Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Wayang.LayarTancap.Transformer#3

19 Februari 2011   18:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27 257 0

Di pelataran radio RRI itu biasanya kami menggelar tikar, tiga baris dari depan. Sesekali kami memanggil tukang ronde sekedar untuk menghangatkan tenggorokan, tidak lupa pula kacang rebus, kopi, sarung, dan obat nyamuk.

Alunan ritmis langgam gamelan, disertai suara sinden yang merdu mendayu, dihujani cahaya bintang, dan kopi adalah komposisi sempurna untuk kata trance. Sesekali tawa menyapa saat lakon punakawan atau perasaan tegang dan takzim kala episode goro-goro mencapai klimaksnya. Dalang memang pandai melempar-lempar wayang.

Hampir setiap malam minggu kami melewatinya di kampung dulu.

Setiap 17 Agustus selalu ramai dengan perayaan dan berbagai perlombaan. Namun puncaknya adalah pentas seni dan layar tancap. Biasanya dua film diputar sekaligus, diselingi jeda setiap 30 menit untuk mengganti roll atau sekedar memutar iklan rokok. Yang pertama diputar adalah film Indonesia dan yang kedua film asing (atau yang ada orang bulenya). Salah satu film yang masih diingat adalah ketika pak.sipapak.preman.preman alias mas Ikang Fawzi harus berbagi peran antagonis karena sang pahlawan akan dan selalu bang Haji Rhoma Irama...sungguh terlalu!

Inilah perkenalan pertama kami dengan media visual yang lengkap. Pada saat itu entah kenapa wayang tidak semenarik dahulu.

Berbelas tahun kemudian, di tanah rantau ini. Tempat semua warga Indonesia mengadu nasib untuk lebih baik. Kami dimanjakan oleh pilihan tempat yang menjajakan layar tancap dalam versi modern. Tidak ada istilah misbar (gerimis bubar), tikar sudah berganti tempat duduk sofa, kacang rebus berganti pop corn, dan sungguh telinga sangat bersahabat dengan suara dolby stereo.

Biasanya di awal tahun kami download film-film favorit yang akan tayang. Untuk tahun 2011 ini tentu saja Transformer#3, Thor, dan Kaptain Amerika adalah daftar utama kami- harus kami akui masa kecil kami kurang bahagia, karena waktu kecil dulu hanya mampu melihat tetangga punya mainan tokoh tersebut – Bukannya tidak cinta produk dalam negeri atau bisa disebut pula film produksi franchise bollywood. Peran hantu atau embel-embel disertai adegan asli belum mampu menggerakkan saya merogoh kocek. Jikalau ada film nasional yang saya tonton, selalu ada Lukman Sardi disana, entah kenapa saya merasa dejavu...sungguh terlalu!

Sejak tahun kelinci logam ini, Dirjen Bea Cukai telah mendapat ilham sehingga mampu menafsir ulang UU bea masuk yang lama. Tafsir baru oleh dirjen bea cukai ini layak diapresiasi karena belum pernah ada praktek seperti ini di belahan dunia manapun. Tafsir baru UU yang dimaksud ini adalah bea masuk hak distribusi atas film asing yang beredar di Indonesia. Penafsiran baru ini diharapkan akan menambah pendapatan kas negara - selain dari 23,75% (bea masuk+ppn+pph) 15% pajak penghasilan dan pajak tontonan sekitar 10-15% yang masuk ke kantong daerah sebagai PAD.

Namun, alih-alih mendapatkan pemasukan baru, sejak 17 Februari lalu MPAA sebagai distributor film Hollywood mencabut hak edarnya di Indonesia. Maka otomatis pajak yang tersebut di atas juga hilang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun