Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Siapakah Uleebalang?

24 November 2013   12:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:45 2615 0

DAHULU, saat Aceh masih di era Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1903), diketahui ada tiga kekuatan sosial politik yang saling mendukung satu sama lain untuk memperkokoh pondasi tatanan Pemerintahan di Kerajaan yang pernah menjadi adikuasa di Asia Tenggara pada masanya. (Fachry Ali: 1989)-(Kell, 1995: 46)

Ketiga kekuatan itu, yakni

1.Sultan;

2.Ulama; dan

3.Uleebalang.

Dalam menjalankan tugasnya, semua pihak di atas tidak serta merta bertindak sewenang-wenang terhadap kekuasaan yang mereka miliki. Komunikasi dan saling mengawasi antar ketiganya menjadikan jalannya roda Pemerintahan berjalan secara harmonis, efektif dan efisien.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, hubungan ketiga pihak menjadi retak dan pada akhirnya memang hancur sama sekali. Ini tidak terlepas dari kehadiran kolonial Belanda, yang menjadi seteru utama bagi Aceh saat perang masih berkecamuk. Kedatangan Belanda membuat salah satu pihak dari tiga kekuatan, membelot kepada penjajah. Siapakah mereka? Tidak lain adalah raja-raja kecil alias Uleebalang. Walau pun tidak semuanya memilih berpaling kepada Belanda, tapi mayoritas dari mereka memang memilih menjalin kerja sama dengan penjajah, yang justru sangat merugikan bagi Aceh.

Keberpihakan Uleebalang kepada kolonial Belanda dikuatkan melalui penandatanganan surat pernyataan menyerah dan tunduk pada penjajah, yang disebut Korte Verklaring.Perjanjian ini berisi antara lain tentang:

1.Pengakuan kedaulatan kolonial Belanda atas Kerajaan Aceh Darussalam oleh Uleebalang;

2.Pengakuan terhadap bendera Belanda sebagai satu-satunya bendera yang sah dan boleh berkibar; dan

3.Pengakuan tidak akan pernah memberikan bantuan kepada pasukan Aceh yang sedang bertempur dengan Belanda.

Pada tahun 1898, isi perjanjian Korte Verklaring diperbarui dengan penambahan klausul bahwa musuh Belanda adalah juga musuh Uleebalang (Nazarudin Sjamsudin, 1987: 17)

Mulai saat itu, Uleebalang menjadi musuh Sultan dan Ulama Aceh. (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 85)

”Keistimewaan” Uleebalang yang menindas rakyat Aceh hasil perkongsiannya dengan kolonial Belanda, berakhir ketika meletusnya Revolusi Sosial atau juga disebut Revolusi Desember. Dimana, rakyat dan Ulama saling bahu membahu melakukan aksi revolusi menumbangkan kekuasaan baron feodal ala Uleebalang. Kebebasan ini akhirnya berhasil diraih saat Republik Indonesia baru saja merdeka dari jajahan kolonial Belanda.

ASALMULA ULEEBALANG

Identik dengan gelar Teuku (bagi lelaki) dan Cut (bagi perempuan),Uleebalang adalah raja kecil yang memimpin suatu daerah sebagai kepanjangan tangan Sultan Aceh. Mereka diangkat menjadi pemimpin melalui persetujuan Sultan Aceh, Ulama (Mufti) Kerajaan serta Ulama lokal tempat seorang Uleebalang akan memimpin, dengan penguatan sebuah surat Sarakata yang telah dibubuhi Cap Sikureueng. (Zakaria Ahmad, 1991: 89)

Di masa lalu, pada waktu Kerajaan Aceh berdiri, sudah ada beberapa Kerajaan di Wilayah Aceh, seperti Perlak, Pasai, Samudra, Jeumpa, Pidie, Teunom, Daya, Trumon, dsb. Sebagian dari Kerajaan-kerajaan ini dapat ditaklukkan dan diintegrasikan dengan Kerajaan Aceh Darussalam semasa Sultan Ali Mughayat Shah (1496-1528). Selain Kerajaan-kerajaan yang namanya terkenal dalam sejarah ini, terdapat pula daerah-daerah bebas lainnya yang diperintah oleh raja-raja kecil yang dalam bahasa Inggris disebut ”Chieftains”.Daerah-daerah bebas seperti ini makin hari makin bertambah. Pada saat Sultan Iskandar Muda memimpin Kerajaan Aceh Darussalam (1607-1636), semua daerah ini dapat diintegrasikan dengan Kerajaan Aceh. Daerah-daerah ini dinamakan Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah yang menjadi inti Kerajaan Aceh Darussalam, yang wilayahnya sekarang dikenal sebagai Kabupaten Aceh Besar. Tiap daerah diperintah oleh seorang Uleebalang. Tidak ada lagi yang memakai nama ”raja” sebagai gelarnya. Pada tahun 1675, di daerah ini diadakan perubahan. Kerajaan Aceh Darussalam dibagi ke dalam tiga federasi atau masyarakat Aceh lebih mengenalnya dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe. Bentuk federasi ini dinamakan sebagai Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 84)

Di wilayah yang kadang-kadang di huni oleh penduduk yang jumlahnya hanya sekitar 500 orang, tapi kadang-kadang hingga 50.000 orang, Uleebalang secara turun temurun (keturunan) memegang kekuasaan atas nama ”Sultan dan dengan surat pengangkatan dari Sultan yang terkenal dengan Sarakata yang dibubuhi dengan Cap Sikureueng (Cap Sembilan), yaitu cap yang resmi dari Sultan Aceh.”

Dalam bukunya The Achenese,Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Uleebalang di dalam teori berperan sebagai kepanjangan kekuasaan atau pejabat dari Sultan Aceh, akan tetapi dalam prakteknya, mereka dapat bertindak sesuka hati melebihi kewenangan yang telah diberikan oleh Sultan Aceh. Tidak heran, bila di kemudian hari rakyat Aceh di perlakukan secara semena-mena oleh Uleebalang.

Di wilayah Aceh yang luasnya sekitar 55.392 kilometer persegi, terdapat lebih dari seratus Nanggroe, yang pada masa Hindia Belanda disebut Land Schoppen dan Uleebalang-uleebalang-nyadisebut Zelfbestuurders, kecuali di wilayah Aceh Besar, di sini disebut Sagi (Sagoe) dan Uleebalang yang memerintah disebut Sagi Hoofd. Uleebalang-uleebalang ini merupakan ”raja-raja kecil” di daerahnya, padahal di wilayah itu, kadang-kadang tidak lebih dari 1 kilometer persegi dan penduduknya tidak lebih dari 500 jiwa, seperti Land Schoop Ilat (Iloet) dan Krueng Seumideun di Pidie, serta Land Schoop Blouek di Aceh Utara. (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 85)

PERAN ULEEBALANG

Sebagai penguasa daerah atau raja kecil, Uleebalang tidak hanya berperan sebagai penguasa dalam hal administrasi Eksekutif semata, tetapi juga menguasai hampir semua lini kehidupan rakyat Aceh, yang Sultan sekali pun hampir tidak pernah menyentuhnya. Lini yang dimaksud antara lain: perdagangan, pengadilan, pertanian dan perkebunan. Sebut saja pengadilan. Snouck menuliskan dalam bukunya The Achehnesebahwa Uleebalang menjadikan pengadilan sebagai tempat untuk memeras rakyat dan memperkaya diri. (Siegel: 32)

Snouck menyatakannya sebagai berikut: ”Administrasi pengadilan yang buruk merupakan sumber pendapatan bagi para Uleebalang. Mereka secara seenaknya campur tangan dalam perkara-perkara intern Mukim yang sebenarnya bukan menjadi hak mereka. Perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan di kampung dibawa ke pengadilan Uleebalang dan diperiksa dengan bantuan seorang Kadhi yang menjadi ’alat’-nya. Satu-satunya orang yang memperoleh keuntungan dari perkara-perkara yang diputuskan itu adalah Uleebalang sendiri. Mereka dapat memaksa seseorang membayar denda atau merampas harta kekayaannya, bahkan menghukumnya dengan siksaan. Semuanya adalah untuk keuntungan Uleebalang semata-mata.” (Paul van ‘t Veer, 1977: 129)

Selanjutnya, Snouck menuliskan, ”mengenai pembagian harta warisan, hanya manakala jumlahnya kecil sekali, barulah boleh diselesaikan oleh ahli waris dikalangan mereka sendiri. Dalam segala hal yang lain, Uleebalang turut ikut campur tangan. Alasannya adalah sebagai berikut:

1.Menyangkut kepentingan waris yang belum dewasa;

2.Ada waris yang tidak puas, jika pembagian dilakukan dikalangan ahli waris; dan

3.Jumlah harta warisan yang terlalu ’besar,’ sehingga tidak dimungkinkan kalau pembagian dilakukan oleh ahli waris sendiri. Sebab, mereka adalah orang-orang awan yang ’bodoh.’

’Sebab sebenarnya’ adalah jika pembagian diselesaikan oleh Uleebalang, dia akan mendapatkan kesempatan untuk memotong 10% dari jumlah harta warisan untuk dirinya sendiri sebagai ’hak peurae’ (hak perail).

Alasan bahwa ahli waris adalah ’orang bodoh’ sungguh tidak dapat diterima. Sebab, sebagian dari Uleebalang sendiri juga ’buta huruf,’ walau pun tidak buta huruf, mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang pembagian waris. Yang menyelesaikannya itu semua adalah Kadhi, yang juga merupakan alat sepenuhnya dari Uleebalang.

Bahkan, zakat pun ikut diselewengkan oleh Uleebalang untuk menambah pundi-pundi pendapatannya sebagaimana disebutkan oleh Antony Reid dalam bukunya The Blood of the People.

Dari hasil penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh Uleebalang terhadap rakyat Aceh, banyak Uleebalang yang menjadi tuan-tuan tanah (landlords) yang kaya raya. Suatu aspek buruk dari kekayaan melimpah yang dinikmati oleh Uleebalang, dikalangan mereka timbul perbuatan-perbuatan yang tidak pantas menurut budaya masyarakat Aceh, seperti berjudi.

Melihat penindasan dan kebejatan yang dilakukan oleh Uleebalang, maka Ulama pun bangkit untuk mengatasinya. Gerakan dakwah pun dimulai.

Paul van ‘t Peer dalam bukunya De Atjeh Oorlog mengatakan sebagai berikut: ”…tidaklah mengherankan sama sekali bahwa golongan Ulama menjadi semakin disukai rakyat. Mereka itu memberantas penyalahgunaan kekuasaan para Uleebalang yang menguasai hidup, mati, perkawinan dan pengadilan rakyat mereka.” (Paul van ‘t Peer, 1977: 231)

KEKUASAAN ULEEBALANG TUMBANG

Kaum feodal Uleebalang diberi nama kaum NICA (Hasan Shaleh, 1992: 36)

Henkangnya kolonial Belanda dan Jepang dari bumi Aceh pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, menjadikan para Uleebalang semakin khawatir. Sebagaimana yang dituliskan oleh Antony Reid, Uleebalang tidak lagi memiliki pengaruh yang besar dikalangan rakyat Aceh. Kepercayaan masyarakat terhadap kalangan feodal Uleebalang kian merosot tajam. Ditambah lagi, Ulama yang mulai berperan dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial, yang cara penanganannya lebih disukai oleh rakyat Aceh dibandingkan dengan cara yang dilakukan oleh Uleebalang.

”Ulama menjadi tempat bertanya penduduk kampung untuk mendapatkan tuntunan dan petunjuk selama periode baru yang luar biasa ini (Kemerdekaan RI). Akibat langsung dari peristiwa ini adalah penyegaran dan pendemokrasian masyarakat Aceh, segala sesuatu yang pernah menjadi duri bagi rakyat Aceh semasa pemerintahan Uleebalang di kampung-kampung, dihapuskan. Pertanian, perkebunan dan peternakan diusahakan sendiri oleh rakyat.” (Antony Reid, 1987: 346-347)

Uleebalang yang merasa tersingkir, mulai menebarkan teror di masyarakat. Ini terjadi pasca rapat pada tanggal 22 Oktober 1945, yang diadakan di rumah Uleebalang Keumangan (Beureunuen) yang terkenal paling bejat di wilayah Pidie, yaitu Teuku Keumangan Umar. Ada dua hasil keputusan dari rapat tersebut. Antara lain:

1.Membentuk suatu organisasi yang tugasnya mempertahankan kedudukan Uleebalang, yang dinamakan Markas Besar Uleebalang; dan

2.Membentuk suatu barisan yang dilengkapi persenjataan mutakhir, yang dinamakan Barisan Penjaga Keamanan (BPK).

Barisan BPK dibentuk dari bekas anggota militer KNIL Belanda dan dilatih untuk mempergunakan senjata oleh Jepang. BPK dipimpin oleh Teuku Mahmud, yang dibagi menjadi tiga kesatuan, yaitu Barisan Cap Bintang, Barisan Cap Saoh, dan Barisan Cap Tombak. (Depdikbud, 1983: 90)

Dalam bukunya, The Blood of The People, Antony Reid menyebutkan bahwa, ”adapun kekuatan dari BPK ini adalah 100 pucuk senjata konvensional, termasuk meriam dan mortir. Kesempurnaan persenjataan BPK ini adalah sebagai akibat dari mengalirnya bantuan keuangan dari pihak lain, sebagian besar adalah dari Uleebalang di seluruh Aceh, disamping sebagian senjata yang diperoleh dari pihak Jepang. (Antony Reid, 1989: 196)

Organisasi teror bentukan Uleebalang ini, mulai beraksi pada 25 Oktober 1945.

Pada tanggal 10 Desember 1945, para Uleebalang mengadakan rapat di Lueng Putu (Pidie Jaya), di rumah Teuku Laksamana Umar, Uleebalang Njong.

Hasil rapat di tempat kediaman Teuku Laksamana Umar, memutuskan bahwa tonggak kepemimpinan akan diberikan kepada Zelfbestuurder van Cumbok, Teuku Muhammad Daud Cumbok atau dikenal sebagai Daud Cumbok. Di Aceh, orang juga menyebutnya sebagai Uleebalang Cumbok. Ia memakai gelar, Teuku Seri Muda Pahlawan Bintara Cumbok. Dipilihnya Teuku Daud Cumbok untuk menjalankan keputusan Uleebalang di Lueng Putu itu, memang sudah sangat tepat. Sebab, dia adalah seorang Uleebalang yang berwatak keras. (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 121)

Perang dan teror Uleebalang terhadap rakyat Aceh makin tak terkendali. Banyak penduduk yang dibantai secara sadis dan membabi buta, penculikan gadis-gadis untuk dijadikan hiburan bagi pasukan BPK semakin merajalela, pembakaran terhadap rumah penduduk, tidak ketinggalan sekolah hingga madrasah pun ikut dilenyapkan, perampasan harta benda milik masyarakat sipil, serta pencurian hewan ternak untuk bahan konsumsi pasukan BPK Uleebalang.

Semua penderitaan rakyat Aceh tersebut, baru berakhir setelah penangkapan Teuku Daud Cumbok beserta stafnya, pada tanggal 16 Januari 1946 di kaki gunung Seulawah Agam. Saat itu, Teuku Daud Cumbok hendak melarikan diri ke Sabang yang masih diduduki oleh kolonial Belanda. (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 131)

Dengan adanya Revolusi Sosial di Aceh, berarti berakhirnya sistem pemerintahan feodal yang telah lama menindas rakyat, yang menjadi tulang punggung Pemerintahan kolonial Belanda di tanah Aceh. Kini, setelah sistem feodal berakhir, didirikanlah sistem demokrasi yang dilakukan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, yang sekarang dinikmati oleh seluruh masyarakat Aceh, dari berbagai golongan dan lapisan. (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 132)

Demikianlah berakhirnya kekuasaan feodal Uleebalang di Aceh. Banyak pelajaran yang bisa didapatkan dari sejarah Aceh ini. Dimana, faktor kekalahan Kerajaan Aceh Darussalam ketika menghadapi kolonial Belanda, tidak hanya disebabkan oleh taktik brilian militer Negeri van Oranje dan juga kecerdasan Snouck Hurgronje dalam membaca kebiasaan rakyat Aceh, melainkan juga akibat pengkhianatan internal yang dilakukan oleh Uleebalang.

Semoga bermanfaat.

Ruslan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun