Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Bersahabat dengan Hujan Semasa Kecil

2 Agustus 2021   15:04 Diperbarui: 2 Agustus 2021   15:30 192 1
Hujan memainkan peran terbaik dalam hidupku. Tentu, ada musim yang tersisihkan baginya untuk menghias jagat raya ini. Dimana ada hari tanpa panas terik, tanpa awan, tanpa mentari, hujan melukis hari-hari itu. Bahkan tak jarang desar-desirnya sering membuat orang mengecam dan mencaci maki, karena bagi mereka dia hanyalah pembawa sial.

Namun bagiku, berbeda cerita dan derita dengan mereka, engkau sahabat karibku. Saat Hujan ingin mampir dalam duniaku, hatiku seraya bibirku berucap "munculah wahai engkau pelangi, agar senduku berujung. Tatkala kulihat indahnya warna-warnamu". Inilah sisi lain dari hujan yang terbaik dimiliki olehmu saat mempertontonkan drama alam yang sangat indah.

Aku tak suka basa-basi, menurut hematku sampai sejauh ini dia masih tetap yang terbaik. Mungkin juga karena aku tahu, kedua orang tuaku mengajariku untuk bersahabat entah dengan siapapun itu dia. Aku memiliki sahabat terbaik sepanjang hidupku, dikala pilu dan bahagia, betapa senangnya menangis bersama hujan membanjiri hidupku.

Terkadang kebanyakan orang memilih berteduh, sementara daku ? Seorang diri yang merintas dibawa rintikan hujan yang tak kunjung berhenti. Aku tahu teman-temanku tidak menyukai ku. Mungkin karena aku kebasahan, namun ibu mengajariku untuk mengabaikan setiap badai petir yang seakan menerjang, kau tetap bersabar dalam dekapan hujan. Aku membangun kepercayaan dalam diri, untuk mengatasi kebencian ini.

Mereka sering menertawakan kebodohanku bersama hujan. Sesering mengerjai kita, mulai menyuruhku menoyor kepala, menendang bokongku, mereka menyembunyikan buku dan tasku. Aku tak boleh menangis. Laki-laki tidak boleh cengeng. Begitu kata orang tuaku sembari memelukku. Sudahlah nanti saja menangisnya bersama hujan. Menangislah sendirian di kamarmu itu jauh lebih berharga daripada jual air mata depan orang.

Aku tidak boleh menangis. Karena aku pernah pulang sekolah kebasahan, dan atap rumahku hancur, aku sedang berdiri di pojok rumah. Sebuah balok yang lapuk jatuh, nampaknya mengenai kepalaku. Untuk pertama kalinya aku merasakan darah, testaku bocor, darah mengalir ke arah mulut. Aku menjilatnya bersama tetesan hujan yang turun dari atas atap yang bocor itu. Aku merasakan sesuatu yang lezat disana. Semenjak itu, aku bersahabat dengan hujan.

Barangkali sebagian kisah hidupku terlihat fiktif tetapi separuh pengalaman yang kumiliki bersama deru hujan, cukup membentuk hidupku. Semangat yang tidak pernah pudar disaat itu takkan pernah kulupakan. Karena disaat-saat itulah, aku merasakan apa itu sakit, apa itu persahabatan, dan kutemui jawaban dalam seluruh perjalanan hidupku.

Pada usia sepulu tahun di perbukian Pinia bersama rekanku, kami mengambil seikat ilalang untuk menutupi bagian atas sani, kami diguyur hujan deras, aku berdiri memakai payung, sedangkan rekanku mencabut ilalang dalam keadaan derasnya hujan itu.

Hatiku tersendu ketika melihat suasan itu, lalu aku mengancang bagaimana caranya aku harus bercakap dengannya agar berhenti. Untuk sementara kami tak ingin lagi bermain bersamamu "Dalam Nama Tuhan Hujan Berhentilah", kata itu yang terucap di bibirku, seketika ia lenyap dengan meninggalkan pelaboyo "bila hadir kesempatanku aku akan datang".

Di saat hujan kami pasti terlihat mengerikan, kami sering menjadi monster kesialan semasa kecil. Pecek yang berbau harum menguasai seluruh tubuh kami, pakaian bersih yang diberikan ibu mendadak kotor dan sobek sekejap dalam  pertempuran para jagoan mungil. Ibu selalu memarahiku "tubuhmu ini silet apa kulit ?" Tuturnya. Ada saat dimana kami menari dan bermain bersama hujan. Jika tak ingin bermain aku memlih menetap dirumah untuk acara nonton, mungkin juga bila sakit sekonyong-konyong menghampiriku.

Sering kami bersenda-gurau seperti itu, karena memang hujan menjadi sejawatku, terkadang ia lebih banyak berbicara dan membisingkan, tak jarang ia tuli dalam menyambut kata-kataku, bahkan ia peka dan mendengar omonganku. Dia sering menjengkelkan, tetapi juga membahagiakan.

Intinya rejeki itu, ibarat hujan yang turun dari langit. Begitu nyata dan jelas, manusia hanya perlu menjemputnya. Rejeki setiap orang itu berbeda, berbeda pada wadah yang disiapkan menampung airnya. Ada juga yang menyediakan wadah kecil, adapula wadah yang besar. Sesuai dengan ukuran dan takaran yang disiapkan masing-masing orang.

Setiap manusia itu mempunyai pemikiran dan pendapat dalam mendefinisikan maupun mengibaratkan hujan dengan pengalaman hidup dan kenyataannya masing-masing dalam menjalani dan menikmatinya. Bahkan tak jarang, jika ada yang berniat mengabadikan, tetapi juga ada ingin mengabaikan momen-momen termasyur itu.

Nikmatilah masa kecilmu dengan kenangan-kenangan yang ada. Karena menjadi dewasa ternyata tidak seindah yang dibayangkan dimasa kecil. Saat kecil  bahagia ketika hujan, sebab air mata yang jatuh di daratan lambat laun akan terbawa arus air hujan kemudian menepi ke sungai. Alhasil semuanya bermuara di luat dan akan menjadi permata.

Tentu saja, kita akan melihat pelangi sehabis hujan, walau hadirnya hanya sesaat. Hidup ini memang brengsek, tetapi dipaksakan untuk menikmatinya. Namun mesti bersyukur, karena hidup itu seni dan banyak warna-warni yang membuat harmoni. Semoga setiap percikan air hujan penuh rahmat dan keberkahan.

Penulis : Seno R. Pusop Jr.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun