Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Sahabatku? (Bab 4)

16 Agustus 2019   13:57 Diperbarui: 16 Agustus 2019   14:02 11 0
"Wa, tidak pulang?" tanyaku yang baru masuk ke kelas usai dari toilet. Saat itu sudah waktu pulang.

"Lama sekali kamu!" keluhnya.

"Ya maaf!" aku melihat raut wajahnya yang cemas bercampur suatu ekspresi yang ia sembunyikan.

"Kenapa sih?"

"Bisa pergi?"

"Bisa tapi kamu mau sendiri disini?" Dewa menggeleng.

"Ya sudah tunggu di depan kelas saja!" Dewa terdiam.

"Aku pu..." telepon genggamku berbunyi. Lho, dari orangtua Dewa. Ya, sudah seminggu aku bersekolah dan aku mendapat nomor telepon orangtua Dewa dari keputusan wali kelas yang mewajibkan memiliki nomor telepon orangtua siswa dan siswa itu sendiri. Aku mengangkatnya.

Aku melongo setelah mengakhiri panggilan.

"Itu mulut jangan huruf O terus!"

"Kamu buang air kecil di celana?" pantas Dewa tidak mau pergi dari kelas. Biasanya ia langsung pulang sendiri.

"Aku tidak mungkin pulang dengan celana basah begini!"

"Biar saja, mungkin ada yang berbaik hati meminjam atau menyumbangkan celana!" Dewa merengut.

"Hahaha aku hanya becanda!"

"Terus bagaimana Alula!"

"Ya pulanglah daripada kelas bau!"

"Bawa deh satu tempat tisunya. Syukurlah belum dibuka!"

"Untuk?"

"Untuk mengeringkan celanamu!"

"Caranya?"

"Tempelkan tisu ke area basah karena air seni!" Dewa mengikuti petunjukku.

"Aku keluar ya!"

Satu jam kemudian...

Dewa terperangah melihatku masih duduk di depan kelas sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Daripada diam saja di depan kelas.

"Padahal kamu yang tanya aku pulang atau tidak!" ucapnya sambil menyerahkan satu tempat tisu padaku.

"Untukmu saja Dewa!"

"Makasih!"

"Syukur bawa parfum!" dumal Dewa namun masih bisa ku dengar. Aku hanya diam.

"Terus?"

"Kenapa kamu disini?" lanjutnya sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Tunggu kamu!"

"Ada satpam di gerbang!"

"Ya tidak mungkin aku meninggalkanmu sendiri!"

"Kata orangtuamu, nanti beliau datang 10 menit la..."

"Di luar dugaan!" aku melihat ibu dari Dewa yang datang mengendarai sepeda motor. Dewa langsung berlari meninggalkanku. Maklum, namanya juga darurat, harus segera diganti.

"Dewa, akhir-akhir ini, kamu main dengan perempuan terus?"

"Kenapa?"

"Padahal kamu pria."

"Biarkan. Aku ingin berteman dengan siapa saja!"

---

"Hei Wa!" ucapku sambil menepuk bahunya agar bangun dari tidur. Ia tidur saat pelajaran terakhir selesai.

"Awas buang air kecil di celana lagi!" Dewa terbangun dan mengusap kelopak mata.

"Aku tadi dipanggil suruh menyerahkan ini padamu!" Dewa menerima surat berlipat tersebut.

"Aku pamit, assalamu'alaikum!"

"Tunggu Lu, baca bareng saja!"

"Itu rahasiamu dan guru!"

"Tak ada rahasia, ikut baca ya!" aku duduk kembali.

Mataku terbelalak melihat 'Cerdas Cermat Matematika' dan terpampang namaku disana.

"Ada nama Aron juga!" katanya.

"Baik, ayo kita belajar!" kami baru kelas 1 SD namun ada lomba cerdas cermat? Matematika pula.

Dewa jago tidur tapi guru masih bisa melihat kepintarannya. Memang ku akui ia pandai Matematika apalagi selama pelajaran dan selesai mengerjakan tugas, kami iseng membuat soal dan menjawab. Sedangkan Aron cenderung pendiam dan lebih senang membaca buku cetak Matematika yang diberikan oleh sekolah.

"Oh, ini soal kalian?" tanya Aron pada kami. Kami mengangguk.

"Kalian benar-benar dimanfaatkan waktunya!"

"Kamu juga!"

"Kita kerja masing-masing, nanti kita saling kasih tahu kesalahan, dan nanti ganti soal untuk memulai latihan cerdas cermat!" ucapku yang langsung disetujui oleh dua pria itu.

Kami latihan baru seminggu namun guru sudah mengagumi kecerdasan dan kecepatan kami dalam menjawab dan bekerja sama.

---

"Selamat ya Al juara 1 lomba Cerdas Cermat!" ucap Fada, teman kelasku yang duduk di belakang kiri pojok. Aku mengangguk tersenyum.

Sejak Cerdas Cermat itu, Fada selalu menemaniku kemana pun dan kami menjadi teman dekat. Ia suka permainan yang ku suka, sayangnya, Dewa dan Aron memperingati lewat komunikasi jarak jauh bahwa berhati-hati dengan sosok Fada.

"Fada kenapa?" tanyaku saat pulang bersama Dewa. Rumah Fada berbeda arah denganku, jadi aku pulang dengan Dewa.

"Aduh... dia hanya ingin berteman dengan orang cerdas!"

"Terus?"

"Kalau kamu tidak mahir di salah satu pelajaran saja, Fada tiba-tiba menjauh darimu."

"Fitnah ah!"

"Serius!"

"Kamu punya bukti?"

"Tapi dari gerak-gerik seperti itu!"

"Tuh, kamu fitnah!"

"Tahu ah!"

"Dewa!"

"Apa!" jawab Dewa kasar.

"Pelajaran IPS aku tidak mengerti, ajarkan!"

"Aku belum paham!"

"Kamu pintar!"

"Lebih pintar Alula!"

"Ah, dia juga belum paham. Lebih cerdas kamu!"

"Menyebalkan, aku benar-benar tak paham!" kesalku sambil memasukkan bola basket ke ring basket dan hasilnya masuk.

"Ke kantin yuk!" ajakku pada Fada namun ia menggeleng.

"Sendiri saja, manja sekali!"

Aku langsung menuju ke kantin meninggalkan Fada yang mencoba memasukkan bola basket ke ring.

Tahun ke tahun berlalu, aku menjelma menjadi wanita dengan wajah sedikit berbeda. Keimutanku agak berkurang. Dewa semakin tinggi namun sejajar denganku. Aku masih karib dengannya.

"Hus!" ucap Dewa sambil mengibaskan tangan di depan wajahku.

"Dikira kucing!" Dewa tertawa.

"Merengut terus, gantian ya sekarang kamu yang tidak mau pulang!" aku diam.

"Hm...." Dewa mencoba menerawang. Sayangnya ia malah keluar.

30 detik kemudian, wali kelas datang tergopoh-gopoh dan menyuruh Dewa keluar dari kelas.

"Alula!"

"Yuhu!" seperti suara Dewa. Ketukkan pintu semakin keras.

"Hm..."

"Astaghfirullah lemah sekali!" kaget Dewa sambil menarik lengan bajuku keluar kamar dan duduk di samping luar kamar.

"Kok tahu rumahku?"

"Aku mengikutimu!"

"Pulang sana, seragam masih melekat pula."

"Aku khawatir!"

"Ya khawatir jangan sampai begini juga,"

"Pasti belum izin ke orangtua?" Dewa mengangguk.

"Dewa, Dewa!" aku menggelengkan kepala.

"Kamu kenapa sih? Ekspresinya lebih kusut dariku."

"Aku haid Wa, hehehe!"

"What!" Dewa terkejut dan aku mengangguk.

"Apa itu haid?" aku menepuk kening.

"Hm... masa pubertas wanita setelah masa subur usai. Itu faktor dari dalam tubuh wanita!" Dewa mengangguk.

"Aku belum itu!"

"Ini buat perempuan lho!"

"Terus?"

"Ya kamu akan mengalami masa pubertas laki-laki. Ini berbeda." Dewa mengangguk.

"Ini bubur buat kamu!" aku menerima bubur tersebut. Padahal aku tidak sakit.

"Sudah jangan merengut, nanti tambah lemah!" aku mengangguk.

"Oh ya, dapat salam dari Aron, katanya cepat sehat!" aku kembali mengangguk.

Sejak lomba Cerdas Cermat Matematika, kami menjadi teman akrab. Aku senang bisa mendapat karib seperti mereka. Mereka pria yang cocok untuk dijadikan sahabat walau ku tahu belum sepeduli di cerita persahabatan pada umumnya.

Dewa mengajakku duduk di sofa, takutnya kedinginan, apalagi aku sedang haid.

"Sudah makan?" Dewa mengangguk.

"Hm... aku menunggumu sampai pukul 5 sore ya!" sampai sore sekali dari jam pulang sekolah. Kalian tahu bukan jam sekolah murid kelas 4 SD? Betul, pukul 12.00.

"Sekaligus mau kerjakan tugas!"

"Enak sekali, aku saja harus banyak istirahat dulu. Ini baru pertama kali."

"Karena baru pertama kali, wajahmu sampai datar begitu!" sambungnya sambil mulai menulis tugas Bahasa Indonesia. Aku menyandarkan tubuhku di sofa untuk menyantaikan perasaan. AC di ruang tamu sangat mendukung keadaan.

---

"Eh, puisinya bagus Al!" ucapku saat melihat puisi. Alula juga penyuka puisi dan aku harus membacakan untuknya.

"Judulnya seribu tahun!"

"Seribu tahun ku berserah
Pada dunia yang mulai tua
Pada dunia yang..."

Bruk!

Ku temukan Alula tertidur dan terjatuh ke sebelah kiri. Syukurlah posisi duduk di sebelah kanan.

"Tante!" panggilku saat ibu dari Alula melewati kami.

"Alula tertidur Tante!" beliau langsung menggendong Alula ke kamar dan menutup pintu.

"Dewa tidak pulang?" tanya beliau dan aku menggeleng.

"Baru pukul 3 sore, Insha Allah aku pulang 2 jam lagi!"

"Benar-benar sesuai janjimu?"

"Iya, memastikan sahabatku baik-baik saja!" dep! aku berdegup dengan kalimatku sendiri. Ibu itu tersenyum.

Padahal kami adalah pria dan wanita yang kalian tahu sulit untuk bersahabat karena perbedaan pendapat. Mana bisa menjaga tali itu?

Aku spontan sekali.

Aku menunggunya di depan samping kamarnya. Aku menyalakan lagu kesukaannya, semakin ku dengar, lagu ini bagus dan cocok untuk menenangkan hati. Aku semakin tenang mengerjakan tugas yang tak terasa sudah 3 buah yang selesai.

Dua jam kemudian...

---

"Alula!"

"Hei Kawan, buka pintunya!"

"Wa, pulang!"

"Tenang, aku baik-baik saja!"

"Nanti ku telepon!" dep! masih memperhatikanku saja.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun