Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Dilema Bersedekah "Peduli Tidak Sama dengan Memberi Uang"

27 Maret 2015   11:34 Diperbarui: 16 Februari 2016   22:06 928 5

Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang layak, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu, mereka harus berusaha untuk dapat mempertahankan hidup dengan mengais rezeki atau bekerjakeras setiap harinya.

Tak dapat dipungkiri, saat ini Indonesia dipenuhi oleh masyarakat yang mayoritas hidup di tingkat menengah ke bawah sehingga tak heran jika kita kita menyaksikan banyaknya masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan serba kekurangan.

Kemiskinan di Indonesia terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan mereka, kurangnya lapangan pekerjaan sehingga jadi pengangguran, kemalasan untuk melakukan usaha atau memperbaiki perekonomian keluarga serta rendahnya ‘mental kaya’ bagi mereka yang sudah terlanjur miskin.

Pada dasarnya, setiap orang bisa kaya asal dia memiliki mental kaya dan mau berusaha untuk memperbaiki hidup. Cara memperbaiki hidup yang ditempuh masyarakat saat ini memang beragam, ada yang mau cari kerja kesana kesini, ada yang berani memulai usaha, ada yang mau belajar dari nol dan ada pula yang menyerahkan hidupnya sepenuhnya dengan meminta belas kasihan orang lain dengan menjadi pengemis.

Ya, hal yang akan saya jadikan topik utama disini adalah pengemis. Sebuah profesi yang sangat memprihatinkan, dimana kita melihat ketidakberdayaan mereka dalam mencari nafkah hingga akhirnya dengan terpaksa mereka harus menjadi pengemis. Siapa diantara Anda yang bercita-cita jadi pengemis?

Tentunya kebanyakan orang lebih memilih profesi yang lebih baik dan lebih ‘tinggi’ di mata masyarakat daripada harus menjadi pengemis. Bagi yang sudah berkecukupan, Anda pasti lebih memilih memberi uang kepada pengemis daripada harus mengemis karena kondisi mereja selalu identik dengan kondisi manusia yang tidak punya rumah, untuk makan saja susah, tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya, tidak punya keluarga, tubuh cacat atau berbagai kondisi keterpurukan lain dalam hidupnya.

Kini, kita harus waspada terhadap pengemis karena profesi ini ternyata banyak disalahgunakan oleh beberapa oknum tak bertanggung jawab sebagai jalan cepat untuk ‘mendapat uang banyak dalam waktu singkat’. Ya, mereka memanfaatkan kebaikan orang lain untuk mencari rezeki dengan berpura-pura jadi pengemis, walaupun pada kenyataannya mereka ternyata memiliki kehidupan yang layak dan bisa mencari uang dengan keterampilan ‘lain’ yang mereka miliki.

Di bawah ini ada beberapa contoh kondisi yang saya bisa rangkum tentang kehidupan ‘pengemis yang dijadikan sebagai profesi utama’ yang ada di sekitar tempat tinggal saya sendiri :

1. Pengemis Cacat yang Hidup Layak

Di sekitar tempat tinggal saya di Yogyakarta, terutama di daerah Jokteng, ada seorang pengemis laki-laki yang (maaf), tubuhnya cacat, terutama di bagian kaki sehingga untuk berjalan pun terasa sulit. Dia menjadi pengemis dengan berhenti tepat di pinggiran Traffic Light dan berjalan meminta sedekah ketika lampu masih menyala merah.

Bertahun-tahun saya melewati jalan itu sejak bekerja dan saya selalu melihat pengemis yang kira-kira berumur 45 tahun ini menunggu belas kasihan pengguna jalan untuk memberi sedekah kepadanya. Saya sempat miris setelah mendengar pernyataan seorang teman yang rumahnya ada di daerah sana.

Pengemis itu kini telah hidup layak, memiliki rumah yang lumayan layak dihuni, mampu menyekolahkan anaknya, serta memiliki berbagai perabot rumah yang mewah, seperti TV LED 32 inc, motor dan berbagai barang berharga lainnya. Wow…. Saya langsung drop mendengarnya. Mungkin dulu dia benar-benar terpuruk dengan kondisi cacatnya. Namun ketika Tuhan sudah memberikan rezeki berlebih kepadanya, dia justru meneruskan ‘kenikmatannya’ tersebut dengan menipu orang lain karena berpura-pura masih miskin.

2. Pengemis yang pura-pura Cacat

Pengalaman ini juga sering saya saksikan sendiri di beberapa titik jalan di Yogyakarta. Di lampu merah daerah Sagan, ada ibu-ibu pengemis yang dengan kondisi duduk di aspal, meminta belas kasihan kepada pengguna jalan yang lewat disana.

Dengan kondisi yang hampir sama dengan posisi “ngesot” dan terlihat seperti cacat tangan dan kakinya, banyak orang merasa iba lantaran mengira bahwa ibu ini memang cacat dan seorang tuna wisma. Apalagi saat dia menggendong anaknya yang masih balita, sungguh terlihat memprihatinkan dan mengundang belas kasih banyak orang untuk memberikan sedekah sekedarnya.

Namun dibalik itu semua, terdengar informasi dari para Bapak pengayuh becak yang sering mangkal disana dan juga dari rekan-rekan saya yang lain, bahwa ibu ini pura-pura cacat dan sebenarnya dia terlahir dengan memiliki anggota tubuh yang utuh yang seharusnya dia syukuri. Ketika si ibu ini tidak mendapat uang sama sekali, saya pernah melihatnya bahwa dia menggerutu dan mengeluarkan ekspresi wajah cemberut/kecewa.

Kasus lain, saat ini mungkin banyak Anda jumpai juga di sekitar tempat tinggal Anda, bahwa banyak pengemis yang pura-pura cacat dengan menyembunyikan tangannya di tubuh bagian belakang. Jadi, ketika memakai baju/kaos seakan terlihat tidak memiliki sepasang tangan karena cacat atau kecelakaan.

Nah, ini juga sangat saya sayangkan karena mereka mencoba mencari rezeki dengan ketidakjujuran. Mungkin saja dua pengemis diatas melakukan ‘penipuan’ untuk meningkatkan rasa iba orang lain sehingga mereka berpikir bisa mendapatkan uang yang lebih berlimpah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun