Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Gendonglah Ranselmu dan Kau Tahu Watak Negaramu

15 Juni 2011   09:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 310 1
Pada saat saya kuliah dulu ada pemeo berbunyi 'posisi menunjukkan prestasi'. Sangat jelas artinya kan, mahasiswa yang duduk di depan atau di pinggir gang biasanya adalah mereka yang prestasi pendidikannya bagus - setidaknya terlihat dari keberanian mereka duduk di tempat yang sangat gampang dosen menunjuknya untuk menjawab pertanyaannya. Nah, saya sekarang punya pemeo baru, seperti judul tulisan ini: 'Gendonglah ranselmu, dan kau tahu watak negaramu'.

Kisahnya berawal dari pengalaman tiga malam empat hari berkunjung ke HongKong berkelana di antara tugas kantor. Sebagai seorang yang tidak menyukai formalitas dan kemewahan, saya berjalan berkeliling menggunakan angkutan umum seperti tram, bis ataupun kereta. Dan dalam setiap perjalanan itu saya selalu dipastikan menggendong ransel berwarna oranye ngejreng yang kata orang tidak sesuai dengan karakter dan usia saya. Ah, whatever lah.

Seperti arti namanya ransel atau tas gendong, otomatis saya menggendongnya dong. 'Makan kedondong di rumah gedong, pakai tas gendong ya harus digendong dong'. Apalagi dengan bawaan wajib jalan-jalan, sebotol air mineral yang kadang terasa berat.

Nah, yang menarik adalah kebiasaan saya jika sesaat sebelum atau sesudah saya masuk ke dalam kendaraan umum itu. Posisi ransel yang saya gendong di punggung - itu juga kenapa ransel disebut tas punggung - saya pindahkan ke depan, di depan dada, persis seorang ibu mendekap bayinya. Dan itu dilakukan secara refleks. Refleks karena terbiasa, sehingga saya cukup tertegun ketika sadar ada satu dua orang di kereta yang dari tampangnya kelihatan bertanya-tanya. 'Ni orang ngapain bawa tas punggung di dada', begitu kali pikirnya. Apalagi saat itu saya bawa tas yang cukup penuh hasil praktek 'crazy bargaining' di pasar malam Mongkok.

Sedikit sadar, saya sapu mata berkeliling. Sadarlah saya. Ternyata di kereta yang penuh sesak tapi nyaman ini tidak ada satupun mereka yang membawa ransel di dada. Semua membawanya secara normal, di punggung, bahkan pada saat sesak seperti ini. Lalu saya tersenyum kecut saat sadar saya ternyata bukan berada di atas kereta Ciujung di Jakarta. Dan saya berpikir apakah tingkah saya ini justru menunjukkan bahwa berkendaraan umum di Jakarta tidak aman?

Di Jakarta lah saya tanpa sadar didikan sebuah refleks untuk memindahkan tas dari punggung ke dada. Seperti bisa ditebak, semua ini gara-gara saya ingin selamat dari copet, pencuri atau sejenisnya. Saat-saat tertentu pun saya suka memindahkan apa saja yang berada di belakang yang tidak terlihat mata, seperti dompet di kantong celana, ke dalam tas. Dan agar lebih selamat, lalu tas gendong itu pun saya dekap rapat-rapat. Bukankah itu juga yang dilakukan para komuter tiap harinya. Saking 'aware'nya terhadap keamanan barang sendiri, sampai pada saat saya santang menggendong ransel di punggung, dan cuek tidak memindahkannya ke dada - karena saya pikir lha wong tas saya gak ada isinya, seorang pemakai kereta lainnya justru dengan sopannya mengingatkan 'Pak, lebih baik dipindahin ke depan biar aman'.

'Sudah demikian parahkah ketidakamanan penumpang akan barangnya di dalam kendaraan umum?'. Hmm...rasanya iya sih. Lah, kalau begitu benar dong pemeo saya 'Gendonglah ranselmu, dan kau tahu watak negaramu', di gendong di belakang identik dengan 'aman', dan digendong di depan identik dengan 'hati-hati, banyak copet'.

Walah, kok saya berpikir negatif seperti itu sih. Payah ni gue.... Maap...maap...

Cag, 15 Juni 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun