Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Silaturahmi Adalah Tentang Berbagi Hidup

22 Mei 2020   18:55 Diperbarui: 22 Mei 2020   18:56 111 5
Sebentar lagi hari raya, hari dimana kita akan berkumpul dengan anggota keluarga besar. Pada kesempatan tersebut kita akan bertemu dengan mereka yang kita temui hanya jika ada momen kebahagiaan atau kemalangan. Di luar itu, jarang sekali kita meluangkan waktu untuk saling berkunjung kecuali kalau benar-benar akrab.

Sebagai orang Batak yang merantau di tanah Jawa, orang tua saya terlibat dengan banyak arisan keluarga. Setidaknya ada empat arisan: dari marga (nama keluarga) ayahnya ayah, ibunya ayah, ayahnya ibu, dan ibunya ibu. Hari Minggu kami dalam sebulan pasti diisi dengan keempat arisan tersebut. Saya dan adik-adik tumbuh besar di lingkungan yang hanya terikat kesamaan marga, namun mereka adalah keluarga kami di Bandung.

Banyak orang enggan datang ke pertemuan keluarga karena enggan ditanya-tanya hal personal. Saya memiliki pendapat berbeda. Tentu saja relasi dengan keluarga akan melibatkan kekepoan maksimal akan hal-hal personal karena mereka adalah keluarga, mereka bukan orang asing bagi kita.

Ikatan yang bernama keluarga tidak akan mudah putus; darah lebih kental dari air. Bertukar kabar hanya bisa terjadi kalau ada pertukaran pertanyaan. Jadi, wajar saja kalau kita ditanya ini-itu, sama seperti kita juga ingin tahu ini-itu dan bertanya kepada anggota keluarga yang lain.

Kalau saya tidak keberatan ditanya kapan akan lulus kuliah oleh orang tua, kenapa saya harus enggan menjawab ketika ditanya oleh kakak dari ibu (tante) saya? Ya jawab saja yang sebenarnya, atau beri jawaban closed-ended kalau tidak ingin pertanyaan lanjutan. Intinya, wajar jika anggota keluarga besar bertanya. Dan menurut saya, kita wajib menjawab saat ditanya karena ditanya artinya dipedulikan.

Saya pun pernah mengalami ditanya-tanya mengapa tidak langsung memiliki anak kedua, apakah mempertimbangkan untuk memiliki anak ketiga, dan seterusnya. Saya jawab seperlunya setelah berdiskusi dengan suami apa yang harus menjadi jawaban kami. Ini penting supaya jawaban kami kompak untuk keluarga besar saya dan keluarga besar dia.

Saya dan suami pernah tinggal di dua kota berbeda selama bertahun-tahun. Keluarga besar saya tahu dan banyak yang bertanya-tanya kenapa salah satu tidak mengalah. Kami beri jawaban yang kami sudah sepakati. Mereka bertanya karena ingin tahu, karena peduli, dan karena perhatian.

Saya ingat itu terus supaya saya tidak sensitif jika pertanyannya diulang-ulang oleh om ini, tante itu, kakak sepupu ini, abang sepupu itu. Mereka yang mendapat jawaban saya belum tentu saling mengobrol dan bertukar informasi, makanya mereka bertanya lagi pada saya.

Informasi (seperlunya) yang saya bagikan tentang situasi rumah tangga kami yang berjarak jauh, membuat keluarga besar jadi lebih mengerti jika, misalnya, suami saya tidak bisa datang ke acara ulang tahun anak sepupu saya pada hari Sabtu karena dia baru saja mendarat di bandara.

Setelah kakek-nenek saya meninggal, kebanyakan anggota keluarga besar saya menetap di Jakarta dan sekitarnya. Orang tua saya masih berhubungan baik dengan sepupu-sepupu mereka dan sepupu-sepupu orang tua mereka. Silsilah keluarga besar dari pihak ayah dan ibu saya masih bisa ditelusuri sampai lima generasi ke atas. Akhir pekan dipadati dengan berbagai acara keluarga, mulai dari pertunangan, pernikahan, baptis anak, pemakaman, sampai penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Jikalau saya melihat silaturahmi sebagai beban, saya pasti akan menghindari semua acara keluarga tersebut. Akan tetapi, saya perlu keluarga besar, saya perlu merawat akar asal-usul saya, dan saya perlu memperkenalkan keluarga besar kepada anak-anak saya supaya mereka juga mengerti silsilah mereka.

Silaturahmi adalah tentang berbagi hidup.

Dan berbagi hidup tentu berarti berbagi hal personal.

Setelah berkeluarga memang ada pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban taktis, tapi dengan sepupu kandung saya memilih menjadi orang yang terbuka soal personal sama seperti mereka terhadap saya. Tentu saja perlu ada pertimbangan tambahan jika berelasi dengan orang-orang yang segenerasi dengan orang tua saya. Dari pengalaman saya, "ketuaan" mereka membuat mereka lebih cepat panik dan lebih cepat menarik kesimpulan dari sekeping informasi yang kadang-kadang tidak utuh.

Ada dua tujuan saya setiap kali menghadiri acara silaturahmi dengan keluarga besar:

1. Jangan pulang tanpa membawa informasi hal yang perlu didukung atau didoakan dari anggota keluarga besar.

Sangat baik jika di setiap kesempatan silaturahmi saya mengetahui siapa yang sedang menghadapi kesulitan, sama seperti saya mengetahui siapa yang sedang bergembira.

Percakapan selama silaturahmi adalah pintu informasi bagi mereka yang memerlukan. Waktu saya mengganti gula pasir dengan madu untuk memasak, sepupu saya langsung menawari barang dagangannya. Saya terbantu karena tidak perlu pergi ke supermarket untuk mendapatkan madu hutan. Sepupu saya juga mendapat penghasilan tambahan.

Waktu sepupu saya yang seorang kepala sekolah sedang mencari kegiatan untuk anak didiknya sebelum mereka menerima rapot, saya dengan sigap menawari pelatihan menulis kreatif untuk anak SD kelas 1 sampai 6. Kami berdua mendapat keuntungan dari pertukaran informasi itu.

Mengetahui masalah atau pergumulan anggota keluarga besar bukan untuk menggosipkan atau menjatuhkan mereka, tapi untuk mengulurkan tangan jika mereka memerlukan bantuan. Itu gunanya keluarga, bukan? Mereka selalu ada pada masa-masa terbahagia dan tersulit dalam hidup kita.

Dan mereka tidak akan tahu siapa yang sedang kesusahan kalau mereka tidak bertanya

2. Selalu luangkan waktu untuk berbicara hati ke hati dengan satu atau dua orang.

Terkadang setelah pulang dari acara silaturahmi saya bingung, tadi saya mengobrol dengan siapa saja dan tentang apa saja ya? Karena bingung, saya jadi tidak bisa mencapai tujuan nomor 1 yang saya jabarkan di atas. Sejak empat tahun terakhir saya selalu meluangkan waktu untuk bicara banyak dengan beberapa orang saudara saja.

Mengobrol beramai-ramai memang asyik. Ada banyak pertukaran informasi; semua orang saling menimpali. Namun saya jadi melewatkan saudara yang mungkin memerlukan waktu bicara yang lebih khusus karena sensitivitas topik yang dia mau angkat.

Contohnya, suami dari salah seorang sepupu saya didiagnosa menderita kanker lidah beberapa tahun lalu. Saya mendapat kabar dan  perkembangan penyakitnya dari ibu saya, yang mendapat informasi lengkapnya dari tante saya. Saya sungkan menanyakan langsung karena saya kira sepupu saya lelah menjelaskan berulang-ulang pada banyak orang yang bertanya.

Sewaktu kami bertemu di arisan rutin keluarga, dia memberitahu saya bahwa dia menunggu-nunggu saya menanyakan kabarnya. Kami memang dekat sejak kecil. Bahkan semasa kuliah dia selalu mengajak saya ikut kalau dia datang berjalan-jalan ke Bandung bersama teman-temannya.

Jadi, ternyata asumsi saya salah. Sepupu saya ingin saya tanyakan kabarnya. Saya salah karena sudah berasumsi pertanyaan saya terlalu kepo dan akan mengganggu dia. Dia juga keliru karena terus menunggu tanpa dengan gamblang memberitahu saya apa maunya.

Komunikasi adalah koentji.

Mustahil membina relasi kalau tidak ada komunikasi. Mustahil menjalin silaturahmi kalau tidak ada pertukaran informasi. Mustahil berbagi hidup kalau tidak berbagi hal personal.

Walau silaturahmi berlangsung berbeda tahun ini karena pandemi Covid-19, luangkanlah waktu dan pakailah teknologi untuk bertukar sapa dan kabar. Semoga tahun depan kita bisa bertatap muka lagi dengan keluarga besar, tidak hanya bertatap layar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun