Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Man Jadda wa Jadda, Satu Bukti Bahwa Tidak Ada yang Tidak Mungkin

14 April 2012   15:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:36 820 0

Man Jadda wa Jadda

Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.

Sebuah pepatah bahasa Arab yang tentunya sudah sering kita dengar khan? Di tahun 2012, pepatah tersebut menjadi identik dengan sebuah film berjudul Negeri 5 Menara. Alhamdulillah,akhirnya setelah Laskar Pelangi, dunia perfilman Indonesia kembali memunculkan sebuah film yang sarat dengan pesan moral. Sebuah film yang tidak hanya sebagai tontonan atau hib

uran, tetapi ada hikmah yang bisa kita petih dari menonton film ini. Negeri 5 Menara menceritakan tentang tekad dan keinginan yang kuat untuk meraih cita-cita walaupun mungkin cita-cita tersebut sangat sulit untuk diwujudkan. Diangkat dari nov

el berjudul sama karya A Fuadi, Negeri 5 Menara menceritakan tentang Sohibul Menara, sekumpulan anak-anak dengan cita-cita masing-masing untuk menuju 5 “Menara” tujuan hidup mereka. Sepintas sangat mirip dengan Laskar Pelangi, sama-sama menceritakan tentang persahabatan yang erat dibalik semua perbedaaan yang ada dan menceritakan tentang perjuangan anak-anak dari keluarag dengan ekonomi yang bisa dibilang kurang mampu untuk menggapai cita-cita mereka

Cerita Negeri 5 Menara dimulai dengan seorang karakter anak laki-laki yang bernama Alif (Gazza Zubizareta). Ia mempunyai seorang teman bernama Randai (Sakurta Ginting). Keduanya memiliki tekad untuk dapat melanjutkan sekolah di Bukittinggi dalam rangka mewujudkan mimpi mereka untuk dapat kuliah di Institut Teknologi Bandung. Mmmm, sama dengan kisah saya, dulu juga pengen masuk ITB. Sayangnya ga lulus tes… T_T. Namun mimpi tersebut harus kandas karena orang tua Alif (David Chalik dan Lulu Tobing) menginginkan agar Alif bisa masuk pesantren di Ponorogo, Jawa Timur. Alhasil, Alif terpaksa mengikuti keinginan orang tuanya dan melupakan mimpinya.

Di pesantren yang bernama Madani, Alif harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Mulanya, Alif tidak betah engan suasana pesantren tersebut, namun semua berubah ketika ia bertemu dengan sahabat-sahabat baru yaitu Baso (Billy Sandy) yang berasal dari Gowa, Atang (Rizki Ramdani) yang berasal dari Bandung, Raja (Jiofani Lubis) yang berasal dari Medan, Said (Ernest Samudera) yang berasal dari Surabaya serta Dulmadjid (Aris Putra) yang berasal dari Madura. Mereka kemudian menamakan diri sebagai Sohibul Menara, dimana setiap orang bertekad untuk mewujudkan tujuannya masing-masing yang disimbolkan sebagai menara mereka. Seperti Alif yang ingin kuliah di ITB.

Satu hal yang saya apresiasi dari film ini adalah detilnya yang sangat baik. Setting Sumatra Barat jaman plus dengan suasana khas penduduknya pada masa itu. Perjalanan di Bus menuju Jakarta, sampai suasana di Pesantren Madani. Cukup bisa menginterpretasikan apa yang tertulis di novelnya.

Tentu bukan hal yang untuk mengadopsi sebuah novel untuk dijadikan film. Merupakan sebuah tantangan sendiri bagi sutradara ketika harus mem-visualisasi-kan sebuah karya sastra. Selain itu keterbatasan durasi juga menjadi satu hal yang harus dicermati, sehingga tak jarang ada beberapa bagian dari novel yang harus dihilangkan pada filmnya. Tak jarang pula cerita di film berbeda dengan novelnya. Salah satu bagian yang menurut saya cukup sayang bila tidak ditampilkan adalah saat raja dan Baso membuat kamus Inggris-Indonesia-Arab. Padahal bagian itu adalah salah satu scene yang saya tunggu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun