Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Artikel Utama

Dukung PGN Sosialisasikan Konversi BBM ke BBG

6 Januari 2014   19:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 289 5

Banyak yang mengatakan bahwa Jakarta merupakan salah satu kota paling berpolusi di dunia. Indikatornya jelas, di ibu kota Indonesia itu terdapat jutaan kendaraan yang berseliweran setiap harinya. Terutama saat pagi hari waktu berangkat kerja atau sore harinya ketika pulang.

Tak heran bila pada pagi atau sore hari, kota seluas 740 km persegi ini membuat sesak nafas warganya sendiri. Maklum, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) terutama yang bersubsidi mencapai sembilan juta liter per hari. Jika dijabarkan, setiap satu liter bensin yang digunakan pengendara, akan melepaskan gas karbon dioksida seberat tiga kilogram ke udara.

Itu baru satu liter saja. Nah, bagaimana bila secara bersamaan terdapat jutaan pengendara? Pasti, tidak bisa dibayangkan berapa juta kilogram gas karbon dioksida yang “mewarnai” Jakarta setiap harinya.

Sekadar catatan, gas karbon dioksida jika terlalu sering dihirup manusia akan menyebabkan berbagai penyakit. Mulai dari asma, bronkitis, hingga radang paru-paru. Bahkan, di laut saja, gas dengan rumus kimia CO2 ini bisa membunuh plankton dan menyebabkan rusaknya rantai makanan. Bagaimana dengan manusia?

Untuk itu, pemerintah kota (Pemkot) Jakarta sejak lama telah mencanangkan suatu solusi untuk mengurangi dampak tersebut. Khususnya bagi sekitar 10 juta penduduknya. Salah satunya dengan program peralihan (konversi) BBM ke bahan bakar gas (BBG). Kenapa harus BBG? Karena bahan bakar gas terbukti jauh lebih bersih bagi pengguna dan juga orang yang ada di sekitarnya.

Hanya, untuk masyarakat perkotaan, terutama Jakarta, tentu merasa asing dan khawatir mendengar pemakaian gas sebagai bahan bakar kendaraan. Itu dapat dimaklumi, karena seringnya beredar berita mengenai kebakaran yang diakibatkan kompor atau tabung gas elpiji (LPG) rumah tangga.

Secara sederhana terdapat perbedaan meski sama-sama mengandung gas. LPG merupakan produk sisa hasil proses minyak bumi. Sedangkan gas bumi adalah gas yang diambil langsung dari cadangan gas di alam bebas. Jika LPG didistribusikan melalui tabung seperti yang kita lihat di dapur dengan ukuran 3 kg hingga 12 kg. Sementara, gas bumi disalurkan melalui pipa bawah tanah.

Peran PNG

Berdasarkan fakta tersebut, Perusahaan Gas Negara (PGN) bersama Pemkot Jakarta telah memulai program konversi armada transportasi dari BBM ke BBG. PGN yang merupakan salah satu dari anak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini mendukung penuh kebijakan Gubernur Jakarta, Joko Widodo untuk mewujudkan “Jakarta Kota Gas”.

Program yang sudah berjalan yaitu pemerataan armada bus TransJakarta dari BBM ke BBG. Termasuk menambah 1.000 unit bus TransJakarta BBG. Lalu, untuk di jalan kecil dengan memperbanyak jumlah armada Bajaj gas.

Termasuk seperti yang terjadi pada Selasa (24/12) ketika PGN meresmikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) pertama di Jabodetabek yang terletak di kawasan Pondok Ungu, Bekasi. Peresmian itu dilakukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik dan Direktur Utama PGN, Hendi Prio Santoso bersama Walikota Bekasi, dan jajaran instansi terkait.

“Peresmian SPBG ini merupakan bentuk nyata PGN untuk memperluas pemanfaatan gas bumi dalam negeri dan mendukung program pemerintah dalam konversi BBG untuk transportasi,” ujar Hendi saat peresmian di Bekasi. “Tentu, kami tidak bisa jalan sendiri karena butuh dukungan dari pemerintah dan terutama masyarakat untuk melakukan penghematan bahan bakar. Caranya, dengan menggunakan gas yang terbukti lebih ekonomis, aman, dan ramah lingkungan.”

Beberapa waktu sebelumnya berlokasi di Monumen Nasional (Monas) dan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. PGN juga telah membangun Mobile Refueling Unit (MRU) yang berfungsi sebagai pengisian bahan bakar kendaraan seperti TransJakarta, Bajaj, dan kendaraan umum lainnya yang telah dikonversi menggunakan BBG di kawasan Jakarta.

Dimulai dari Kita

Sebagai blogger, khususnya Kompasianer –penulis di Kompasiana-  tentu kita harus mendukung program pemerintah baik pusat maupun kota untuk program konversi BBM ke BBG bersama PNG. Setidaknya ada dua cara. Bagi yang memiliki kendaraan pribadi dapat mengalihkan pemakaian dari BBM ke BBG. Sementara, untuk masyarakat yang biasa menggunakan angkutan umum agar lebih efisien memilih moda transportasi yang sudah berbasis BBG.

Pertanyaannya, apakah kita (blogger atau Kompasianer) wajib menggunakan BBG yang memang hanya diproduksi PNG sejak 50 tahun terakhir? Tentu saja. Sebab, penggunaan gas dalam transportasi bisa meminimalkan polusi yang mewabah jadi pemanasan global. Pasalnya, dengan gas akan menciptakan lingungan yang bersih, sehat, dan efisien. Apalagi, itu akan mengurangi ketergantungan terhadap BBM yang selalu disubsidi pemerintah.

Maklum, setiap tahun kebutuhan BBM di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan perhitungan, kebutuhan BBM Indonesia tahun depan mencapai 120 juta barel (satu barel sekitar 158, 9 liter). Tahun 2015, lebih gila lagi, yaitu 165 juta barel. Jika dikalkulasikan, berapa biaya yang harus dikeluarkan masyarakat serta subsidi pemerintah hanya untuk BBM. Sementara, dengan BBG, bisa disebut lebih terjangkau. Itu karena penggunaannya sangat murah, sekitar Rp 3.100 per liter.

Mendapati statistik tersebut, tentu kita harus berpikir lebih jauh ke depannya. Khususnya, mengurangi pencemaran udara demi kelangsungan anak dan cucu kita di masa depan. Tentu, itu semua diawali dari sekarang. Jadi, kalau bukan kita yang pertama memulainya, siapa lagi?

- Jakarta, 6 Januari 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun