Aku mengenangkan lagi setiap kisah. Babak demi babak yang mampu dicatat ingatan dalam kepala. Masih jelas terbayang, Yash. Tak ada satu bagian pun yang ku lupakan.
Yash, adakah yang lebih jujur dari celana berwarna putih? Yang kau kenakan setiap Jumat dan Sabtu, dua dekade yang lalu. Ketika segala debu terbentuk menjadi noda berwarna abu-abu, karena kau tak mampu membeli selembar celana baru.
Tiga tahun, Yash. Tiga tahun celana itu setia menempel di paha mu, dua hari dalam seminggu. Hingga sore setelah pesta pelepasan itu, kau menanggalkannya di sisi dipan kamarku, saat rumah kosong.
Kemudian dinding-dinding berwarna gading, dan sepasang cicak yang menempel di atas langit-langit menjadi saksi. Kala teriakan Bapak menggema di ambang pintu, melihat kau gagah duduk di atas telanjang tubuhku.
"Biadab, kau! Anak babu tak tahu malu!" teriak Bapak seraya mengacungkan tongkat pemukul anjing.
Tergesa kau melompati jendela, menuju jalanan dan meninggalkan celana putih di lantai. Â sementara ibu menutupi tubuh telanjangku dengan sprei diiringi sumpah serapah dari mulut bapak.
Setelah masa itu aku tak lagi pernah menjumpaimu. Hanya secarik kertas yang kau titipkan pada ibumu, saat beliau diusir dari rumah bapakku.
[ Aku akan menikahimu suatu saat nanti, Rie.]
Tapi janni tetaplah menjadi janji. Kau tak pernah datang lagi. Jangankan tubuhmu, kabarmu pun tak pernah sampai di telingaku.
 Dan kali ini aku datang kembali ke sini, Yash. Menagih janji, untuk putrimu yang harus menikah dua hari lagi.