Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Adakah Benang Merah Antara Seks Pranikah, Perselingkuhan dan Perceraian?

4 Oktober 2012   14:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:15 980 7

Sinar mentari menyapa pagi.

HANGAT terasa di dalam rumah kayu saat sinar matahari masuk menerobos jendela.

Hangat pula terasa di hati Dee. Kuti sudah pulang dari luar kota. Dan seketika suasana hati Dee menjadi cerah.

Kuti pulang larut malam kemarin. Pagi ini dia duduk dengan segelas coklat hangat yang disiapkan sang istri. Untuk dirinya sendiri, Dee menyeduh secangkir teh mint.

Mereka bercakap- cakap tentang berbagai hal. Tentang apa yang ditemui Kuti dalam perjalanannya. Tentang anak- anak. Tentang kucing tetangga yang hilang. Tentang bagaimana Pradipta dua hari yang lalu terlupa memberi tahu Dee bahwa ada bahan untuk prakarya di sekolah yang perlu dibawanya esok hari, membuat Dee terpaksa keluar rumah malam- malam, pergi ke toko untuk membeli bahan prakarya itu.

Kejadian tersebut membuat Dee teringat sesuatu.

“ Eh ‘yang, “ kata Dee, “ Waktu aku pulang dari toko malam itu, aku lewat jalan sebelah situ, “ – Dee lalu menunjuk ke arah sebelah kiri rumah mereka – “ Dan aku temukan bahwa di belokan dimana suasana agak sepi dan cahaya temaram ada anak remaja sedang pacaran duduk- duduk di atas motor disana. “

Hmmm.

Kuti mendengarkan cerita istrinya.

“ Aku koq selalu merasa prihatin ya ‘yang, jika melihat hal- hal semacam itu. “

“ Semacam apa? “ jawab Kuti dengan jahil.

“ Ya semacam ituuuu… “ kata Dee, “ Masa’ kamu nggak tahu sih, kenapa mereka memilih tempat itu? “

Kuti tertawa. Dia sebenarnya masih ingin menggoda Dee dengan memberikan jawaban iseng lagi. Tapi dia tak tega. Dia tahu bahwa bagi Dee, ini masalah serius.

Dee berpandangan konservatif. Dan dalam banyak situasi, Dee selalu siap sedia untuk ‘berkampanye’ tentang bagaimana hubungan yang sehat bagi para remaja.

Dee tidak anti pacaran. Dia tak akan mengatakan bahwa para remaja dilarang berpacaran. Sebab Dee memahami bahwa pada usia semacam itu, ketertarikan pada lawan jenis memang mulai tumbuh. Jadi bahwa mereka mulai saling tertarik dan berusaha mendekat satu sama lain adalah wajar adanya.

Hanya saja, tentu ada batasannya. Dan Dee menarik batasan sangat tegas dan konservatif tentang hal itu.

Boleh saja mereka naksir- naksiran, atau jatuh cinta satu sama lain. Bisa saja mereka saling melirik.

Dapat dipahami jika sang remaja putri tiba- tiba sangat memperhatikan apakah semua helai rambut jatuh di tempatnya, atau sang remaja pria menjadi sering berdiri di depan kaca memperhatikan penampilannya saat akan bertemu sang pujaan hati.

Tapi, berdua- duaan di tempat gelap dan sepi sudah terlalu jauh bagi Dee. Apalagi jika menyengaja datang ke tempat- tempat semacam itu. Sebab ujung tujuannya sudah bisa diduga.

“ Aku ngeri sekali dengan gaya pacaran yang mengijinkan mereka saling meraba dan kontak secara fisik itu, ‘yang, “ komentar Dee. Urusan- urusan hati masih dapat diterimanya, tapi kontak fisik sudah terlalu jauh untuk ukuran Dee.

“ Sebab, “ kata Dee, “ Jika sudah sekali dimulai dan lalu dilakukan terus menerus, maka hal itu akan menjadi makin jauh dan makin jauh lagi. Dan itu akan menyebabkan mereka justru tersesat, mempertukarkan cinta dengan seks…”

Kuti menghirup coklat hangat di depannya.

Dia paham apa yang dikatakan sang istri.

“ Berapa sering sudah kita mendengar anak- anak remaja meminta ‘pembuktian cinta’ pada pacarnya dalam bentuk hubungan fisik yang sebenarnya belum boleh mereka lakukan. Dan padahal, hubungan seks semacam ini sama sekali bukan hal yang sederhana. Konsekwensinya bukan tak ada…”

Kuti menghirup kembali coklatnya. Dia ingat suatu hari dulu Dee juga pernah bicara tentang seks pranikah.

Dee menceritakan pada Kuti ketika itu tentang sebuah hasil survey tentang seks pranikah, yang ternyata bisa memiliki dampak jangka panjang.

Mereka yang aktif secara seksual sebelum menikah memiliki peluang lebih tinggi untuk bercerai setelah menikah, begitu menurut informasi yang dibaca Dee.

Ada sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 2.746 perempuan dalam Survei Nasional Pertumbuhan Keluarga yang dilakukan oleh Dr. Kahn dari University of Maryland dan Dr. London dari Pusat Statistik Kesehatan Nasional di USA. Hasil penelitian menemukan bahwa pernikahan yang terjadi pada seseorang yang aktif secara seksual sebelum menikah meningkatkan peluang terjadinya perceraian sebesar 60%.

“ Itu karena mereka menyempitkan arti cinta, menyempitkan makna pernikahan, menurut aku, “ komentar Dee saat itu. “ Ketika mereka merasa menemukan kenikmatan dalam hubungan seksual dengan pasangan (yang dilakukannya sebelum menikah), mereka menyempitkan rasa cinta menjadi hanya kenikmatan seksual belaka. Membatasi arti pernikahan pada semata urusan ranjang. Padahal kita tahu, bukan begitu yang sebenarnya… “

Kuti meraih setangkup roti berisi selai kacang. Dikunyahnya roti tersebut perlahan, sambil terus memikirkan apa yang dikatakan Dee ketika itu. Lebih lanjut, Dee menyampaikan bahwa ternyata para pasangan yang pernah melakukan seks pranikah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan extra marital sex -- hubungan seksual di luar pernikahan -- kelak.

“ Dan tampaknya bahwa sebetulnya ada benang merah antara perilaku seks pra nikah dengan extra marital sex itu belum banyak disadari. Sebab, “ Dee yang memang senang membaca dan mengamati hasil penelitian, berkata lagi pada Kuti, “ Aku menemukan hasil survey lain yang menunjukkan bahwa di negara Barat sana, banyak orang menganggap sex pranikah sebagai sesuatu yang dapat diterima secara moral, tetapi extra marital sex – dengan kata lain, perselingkuhan yang melibatkan hubungan seks – tak dapat diterima. “

Dee saat itu menceritakan pada Kuti hasil survey tersebut menunjukkan bahwa sekitar 58% responden mengatakan menganggap seks pranikah dapat diterima, tetapi hanya 7% yang dapat menerima terjadinya extra marital sex. 93% responden yang sama menganggap extra marital sex sebagai sesuatu yang salah.

Artinya, ada banyak responden yang menyetujui seks pranikah ternyata tak dapat menerima perselingkuhan yang melibatkan hubungan seks setelah pernikahan.

Kuti masih mengunyah rotinya. Dia teringat komentar tajam Dee saat itu, “Nah, ada inkonsistensi disini kan?“ kata Dee, “ Andai saja mereka tahu bahwa ada benang merah antara seks pra nikah dengan perselingkuhan yang dilakukan setelah pernikahan, akankah mereka tetap mengatakan bahwa tak ada yang salah dengan melakukan seks pranikah ? “

Kuti menggigit lagi rotinya.

Ah, andai saja mereka tahu…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun