Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Selamatkan Kota Dari Hutan Iklan

31 Agustus 2013   10:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:34 130 4
(Dimuat di Kolom OPINI Harian JOGLOSEMAR Edisi 30 Agustus 2013)

Perkembangan wilayah perkotaan di Indonesiaselain menunjukkan kemajuan yang menggembirakan juga menimbulkan dilema yang mengkhawatirkan. Kota cenderung berkembang secara fisik dan ekonomis, tetapi menurun secara kultural dan ekologis. Fisiografi perkotaan terus meluas menembus batas administratif menuju wilayah pinggirannya. Perkembangan sarana prasarana fisik jauh meminggirkan kebutuhan ekologis kota.
Pembangunan telah memicu konversi lahan yang tidak terkendali. Akibatnya fungsi resapan air menurun drastis dan sebaliknya laju limpasan air permukaan meningkat tajam. Banjir melanda ketika hujan. Sebaliknya kekeringan menjadi hantu setiap kemarau. Berkurangnya lahan hijau dan meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor juga telah mengakibatkan polusi udara dan pemanasan mikro kota. Bencana sampah visual akibatkesemrawutan media iklan di jalanan ikut memperburuk kinerja layanan dan kenyamanan kota. Kota menurut Sri Sultan Hamengku Buwono x seharusnya ibarat Ayodya atau tempat Sri Rama bertahta yang memberikan daya kenyamanan hidup.
Pemasangan media iklan kian menjamur seperti penanaman hutan. Hutan iklan tumbuh di sepanjang jalan utama hingga jalan kampung bahkan gang-gang tikus. Pihak utama yang turut andil menghadirkannya adalah sektor swasta, politik, dan pemerintah.
Swasta mendominasi pemasangan informasi di ruang publik, baik untuk iklan produk, jasa, acara, dan lainnya. Dunia politik tidak mau ketinggalan dengan gencarnya pemasangan media kampanye di setiap hajatan demokrasi, seperti pilkada dan pemilu. Informasi sosialisasi dan layanan pemerintah pun ikut-ikutan dipasang di banyak titik. Media yang digunakan hampir semua sama, antara lain berupa papan reklame, baliho, spanduk, rontek, pamflet, dan lainnya.
Ruang di pinggir jalan sudah terlampui daya tampungnya terhadap pemasangan iklan. Pemasangan saling rebut lokasi strategis, seperti perempatan jalan, pinggir jalan utama, dekat pusat fasilitas, dan lainnya. Bahkan belakangan terjadi ekspansi ke ruang privat, seperti toko, warung makan, halaman rumah, dan lainnya. Media iklan berjejal rapat dan satu titik bisa menumpuk banyak. Alhasil media iklan tidak sekadar menghutan tetapi menjelma jadi sampah visual. Kumuh, semrawut, serta jauh dari etika dan estetika kota adalah kesan kasat mata. Kebijakan pemerintah daerah tentang media iklan yang berorientasi retribusi juga semakin melebatkan hutan iklan.
Media iklan yang menghutan mendesak segera dilakukan deforestasi. Deforestasi dalam ilmu kehutanan didefinisikan sebagai perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan (FAO 1990; World Bank 1990). Artinya perubahan dari suatu wilayah yang sebelumnya berpenutupan tajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak bervegetasi). Pengertian tersebut dapat dipinjam dalam konteks media iklan menjadi penggundulan atau pengurangan hutan iklan.
Solusi deforestasi media iklan adalah penataan, digitalisasi, dan virtualisasi. Penataan media iklan menyangkut lokasi dan spesifikasi teknis. Penentuan lokasi mempertimbangkan nilai strategis lokasi serta aspek keruangan dan kenyamanan visual. Spesifikasi teknis perlu diatur menyangkut ukuran, bahan, hingga tampilan. Tampilan iklan tidak boleh melanggar norma dan bertentangan dengan nilai budaya.
Pemasangan iklan secara konvensional di ruang nyata mesti ditekan dengan menggesernya ke dunia maya. Digitalisasi papan reklame yang dapat menampilkan banyak iklan mendesak dioptimalkan. Virtualisasi iklan melalui website, blog, dan jejaring media sosial juga perlu didorong implementasinya. Mayoritas masyarakat yang sudah melek teknologi informasi menjadi pangsa pasar potensial bagi iklan virtual. Iklan-iklan yang terpasang sembarang dan ilegal juga harus ditertibkan secara adil dan disiplin.
Semua pihak punya tanggung jawab menciptakan manajemen iklan secara berkelanjutan. Pertama adalah pemerintah daerah. Program digitalisasi dan virtualisasi mesti dioptimalisasi. Ruang iklan saatnya mulai dibatasi dan diketatkan penggunaannya. Konsekuensinya monitoring dan evaluasi harus sering dilaksanakan. Media iklan yang berserakan apalagi ilegal harus ditindak tegas. Peta jalan perlu dirancang dan ditapaki secara sistematis dan visioner.
Pertama adalah pemerintah kota. Beban lebih besar berada di pundak pemerintah sebagai penguasa dan pengelola kota. Program digitalisasi dan virtualisasi mesti terus dioptimalisasi. Media iklan di ruang nyata perlu terus didorong bergeser ke ruang maya. Edukasi masyarakat sebagai konsumen agar melek teknologi informasi menjadi kunci daya tawar bagi pemasang iklan. Ruang iklan di lokasi strategis saatnya mulai dibatasi dan diketatkan penggunaannya. Konsekuensinya monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan setiap hari. Media iklan yang berserakan di ruang publik apalagi ilegal harus ditindak tegas. Tentu semua langkah harus ditata bertahap. Peta jalan perlu dirancang dan ditapaki secara sistematis dan visioner.
Kedua adalah sektor swasta. Swasta sebagai pemasang terbanyak iklan di jalan menjadi kunci kesuksesan deforestasi. Komitmen dan keseriusan penting ditakar dari sektor ini. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI mencatat pada tahun 2012 pengguna internet mencapai 55 juta orang, Facebook 44,6 juta orang, dan Twitter 19,5 juta orang di Indonesia. Angka ini tentu menjadi pangsa pasar yang potensial. Artinya, jika digarap serius maka bukan tidak mungkin iklan virtual akan jauh berefek daya beli tinggi dibandingkan konvensional. Alih-alih mengurangi media iklan jangan sampai yang dilakukan hanya akal-akalan dengan menggesernya ke ruang privat.
Ketiga adalah stakeholder politik. Setiap musim kampanye pilkada atau pemilu atribut perlu diminimalisasi. Selain virtualisasi, kampanye perlu dioptimalkan pada program pendidikan politik masyarakat secara langsung. Setelah duduk di kursi kepemimpinan, komitmen harus dibuktikan dengan dukungan sesuai tugas pokok dan fungsinya. Regulasi manajemen iklan di jalanan mendesak diterbitkan. Penganggaran juga harus didukung untuk program layanan media iklan digital dan virtual.
Hadirnya kota digital di era modernitas teknologi informasi menjadi keniscayaan dan tuntutan. Program digitalisasi dan virtualisasi dalam deforestasi iklan akan banyak memberikan multiplier effect.Deforestasi iklan akan berdampak baik bagi program adipura, penguatan ekonomi daerah, menguatkan persepsi kota layak huni, serta mendukung daya tarik wisata. Bagaimana strategi dan siapa berbuat apa dalam menggapainya perlu dirincikan. Kesadaran masyarakat, kepedulian swasta, serta komitmen politik eksekutif dan legislatif menjadi kunci suksesnya.
Deforestasi media iklan mesti diimbangi dengan reboisasi hutan lindung kota. Hutan kota menjadi pilihan untuk menyelamatkan ekologi kota masa depan. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 menegaskan bahwa kota wajib memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 10 persen RTH privat dan 20 persen RTH Publik. Setidaknya setengah dariRTH publik tersebut seharusnya adalah hutan kota.
Iklan yang menghutan dan hutan kota yang menghilang adalah tantangan besar diantara segudang permasalahan kompleks kota. Konsekuensinya merias wajah kota perlu diprioritaskan. Kota mesti tampil cantik secara fisik sekaligus sehat secara ekologis. Komitmen kota hijau perlu diimbangi dengan visi politik hijau. Komitmen pemerintah butuh dukungan legislasi DPRD, partisipasi masyarakat, dan kepedulian swasta. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun