanti menjelaskan. Ia mengenakan lagi sepatunya.
        "Orang bertanya, apakah Kakak menerima kondisi ini dan memaafkan penabrak itu? Jujur Kakak katakan perlu proses yang tidak mudah dan waktu tidak sedikit untuk menerimanya. Sampai pada satu titik, Kakak berhasil melepaskan kemarahan dan kesedihan Kakak dan Kakak merasa bebas. Alhasil Ketika kakak mesti tidak bersepatu dan menampakkan jari-jari kaki yang tidak lengkap, kalaupun ada yang bertanya, ya... kakak bawa ke candaan, digondol maling." Seulas senyum tipis mengembang di bibir Kak Tanti.
        "Situasi kita ada kemiripan sekalipun  Kak Tanti bisa memahami situasi yang lebih membebanimu. Bekas luka itu di kening. Hanya, Kakak kok yakin, entah kapan, kamu akan sampai pada titik kebebasan tersebut ketika kamu belajar menerima situasi ini dengan lapang dada."
        Tatapan Tanti menyapu wajah Windy. Ia membiarkan keheningan membantu Windy mencerna kata-katanya.
        "Terlepas ketika ada orang yang berkomentar atau dengan sorot matanya bertanya-tanya," lanjutnya, "Kamu bisa memberikan reaksi yang lebih positif dan menguatkan. Seperti Kakak contohnya, alih-alih berkubang dalam kesedihan, Kakak malah bercanda. Kamu juga bisa lakukan hal yang sama, bahwa anggaplah kamu itu Harry Potter, bekas luka itu karena Voldemort. Kadang candaan membuat sesuatu hal menjadi ringan."
        Windy mengangguk pelan. Benaknya mencoba mencerna nasihat Kak Windy. Tatapan gadis itu tertuju pada sedotan di gelas yang sedang dimainkannya ketika telinganya mendengar panggilan.
        "Sore Bu Tanti."
        Windy mengalihkan pandangan dan sontak raut wajahnya berubah. Tangan kirinya refleks menyeka kening dan membiarkan poni menutupinya. Pegangannya pada gelas mengencang. Pun anak muda yang menyapa Kak Tanti tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
        "Wi... Windy?" tanyanya tergagap.
        Windy tidak menjawab. Pandangan penuh tanya beralih pada Tanti yang nampak heran.
        "Arlan? Lho, kamu kenal Windy?" tanyanya seraya mengalihkan pandangan antara Windy dan Arlan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun