Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ayahanda: Guru dan Sahabat Terbaikku

11 Agustus 2010   05:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:08 391 0
Salah seorang sahabat bertanya kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW: "Ya Rasul, siapakah yang harus kuhormati dan kucintai setelah Allah SWT dan engkau ya rasul?" Rasul menjawab: "Ibumu" "Setelah ibunda, siapa lagi ya rasul?" "Ibumu" jawab Rasulullah lagi. "Lalu siapa lagi?" tanya sahabat penasaran. "Ibumu" rasul masih memberikan jawaban yang sama. "Siapa yang keempat ya rasul?" sahabat itu masih belum puas. "Ayahmu" ujar rasul. Dan rasa penasaran sahabat pun terjawab sudah. Hingga bertahun-tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, rasanya percakapan antara rasul dengan salah seorang sahabat ini terus merasuk ke dalam kalbu setiap insan yang mengaku beriman Islam. Dan seperti perkataan Rasulullah bahwa sosok ibu menempati derajat tertinggi dari figur yang harus dicintai dan dihormati setelah Tuhan semesta alam Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW. Karena berkat beliau lah kita dapat hadir dan merasakan udara segar di muka bumi hingga detik ini. Beliau yang menyusui, mengasuh, menasehati tanpa kenal lelah sekaligus menjadi penjaga bagi diri kita agar tidak jatuh ke dalam kubangan dosa. Ya, saya mengakui itu 100 persen. Lantas mengapa rasul menempatkan posisi Ayah sebagai figur keempat? Saya yakin banyak diantara Anda yang bertanya-tanya. Jelas sebuah pemikiran yang salah apabila kita beranggapan ayah bukanlah sosok yang kurang penting dibandingkan ibu. Logika sederhananya, tanpa ayah kita tidak akan bisa lahir. Karena satu-satunya wanita istimewa pilihan Allah yang dapat memiliki seorang anak tanpa perantara seorang pria hanyalah Siti Maryam, ibunda Nabi Isa AS. Tidak ada wanita lain yang diberi mukjizat seperti itu, termasuk ibu kita sendiri. Dan ayah....bagi saya memiliki posisi sentral sebagai penyeimbang perahu keluarga sekaligus penopang bagi tumbuh kembang saya semenjak lahir hingga saya duduk di bangku kuliah dan hampir menjadi sarjana. Ayah lah yang memberi saya dasar-dasar berperilaku sebagai Muslim dan sebagai laki-laki. Dia pula yang senantiasa menguatkan mental saya untuk bisa tahan dalam menghadapi cobaan apapun. Dan dia sosok lelaki sempurna di mata saya yang patut menjadi suri tauladan berperilaku. Dialah guru sekaligus sahabat terbaikku. Yang mengajari saya main badminton, komputer, otomotif, dan memahami bagaimana musik bisa berkembang menjadi sebuah seni yang sangat bernilai di mata dunia. Dan yang paling berkesan di hati saya adalah beliau bukan tipikal seorang ayah yang diktator dengan pemaksaan kehendak yang memasung jiwa, namun saya diberikan kebebasan seutuhnya walaupun tetap harus melalui titian yang telah ditetapkan olehnya. Maka berbicara tentang masa depan dan cita-cita dengan ayah, tak ubahnya berdiskusi dengan seorang sufi yang memiliki cakrawala berpikir yang luas dan bijaksana. Walaupun terkadang saya sadar, saya sering bersebrangan kehendak dengan beliau, tetapi jiwa saya mengatakan saya harus memberikan yang terbaik dengan pembuktian akan pilihan hidup saya. Ayah memang tidak gampang memberikan pujian kepada saya, bahkan saya merasa dia tidak begitu perduli, namun 22 tahun hidup sebagai anaknya, akhirnya saya tahu bahwa ayah bersikap demikian karena dia tidak ingin saya menjadi pribadi yang jumawa dan mudah berpuas diri. Dia ingin saya terus belajar tanpa henti. Sebuah didikan yang sangat efektif dan saya rasa tidak banyak sosok ayah yang seperti ini, meskipun tetap sifatnya yang emosional menjadi penghambat bagi kami untuk saling mendalami pikiran masing-masing, namun saya sungguh mencintainya. Ayah, kita memang kini terpisah jauh.... Namun, ke dalam haribaan mu lah aku kelak berlabuh Walau kini aku telah merantau dan telah membuang sauh Tetap ke hatimulah diriku bersimpuh..... I love you dad.....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun